Makam Besar dan Cahaya Rembulan
Rahmat Saleh bersembunyi di balik semak. Angin malam menerobos lewat celah kausnya yang rombeng. Cahaya bulan menerawang di antara ranting-ranting pohon, mengarah langsung ke wajahnya yang berkeringat sebesar biji-biji selasih. Pelan-pelan lelaki itu menyingkap rerumputan, melihat ke arah jalanan yang semakin sepi. Tak ada lagi kendaraan, atau orang-orang yang lalu-lalang. Dia meraih cangkul di dekatnya, lalu bergegas ke arah bebukitan yang ada di ujung pandangannya. Makam-makam besar terbangun di sana, tersusun seperti anak-anak tangga menuju puncak yang gundul semata.
Rahmat Saleh menatap jauh ke arah makam-makam yang ada di sekitarnya, lalu ia mulai menentukan langkah menuju salah satu makam berwarna biru muda di dekat puncak bukit. Ia berjalan pelan-pelan sambil memerhatikan sekitar. Tak ada orang selain dirinya sendiri di sana. Jelas. Mau apa juga orang malam-malam datang ke makam? Tanyanya dalam hati. Namun, ia segera menyadari bahwa dirinya sendiri sedang melakukan hal yang ia pertanyakan itu. Ah, ia segera mengemas lamunan itu sambil terus berjalan. Ia tak boleh ketahuan siapa pun.
Makam itu ternyata berwarna putih. Keramiknya mengkilap dan memantulkan cahaya ke sekitar. Ternyata cahaya rembulan yang membuatnya menjadi kebiruan. Rahmat Saleh sampai tepat di hadapan makam yang berukuran sangat besar. Paling besar di antara yang lainnya. Bahkan ukurannya lebih besar dari tenda tempat tinggal Rahmat Saleh di bawah jembatan. Ia mendongak ke atas, dan segera menyadari kemewahan arsitektur makam itu dengan sekali lihat. Ia pernah melihat tipe bangunan seperti ini dalam tabloid yang tidak sengaja ia temukan di tempat pembuangan sampah, dekat dengan tenda tempat tinggalnya. Di tabloid itu tertera berbagai macam tipe rumah megah dari negeri yang asing. Biasanya bangunan seperti ini memiliki warna merah yang dominan, pikirnya sembari mengingat-ingat. Namun, tidak dengan makam di hadapannya. Mungkin karena ini makam, pikirnya, bukan rumah, seperti yang ada di tabloid itu. Lagi pula orang-orang pintar yang kerjanya membangun gedung pasti punya maksud tertentu dalam memilih warna. Bahkan warna bangunan pun memiliki makna, pikir lelaki itu, sambil melihat dan mencium bau badannya sendiri, lalu ia pun berbisik kepada dirinya sendiri, “Apa makna diriku ini? Seorang pencuri?”
***
Setelah sejenak mengagumi wujud bangunan makam putih di hadapannya, Rahmat Saleh menuruni anak tangga yang ada di tengah makam. Anak-anak tangga yang mengarah ke pintu makam yang tergembok. Gemboknya ditempeli kertas-kertas kecil dengan aksara yang tidak bisa ia pahami. Ia sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan suara terlalu berisik saat mencoba mematahkan gembok dengan cangkul yang ia bawa. Namun, dalam beberapa kali pukulan, ia tak lagi peduli pada suara yang dibuatnya karena panik dan gugup. Tanpa aba-aba, dalam sekejap fokusnya pecah ketika tiba-tiba terdengar suara langkah dari atas anak tangga.
Rahmat Saleh berhenti memukul gemboknya. Ia takut bukan main, dan berusaha sembunyi dalam bayang-bayang tembok di dekatnya. Suara itu semakin mendekat. Dia menutup mulutnya dengan tangan agar napasnya yang kadung ngos-ngosan tak terdengar. Saat jantungnya hampir copot karena ketakutan, seekor kucing hitam melompat keluar dan mengeong dari balik pilar makam. Rahmat Saleh lemas sekaligus lega.
Kucing itu terus mengeong, seakan memanggil-manggil Rahmat Saleh yang ada di bawah. Setelah berhasil mematahkan gembok makam, Rahmat Saleh berusaha mengusir kucing hitam itu. Syuh! Syuh! Katanya, sambil membuat gerakan mengusir dengan tangan. Kucing itu pun lekas pergi.
