Lika-liku Seorang Gadis Kekasih Aktivis
“Salahkah aku jika dilanda cemas, Kang?” Ucap kekasihku itu di sela tangisnya.
“Tak perlu takut, kalaupun aku melebur pada keabadian; kebenaran takkan lenyap.” Timpalku, menenangkan kegundahan yang menyerebak pada manah kekasihku.
Sudah berbagai macam hal lucu terjadi, mulai dari diteriaki “anjing!”—sampai di depan pintu rumah ada kepala kambing. Dikirimi peliharaan dalam kondisi yang sudah membangkai, hingga surat ancaman sampai tanpa tahu siapa yang merangkai.
Yang kau takut-takuti hanya aku, bukan keberanian.
Aku adalah bunga yang tumbuh dalam perjuangan melawan sakit.
Aku adalah bunga yang kerap disambangi oleh tukang bakso, tukang sol sepatu, hingga tukang cuankie yang membawa walkie-talkie.
Aku adalah bunga yang bisa saja layu, bisa saja mati. Tapi bunga selalu tabah pada badai, selalu teguh pada dingin.
Sebab akulah bunga, rasa takut bukan bagian dari rekah wangi perjuanganku.
(2021)
Sore Hujan
Aku titipkan raga yang lupa berteduh pada gerimis rindu, menenggelamkan senang pada pelupuk sedih di tiap-tiap bulirnya.
Secangkir kopi selalu menjadi perayaan dalam mengenang waktu langit menguning, tak lupa terbit setelah tenggelam di tiap lelap malam yang memupuk rindu semakin dalam.
Aku di sini, masih dengan cita rasa yang sama. Cangkir kopi yang kau biarkan dingin tanpa sempat kamu sentuh. Barisan pesan yang belum sempat kamu baca. Bait-bait puisi yang tidak sempat kamu pahami.
Dan lagi, aku di sini. Dengan perasaan yang sama, berharap balas pada seluruh rasa yang menyala untukmu.
Kini, hampir padam.
Semoga aku masih punya waktu untuk membakar waktu-waktu yang membeku.
(2020)
Menghadiahkan Waktu
Begitu malang nasibmu memilihku.
Padahal
Aku adalah gubuk reyot yang dipilih untuk kau tinggali saat aku tahu masih banyak pencakar langit yang bisa kau sambangi.
Padahal
Aku adalah kopi pahit yang dipilih untuk kau syukuri saat aku tahu masih banyak sirup manis yang harusnya bisa kau nikmati.
Padahal
Aku adalah kayu rapuh penuh keropos yang dipilih untuk kau sandari saat aku tahu masih banyak rimbun pohon lain kokoh berdiri.
Sebagai gubuk aku sering gagal memberimu rasa aman, sebagai kopi aku sering menghadirkan pahit, dan sebagai kayu yang rapuh aku sering sekali tak mampu menyangga tangismu.
Begitu malang nasibku memilihmu.
(2021)
Me(i)njamah Ingatan
Mei, adalah serangkaian kisah yang memaksa dicatatkan pada secarik sejarah.
Mei-ku yang cantik, berusaha bercerita tanpa titik.
Izinkan aku menceritakan soal Mei
yang mandi api,
menangis darah,
meronta-ronta rusuh,
menjarah dengan marah,
terbakar tanpa sempat menyelamatkan diri dari pusat perbelanjaan yang menyeka nyala.
Tameng berbaris rapi, moncong senjata mengaga dengan pelatuk yang siap diketuk.
Dar! Dor! Suara tembak.
Bak! Buk! Suara gebuk.
Nyala api, kawat duri, pekikan menghiasi, orang-orang lari, tunggang langgang menyelamatkan diri.
Ada yang sibuk menjarah sambil marah.
Ada pula yang sibuk mencuri apa yang dicari.
Ada yang mati, banyak yang mati.
12 Mei, 1998. Rakyat dibuat marah, setelah beberapa mahasiswa harus menumpahkan darah.
Memandikan aspal, lantai, atau apapun yang menjadi tempat tergoleknya tubuh yang rubuh setelah badan terkena timah panas di tengah gaduh.
“Anakku mati di tembak!”
“Suamiku hilang…”
“Kekasihku diracun.”
“Mayat saudariku ada di hutan.”
Mahasiswa, berdiri; menentang walau ditendang. Tumpah ruah ke depan rumah tanpa tiang
tempat rapat
wakil rakyat
yang bermufakat
untuk tidur hikmat saat membicarakan nasib masyarakat.
Mereka marah!
Satu perintah, gerbang dibuka; menghantarkan kaki mereka melangkah resah, menduduki gedung dengan atap hijau yang pasrah.
Puncaknya, Pak Harto harus mundur dari jabatannya. Setelah tiga-puluh-dua tahun berkuasa, ia menanggalkan takhta, ia meninggalkan istana.
Reformasi, kata-kata agung yang diperjuangkan, yang dijemput, yang didambakan; kini didapatkan.
Tahun ini, seletah dua-ratus-tujuh-puluh-enam purnama; amanat Reformasi ternyata nyaris tak terlaksana.
Darah-darah yang tumpah, raga-raga yang hilang nyawa, ibu-ibu yang kehilangan anaknya, adalah orang yang menghutangi.
Mei, aku meracau.
Mei, aku mabuk lagi.
Mei, aku menolak lupa. Dalam racauanku, dalam mabuk kebingunganku.
Mei, mei.
(2021)
Penjara Bernama Tubuh
Titik nol adalah pilihan, antara bertahan atau menyerah. Kesadaran itu hadir berbarengan dengan angin-dingin yang masuk melalui bibir pintu yang telah sumbing di celah-celah malam tanpa purnama ke dua-ratus-delapan-puluh-delapan.
Luka-luka tak kasat mata jarang mendapat perhatian, dan sudah barang tentu nyeri itu dibiarkan menginfeksi semakin besar ke seluk-beluk pikirmu yang kalut itu. Membangunkan Azazil yang bersemayam di sana, mengajakmu pergi dari dunia yang sudah rusak.
Aku mengutuk semua kesedihan-kesedihan tanpa alasan ini.
Tapi menangis pun aku tak mampu.
Tapi me-na-ngis pun aku tak mampu.
Tapi me-na-ngis-pun aku tak mampu.
Maka kuambil handgun curian itu, kutembakkan di keningku; kening yang di dalamnya berisi marah, dendam, bingung, dan segala hal menyebalkan yang tumpah ruah lainnya.
Meski di sana kau pernah mendaratkan kecupan, peluru tetap mencari jalan pintas—menjemputku; untuk kabur, & melebur dengan kekosongan.
(2022)