Ketika hasil quick count lembaga-lembaga survei menunjukkan keunggulan paslon 02 Prabowo-Gibran, banyak kelompok aktivis yang mengeluh, misalnya yang terlihat di media sosial X. Bahkan media seperti Guardian menulis “Winter is coming: activists’ fears as Prabowo Subianto likely wins Indonesia election.”
Di media sosial X, ada yang menulis bahwa percuma ia selama ini mempelajari filsafat dengan segala macam tokoh-tokoh adiluhung yang pikirannya dianggap begitu paripurna dan penuh kebijaksanaan, sebab ternyata hal itu tidak berharga di hadapan program makan siang gratis.
Ada juga yang bercerita, seorang kawannya yang menjadi caleg dari Partai Buruh, yang sudah bertahun-tahun melakukan kerja advokasi secara probono dan rutin berinteraksi dengan warga sekitarnya, kalah suara dari caleg lain yang baru muncul menjelang pemilu dan memberi uang.
Ada juga yang memaki kawannya, yang dulu menjadi aktivis 98 dan sekarang menjadi bagian tim kampanye paslon 02. Terakhir, tidak sedikit yang menghujat dan mengutuk mayoritas rakyat kita yang masih tidak terdidik, bodoh, tidak punya prinsip, karena memilih kandidat yang secara eksplisit curang, melakukan nepotisme, bahkan diduga melanggar HAM.
Baca juga:
Antara Realitas dan Etika Politik
Dari ragam respons yang ada, paling tidak ada tiga hal yang bisa kita pelajari. Pertama, masih banyak yang mengandaikan bahwa realitas politik seharusnya tunduk pada idealisasi-idealisasi nilai luhur dan etika yang ada dalam kepala. Praktik politik yang eksis seolah menjadi sesuatu yang otonom dan berjarak dengan mode produksi yang eksis saat ini. Politik direduksi menjadi persoalan baik-buruk, bukan sebagai sarana pengaturan rakyat dalam fungsi-fungsi terdiferensiasi yang merupakan refleksi dari kebutuhan manusia bertahan hidup, sehingga penyebab atas persoalan saat ini—kasus MK, rakyat yang menerima politik uang, rakyat yang memilih penjahat HAM karena disiram bansos dan program makan siang gratis—karena mereka tidak beretika dalam praktik politik.
Tak mengherankan narasi etika politik menggema—memahami esensi politik adalah etika. Padahal hal-hal ini sudah jauh hari diingatkan oleh Martin Suryajaya, “politik, karenanya, tidak pernah mensyaratkan etika melainkan justru sebaliknya: etika mensyaratkan adanya politik dan politik itu sendiri mensyaratkan adanya proses pemenuhan kebutuhan hidup material—dengan kata lain, politik ekonomi.” Singkatnya, tanpa etika rakyat tidak akan mati, tetapi tanpa ekonomi rakyat pasti mati.
Jadi, persoalan rakyat yang melakukan praktik-praktik yang dianggap nir-etika, tidak serta merta karena mereka tidak beretika. Justru sebaliknya, mereka sadar betul bahwa teori keadilannya Rawls, misalnya, tidak dapat mengobati perut mereka yang mungkin belum terisi selama beberapa hari.
Kedua, kecenderungan kita menganggap bahwa rakyat itu sebagai entitas tunggal yang homogen, selalu “rakyat bantu rakyat” yang melawan korporasi dan negara. Kita tidak melihatnya sebagai sesuatu yang terdiferensiasi dalam kelas-kelas yang di dalamnya terjadi praktik eksploitasi bahkan tanpa partisipasi langsung oleh negara dan korporasi. Respons mereka terhadap suatu fenomena politik selalu akan dibiaskan dari posisi kelasnya–saya kira dalam proses advokasi di lapangan, kita sering abai akan hal ini.
Ketiga, kelompok intelektual, aktivis gerakan, LSM, dsb, yang mengkritik tapi tidak berani mengambil risiko. Ada banyak kritik yang bisa kita saksikan hari-hari ini, tetapi kenapa seolah kritik yang mengemuka tidak punya dampak apa-apa. Seperti kata Zizek, “Saya bosan dengan kaum kiri yang mengatakan ‘ini masalah yang sulit, lebih baik kita tetap oposisi dan protes.’ Ya situasinya tidak ada harapan. Tapi ini adalah masalah yang harus kita hadapi secara terbuka, dan tidak hanya mengkritik mereka yang berkuasa dari posisi yang nyaman.” Kritik yang muncul kebanyakan adalah kritik yang selalu memastikan diri si pengkritik dari ruang yang aman. Kita akan berani mengkritik selama itu tidak berdampak pada dapuran kita, misalnya.
Kita Butuh Harapan dan Strategi Bukan Olimpiade Penderitaan
Kata Raymond Williams, “Ilmuwan (aktivis atau gerakan progresif) hari ini lebih jago dalam mengeksplisitkan penindasan ketimbang membuat harapan tampak meyakinkan.” Bisa kita cek, yang terdekat pasca pemilu, narasi gerakan berkutat soal neo Orba, dark age era, winter is coming, yang berakhir dalam rezim despotik; tidak ada lagi harapan! Kita memang kalah, tapi bukan berarti tanpa harapan, bukankah di mana ada bahaya di situ ada peluang?
Baca juga:
Kebutuhan kita adalah harapan, harapan yang mungkin untuk diwujudkan, yang membuat kita tidak hanya sekadar mengeluh. Kita (gerakan progresif) bisa memulainya dari apa yang kita punya saat ini. Misalnya, pasca pemilu, kita bisa melihat konstituen Partai Buruh yang berjumlah 1 jutaan, kawan-kawan golput yang berisikan serikat buruh, organisasi mahasiswa, LSM yang masih aktif di gerakan, dsb, mereka mau diapakan? Paling tidak, kita harus mau untuk secara bersama-sama membicarakan apa yang bisa dikerjakan dengan ruang yang tersisa, dengan kondisi hari ini, kondisi yang membuat rakyat tidak terdidik secara politik.
Apa yang bisa dilakukan? Alih-alih bergerak secara sporadis (yang demo ya demo, yang meneliti ya meneliti, yang diskusi ya diskusi, dsb) dan hanya terbatas pada lingkar masing-masing, ada banyak ragam inisiatif yang bisa kita lakukan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan konkret rakyat. Pertanyaannya, sudahkah ragam inisiatif perjuangan itu terkonversi menjadi kesadaran politik yang ada parameternya, terukur, dan sistematis? Lalu, adakah evaluasi berkalanya sehingga kita tidak terjebak pada aktivitas berbasis persoalan moral belaka yang membuat kita bergerak tapi tidak punya tujuan apa-apa.
Sebagai pengingat, jangan-jangan terpilihnya 02 sebagai pemenang pilpres merupakan buah dari program unggulan dalam kampanye mereka (makan siang gratis) sebagai antitesa dari adagium klasik kapitalisme “tidak ada makan siang gratis!” yang masih menjadi problem rakyat mayoritas negeri ini.
Harusnya sikap atau respons kita atas hasil pilpres ini bukan menggrutu—itu hanya akan mengafirmasi kalau gerakan progresif Indonesia itu insignifikan—melainkan, seperti kata Joe Hill: don’t mourn, organize!
Editor: Prihandini N
One Reply to “Pemilu dan Keluhan Gerakan yang Insignifikan”