Dibukanya pintu makam itu perlahan, dan tiba-tiba saja cahaya yang begitu terang merambat masuk ke dinding makam yang semula gelap. Rahmat Saleh terheran-heran melihat cahaya yang bersinar amat dahsyat itu. Cahaya yang pelan-pelan terasa menyedotnya untuk masuk ke seberang pintu. Tiba-tiba kucing hitam kembali melompat dan mengamati Rahmat Saleh, lalu mengeong lagi dengan suara yang lebih lantang. Rahmat Saleh membuka pintu makam itu seluruhnya, tentu dengan ragu-ragu. Lalu ia pun masuk ke arah cahaya dengan perasaan campur aduk yang tak bisa ia jelaskan dengan referensi tabloid mana pun yang pernah ia baca. Ia takut sekaligus berani, merasa bersalah sekaligus masa bodo. Ragu sekaligus nekat. Semua perasaan kepalang tanggung bercampuraduk di dalam kepalanya. Sampai berhasil menyeberang, Rahmat Saleh masih tak tahu mengapa ia ingin mencuri makam, atau justru makam ini yang telah menggodanya untuk datang. Semua terjadi begitu cepat, dan kini tubuh Rahmat Saleh telah sepenuhnya berada di ambang pintu, menuju cahaya yang terbuka bagai lorong terang menuju entah.
***
Kucing Hitam Bermata Kuning Terang
Cahaya putih itu perlahan berubah menjadi kemerahan. Cahaya yang menabrak Rahmat Saleh dalam sekejap, sebelum kakinya menginjak rumput kering dan ranting-ranting. Dia melihat sekitar. Cahaya itu mulai reda. Ia tidak melihat jenazah, tidak ada uang dalam peti, tidak ada emas, tidak ada sutra, apalagi berlian. Di sekitarnya hanya ada pohon-pohon mati, rumput kering dan sabana yang terhampar begitu luas bagai area tanpa batas. Dia melihat ke kanan, kemudian melihat ke kiri, sebelum akhirnya melihat ke belakang. Tidak ada makam, tidak ada pilar, tidak ada gembok. Bahkan pintu yang barusan ia lalui juga tidak ada. Hanya ada dirinya, cangkulnya, padang yang luas, dan pohon-pohon yang kering. Ia melihat ke atas, titik-titik merah mirip matahari bersinar begitu terang, dengan jumlah yang begitu banyak sehingga tak cukup bagi kepalanya untuk menghitung berapa jumlah kumpulan cahaya itu.
Dengan perasaan cemas dan agak takut, Rahmat Saleh mengangkat cangkulnya seperti memegang tongkat pemukul bola kasti. Ia berharap bisa membendung kejahatan yang mungkin terjadi padanya dengan sebilah kayu dan besi yang biasa digunakan orang untuk memotong rumput itu. Bagaimana mungkin seorang yang jahat seperti aku, takut dengan kejahatan, pikirnya.
“Psst… Pssst….”
Lamunan Rahmat Saleh buyar ketika suara bisikan tiba-tiba terdengar. Apakah ada yang sedang memanggilku? Ia mengamati sekitar dan tidak melihat siapa pun.
“Psst….”
Tiba-tiba seekor kucing hitam bermata kuning terang melompat ke dekat kaki Rahmat Saleh. “Saya sudah coba melarang Saudara, tadi…,” kata kucing itu.
Nyaris kedua mata Rahmat Saleh melompat keluar dari tengkoraknya karena kaget bukan main. “Kamu bi… bi… bicara?” kata Rahmat Saleh sembari melangkah mundur ketakutan.
“Ya. Saya bukan hanya bicara,” jawab kucing itu, seraya melangkah mendekat menuju Rahmat Saleh. “Saya sudah memperingatkan Saudara, tadi.”
Rahmat Saleh baru ingat, itu kucing yang mengeong di makam. Namun, ia tetap mundur ketakutan, sejenak, sebelum menyadari bahwa dia tidak punya cukup alasan untuk takut pada seekor kucing. Meskipun kucing itu bisa bicara, dan bicaranya formal, dan juga suaranya sedikit cempreng. Kucing tetaplah kucing, pikirnya. Tidak menyeramkan, tidak mengancam. Akhirnya Rahmat Saleh pun memberanikan dirinya untuk bersikap biasa saja di depan si kucing, sambil tetap memegang erat cangkulnya, untuk berjaga-jaga kalau hal tak terduga terjadi tiba-tiba.
