Peneliti Sosial, Sosiolog, dan Penulis Buku Know Thyself: Seni Menguasai Seribu Identitas.

Pemilu 2024: Ajang Politisasi Anak Muda

Mohammad Maulana Iqbal

2 min read

Dalam gembar-gembor kampanye, kita selalu mendengar narasi bahwa terpilihnya Gibran sebagai cawapres bukan karena bapaknya presiden, bukan karena pamannya ketua MK, bukan karena adiknya ketua partai. Alasan Gibran dipilih adalah karena dia anak muda.

Terlepas dari pengalamannya yang masih sesendok nasi, Gibran dinarasikan sebagai kawula muda yang dianggap mewakili suara-suara anak muda Indonesia. Hal ini dilegitimasi oleh Gibran saat pidato pertamanya di hadapan para pendukungnya saat deklarasi pada 25 Oktober lalu. Salah satu janji manisnya adalah Program Kredit Start Up Milenial.

Saya bukannya memiliki sentimen kepada Gibran atau bagaimana. Bagi saya, Gibran hanyalah salah satu contoh dari sebuah pertanyaan paling mendasar dalam pesta demokrasi kita pada 2024 mendatang: apakah anak muda hari ini benar-benar ingin berpolitik praktis?

Baca juga:

Tidak hanya Gibran, dari skala nasional hingga lokal kita sering sekali melihat baliho-baliho kampanye politisi anak muda. Foto-foto mereka bertebaran di pinggir jalan. Mengapa tahun ini banyak sekali anak muda yang begitu ngebet duduk di singgahsana parlemen? Padahal jika mengacu pada hasil survei lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis pada September 2022, anak muda tidak begitu ingin nyaleg atau jadi pemimpin di suatu daerah. Hanya 14,6% anak muda yang memiliki keinginan mencalonkan diri sebagai anggota DPR atau DPRD, dan 14,1% anak muda ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Begitupun dengan hasil survei Kompas pada Mei 2023, hanya 14% anak muda umur 23 tahun ke bawah yang tertarik untuk menjadi caleg di pemilu. Sementara paca usia yang sedikit lebih dewasa dari itu, persentase keinginan untuk berkontestasi di pemilu legislatif justru menurun sampai 11%.

Lantas, mengapa banyak baliho partai yang menampilkan wajah anak muda sebagai calegnya? Sedangkan pada kenyataannya banyak anak muda yang enggan berpolitik praktis. Apakah anak-anak muda yang nyaleg ini benar-benar ingin menjadi aktor politik? Apakah mereka benar-benar ingin duduk di kursi parlemen yang membosankan itu?

Apakah mereka benar-benar memiliki kehendak dalam hati nuraninya untuk berpolitik praktis, di tengah kenyataan bahwa banyak anak muda bergerak di bidang start up, menjadi konten kreator, berorganisasi, atau kegiatan lain yang membebaskan mereka.

Apakah betul anak muda sudah malas mengejar kedudukan PNS sebagai mantu idaman dan melarikan diri untuk menjadi caleg? Atau jangan-jangan anak-anak muda yang nyemplung ke perpolitikan ini hanyalah boneka partai untuk merebut suara mayoritas pemilu tahun depan?

Kita tahu bahwa suara pasar politik dalam Pemilu 2024 didominasi oleh kalangan anak muda. KPU sendiri mengumumkan berdasarkan data DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu), proporsi pemilih 2024 usia 17-39 tahun itu kisaran 55-60%. Lebih dari separuh suara didominasi oleh anak muda.

Dari suara pasar politik ini, saya justru sangat curiga bahwa anak-anak muda yang berpolitik praktis ini terjun bukan karena hati nurani mereka, bukan juga karena ingin membangun Indonesia dengan cara politis. Mereka hanyalah instrumen partai untuk menggaet suara anak muda yang bertebaran di pencoblosan mendatang. Anak muda hanyalah boneka bagi partai untuk menguasai parlemen, baik daerah maupun nasional.

Sadar atau tidak, semua partai, semua kontestan pemilu, semua capres melakukan politisasi anak muda dengan cara mereka masing-masing. Prabowo dengan cara mengajak Gibran yang dinilai mewakili anak muda, Anies-Amin dengan menggaet para santri selaku anak muda religius, serta Ganjar yang sering blusukan ke komunitas anak muda.

Baca juga:

Pada akhirnya, partai politik menggunakan wacana anak muda untuk meraih kekuasaan. Sebagaimana petuah filsuf kondang Michel Foucault, kekuasaan tidak berlangsung dalam wujud represi seperti era Soeharto, tetapi berlangsung secara lunak, dalam wujud produksi wacana-wacana yang membuat kita tak sadar dan akhirnya terbuai olehnya.

Jika dulu kita mendengar wacana wong cilik, wacana kejawaan, wacana agama, dan wacana ormas, hari ini kita dicekoki oleh wacana kepemudaan alias anak muda yang dipolitisasi. Kekuasaan terus berevolusi mengikuti trending dan pasar suara yang berkembang. Dan hari ini anak muda adalah target politik praktis dari para sesepuh partai.

Oleh karena itu, seluruh anak muda harus menyadari bahwa suara mereka hari ini adalah suara emas, suara mereka hari ini adalah suara penentu masa depan Indonesia, setidaknya untuk lima tahun mendatang. Hanya karena capres, cawapres, atau calegnya anak muda, bukan berarti para pemilih muda bisa dengan gampang memilihnya. Memilih pemimpin bukan hanya karena usia, tapi juga karena kompetensi, kapasitas, dan integritas.

Mari kita memegang teguh apa yang dikatakan Tan Malaka: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Mari kita gunakan idealisme dan daya kritis dalam memilih pemimpin. Mari kita uji kualitas para calon pemimpin itu dengan akal sehat. Jangan sampai termakan janji manis, hoaks, dan politisasi identitas.

 

Editor: Prihandini N

Mohammad Maulana Iqbal
Mohammad Maulana Iqbal Peneliti Sosial, Sosiolog, dan Penulis Buku Know Thyself: Seni Menguasai Seribu Identitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email