“Tuan Kucing,” kata Rahmat Saleh, memanggil kucing hitam bermata kuning terang itu dengan ragu-ragu. Ini kali pertama bagi Rahmat Saleh berbicara dengan seekor kucing. Ia memilih kata ‘tuan’, sebab ia tak tahu kata apa yang sekiranya lebih sopan dan cocok untuk memanggil seekor kucing, yang asing, dan terlebih dia sudah memulai pembicaraan dengan ragam bicara formal. “Sebenarnya ini tempat apa?” sambung Rahmat Saleh.
“Nama saya Dapur. Panggil saja saya Dapur,” kata kucing hitam bermata kuning terang itu sambil mendongak, menatap lurus dengan berani ke arah mata Rahmat Saleh. “Dan sepertinya saya tidak bisa memberitahu Saudara. Sebab, Saudara tidak seharusnya berada di sini. Dan juga, sebenarnya ini bukan tempat milik saya. Um, jadi, saya pikir agak kurang sopan bila saya seenaknya menjelaskan tempat yang bukan milik saya, apalagi kepada orang asing.”
Rahmat Saleh tidak punya kalimat yang tepat untuk menjelaskan situasi yang sedang dihadapinya saat ini. Lelaki paruh baya itu masih berharap apa yang sedang dihadapinya adalah mimpi, meski sangat nyata di matanya, sedang berdiri seekor kucing hitam bermata kuning terang yang bisa bicara dan mengatakan bahwa namanya Dapur. Rahmat Saleh hanya merasa bahwa si kucing hitam… maksudnya si Dapur ini, tidaklah berniat jahat padanya. Mungkin dia hanyalah kucing biasa yang kebetulan bisa bicara dengan bahasa formal, pikir Rahmat Saleh pada akhirnya. Barangkali ada alasan pula mengapa namanya Dapur, tetapi mungkin dalam perjumpaan yang membingungkan ini agak tidak tepat untuk membahas makna nama seekor kucing. Lagipula apalah arti sebuah nama? Rahmat Saleh mengingat makna namanya sendiri. “Seorang pencuri bernama Rahmat Saleh, huh?” bisik lelaki itu kepada dirinya sendiri, seraya menggaruk kepalanya sesekali, mencoba meluruskan logika yang tersisa di kepalanya.
“Saudara Dapur,” kata si Rahmat Saleh, “bisakah… um, Saudara…,” ini kali pertama baginya mengucapkan kata ‘saudara’ sebagai kata sapaan. Pengalaman pertamanya ini bahkan bukan ditujukan kepada orang, melainkan kucing. Wajarlah dia jadi agak canggung. “Bisakah Saudara, beritahu saya di mana jalan yang bisa saya lalui untuk pulang?”
“Sebenarnya saya tidak terlalu paham bagaimana ini bisa terjadi,” kata Dapur, sambil menekuk kaki-kakinya untuk duduk dan berpikir. “Biasanya hanya kami, kucing, yang bisa ke tempat ini dengan leluasa. Kami biasa keluar masuk tempat ini dengan cara melompat dan membayangkan tempat yang ingin kami tuju. Bila salah membayangkan, kami sering tersesat di rumah manusia yang tidak kami kenali. Tidak jarang, kami juga hanya berputar-putar seharian di tempat yang begitu luas ini, karena terlalu sulit membayangkan tempat yang ingin kami tuju. Tentu saja kami para kucing tidak pernah benar-benar punya rumah. Makanya kami sering tersesat juga, sejujurnya. Kami singgah dari satu rumah manusia ke rumah manusia yang lainnya. Kadang mereka menahan kami begitu lama, adakalanya kami diusir begitu sampai di sebuah tempat. Begitu seterusnya sampai kami menghabiskan sembilan nyawa yang kami miliki.”
“Itu sungguh kisah yang menakjubkan,” jawab Rahmat Saleh. “Saya sering dengar juga bahwa kucing memang punya sembilan nyawa. Makanya mereka hidup malas-malasan karena kehidupan—bagi kucing—mungkin terasa sedikit membosankan. Tapi mungkin saya juga salah. Itu hanya mitos yang sering saya dengar. Tapi, ngomong-ngomong, kalau begitu, kalau tidak keberatan, bisakah Saudara ajari saya melompat untuk bisa pulang?”
Dapur pun berpikir sejenak. “Saya belum pernah mengajari manusia, sebelumnya,” kata Dapur agak ragu, “tapi, mari kita coba saja.”
Dapur meminta Rahmat Saleh untuk jongkok dan mengikuti postur tubuh kucing. Dalam hitungan satu, Rahmat Saleh diminta untuk memejamkan mata dan membayangkan tempat yang ingin dituju. Rahmat Saleh segera memejamkan mata dan membayangkan bentuk tendanya yang kumuh yang sebenarnya tak terlalu ingin ia tempati lagi bila ada tempat lain yang lebih baik. Dalam hitungan dua, Rahmat Saleh diminta mencengkram jari-jari kakinya sendiri untuk siap melakukan lompatan. Rahmat Saleh langsung mencengkram jari-jari kakinya dan siap melompat. Dalam hitungan ketiga, Rahmat Saleh diminta melompat.
“Tiga!” ucap Dapur dengan lantang.
Rahmat Saleh melompat.
Dapur serius mengamati.
Rahmat Saleh membuka matanya.
Dapur tampak kebingungan.
Rahmat Saleh juga kebingungan.
“Tidak berhasil,” kata Dapur.
“Tidak berhasil,” jawab Rahmat Saleh.
“Ini buruk,” kata Dapur sembari menaikkan ekornya. “Saudara mungkin telah melakukan sesuatu, sehingga menyebabkan Saudara tidak bisa keluar dari sini. Sesuatu yang dilakukan dan menyebabkan Saudara layak berada di sini.”
Rahmat Saleh merasa bingung mendengar penjelasan itu. Ia adalah pencuri. Apakah ini tempat yang layak bagi seorang pencuri? Ini bukan penjara. Tak ada borgol dan polisi dan hakim di sini. Ini cuma tempat asing yang sulit ia jelaskan, pikir Rahmat Saleh.
“Apa maksud Saudara, sebenarnya?” tanya Rahmat Saleh.
“Sepertinya Saudara harus menemui pemilik tempat ini. Mungkin beliau bisa mencarikan solusi atas permasalahan Saudara. Bagaimana pun ini adalah tempat miliknya. Agak kurang sopan juga bila seorang asing datang dan pergi tanpa sepengetahuan pemilik rumah,” kata si Dapur sembari menjilati tubuhnya sendiri. “Saya tidak bisa menemuinya. Tetapi saya tahu seseorang yang dapat mengantarkan Saudara untuk bisa menemuinya.”
Rahmat Saleh tidak tahu harus berkata apa. Harinya sudah sangat aneh sejauh ini. Dan sekarang ia terancam tidak bisa pulang karena seekor kucing gagal mengantarnya dengan cara berimajinasi dan melompat, dan ia masih terjebak di tempat asing yang aneh, dan ia sangat lapar.
“Berjalanlah Saudara mengikuti setapak ini ke arah Barat,” kata si Dapur, “lalu Saudara akan lihat ada jembatan kecil di sana. Pada jembatan itu akan ada petir yang sangat mengganggu. Tapi Saudara tak perlu takut. Jika petirnya datang, itu pertanda baik. Seseorang yang akan Saudara temui juga datang bersama petir itu.”
Dapur melompat dan hilang. Tinggal si Rahmat Saleh, dan cangkulnya, dan jalan setapak, dan padang rumput kering yang maha luas. Tanpa menunggu lama, Rahmat Saleh mulai berjalan mengikuti petunjuk dari Dapur. Ia tak punya pilihan lain. Hanya perkataan kucing itulah satu-satunya petunjuk yang ia miliki. Lagipula ia sadar, ini bukanlah dunia tempat ia seharusnya berada. Ia merasa tidak bisa pulang begitu saja dari tempat aneh ini, tanpa meminta pemilik tempat untuk membukakan pintu keluar untuknya. Ah, bagaimana mungkin, aku, seorang pencuri, hendak mencari pemilik rumah untuk minta tolong dibukakan pintu keluar karena tersesat. Aku berniat mencuri harta di dalam makam, siapa pula pemilik yang harus kutemui ini? Orang mati?
Rahmat Saleh sedikit gelisah tapi ia terus berjalan. Sulit menjaga pikirannya tetap waras di tengah kegilaan yang sedang ia alami. Bagaimana mungkin datangnya petir menjadi pertanda baik? Rahmat Saleh tak ingin melogikakan lagi satu-satunya petunjuk yang ia punya. Maka, ia terus berjalan karena tak punya pilihan.
***
Bersambung ke Pencuri Makam (Bagian 2)