Sebuah spanduk tentang pelatihan membaca buku dengan cepat pernah terpasang di kampus saya. Pelatihan itu menjanjikan dapat menghasilkan orang yang bisa membaca buku dengan cepat, sekian halaman dalam sekian detik.
Saya yakin betul, jika spanduk ini disulap menjadi seorang manusia, simsalabim, ia akan berubah menjadi tukang jual obat yang menggelar pertunjukan di pasar dan menyakinkan penonton bahwa obat yang dijualnya berkhasiat menyembuhkan segala macam penyakit. Persis, seperti spanduk yang seolah menyakinkan orang-orang dengan mengikuti acara yang ditawarkan dapat membuat cakap melalap segala jenis buku dengan cepat.
Saya teringat sewaktu di sekolah menengah atas dulu, setelah belajar untuk ujian akhir saya membaca novel Dunia Sophie, sebuah novel filsafat mahsyur garapan Jostein Gaarder. Bukannya melepas penat dan menyegarkan pikiran, buku ini malah jadi bumerang buat saya. Membaca buku ini membikin kepala saya makin mumet.
Yang saya mengerti hanyalah cerita mengenai Sophie, gadis berumur 14 tahun yang mendapatkan surat berisikan ajaran filsafat yang dikirimi oleh seorang misterius, tanpa memahami sedikit pun ajaran filsafat yang coba Gaarder selipkan lewat novelnya ini.
Novel yang digadang cocok bagi pemula yang ingin belajar filsafat ini, rasanya masih cukup sulit dipahami bagi banyak orang, termasuk saya yang belum terbiasa untuk berabstraksi dan memikirkan hal rumit yang terkesan mengawang-awang. Kawan saya pula berkata demikian, mungkin karena mempunyai pengalaman yang hampir serupa.
Membaca buku ini membuat saya sewaktu itu berpikir keras. Beberapa kali saya pun harus membacanya berulang-ulang agar memahaminya. Itu baru buku pengantar yang dianggap mudah, belum lagi buku-buku utama yang berisi teks-teks asli buah pikiran para tokoh filsuf dari era kuno sampai kontemporer ini.
Belakangan saya mengerti, begitulah memang membaca buku filsafat: membuat kita merasa bingung dan merenung-renung, mempertanyakan segala sesuatu, dan tidak pernah merasa puas dari jawaban yang kita dapatkan. Kebiasaan ini yang saya ambil dan terapkan setiap kali saya membaca buku, termasuk karya sastra seperti puisi, cerpen, maupun novel.
Banyak yang beranggapan, gampang atau tidaknya sebuah buku untuk dipahami ditentukan lewat sulit atau tidaknya bahasa yang dipakai dalam tulisan. Sebenarnya tidak semudah itu. Menentukan rumit tidaknya suatu tulisan juga memiliki kerumitan tersendiri.
Pernah suatu kali ketika saya membaca buku filsafat, seorang kawan bertanya, apakah bahasa dari buku yang saya baca sulit dipahami atau tidak, saya justru langsung kebingungan untuk memberi jawaban. Kalaupun saya bilang “mudah”, belum tentu ini mudah bagi kawan saya yang belum akrab dengan dunia filsafat sebagaimana saya dulu sewaktu di bangku sekolah. Akhirnya saya hanya menjawab, “Tergantung. Mudah atau tidaknya ditentukan sejauh mana pengetahuan dan wawasan orang yang membaca.”
Maksudnya, sulit atau tidak dimengertinya sebuah buku tidak hanya semata-mata ditentukan oleh buku itu sendiri, tetapi juga isi kepala kita yang membacanya. Jadi, selalu ada dialektika yang terbentuk dari isi buku dengan pemikiran, pengetahuan, dan wawasan yang dimiliki si pembaca.
Biasanya untuk memberikan jawaban alternatif atas pertanyaan itu, saya mencoba menilai lewat dua hal: gaya penuturan dan bahasa teknis yang digunakan.
Gaya penuturan suatu tulisan ditentukan oleh seberapa dekat penyampaian isi tulisan dan kosakata bahasa yang digunakan dengan penggunaan bahasa sehari-hari kita pada umumnya. Walaupun penuturan dalam esai populer tidak terikat dengan aturan baku dan kekakuan layaknya pada esai ilmiah, belum tentu tulisan esai dapat dipahami secara langsung dengan mudah.
Esai-esai populer Bandung Mawardi, misalnya. Sering kali saya mendengar dari para mahasiswa yang baru pertama kali membacanya berkomentar bahwa mereka merasa kebingungan dan sulit menangkap isi tulisan. Esai-esai Bandung memang kaya diksi yang jarang digunakan sehari-hari, ditambah akrobat kata yang lihai ia mainkan.
Sedangkan, bahasa teknis, ini berhubungan dengan seberapa banyak istilah-istilah khusus pada suatu bidang tertentu digunakan dalam tulisan dan penjelasan yang menyertainya. Memahami istilah semacam ini sangat bergantung pada seluas apa pengetahuan dan wawasan yang dipunya.
Bila membuka buku karya Yasraf Amir Piliang, kita akan bersua dengan banyak istilah aneh di telinga kita. Contohnya hyperreality, hyperspace, masyarakat ekstasi, ekonomi libido, compassionate capitalism, passionate capitalism, dromologi, ruang epilepsi, neo-spiritualisme, dan seabrek istilah posmodern lainnya.
Kalau sudah begini, supaya paham, mau tidak mau kita mungkin perlu mencari tahu makna dari kata-kata itu sebelum lanjut membaca kembali. Ini tak hanya sebatas pada bidang cultural studies seperti pada buku Yasraf, tapi juga pada bidang lain, sebutlah sastra, antropologi, biologi evolusioner, fisika kuantum, dan masih banyak lagi.
Beruntung, jika ternyata ada bagian tulisan yang dengan sabar memberikan penjelasan kepada pembaca yang sabar pula mau membacanya. Atau menjumpai glosarium yang sabar menunggu si pembaca yang sabar pula mau berbolak-balik menemuinya di halaman-halaman belakang. Dan terkadang, penjelasan yang terbatas itu akan menuntut kita untuk mencari dan mengubek-ubek buku atau referensi lain.
Tetapi saya sadar, penilaian saya semacam ini juga tidak datang begitu saja. Pada akhirnya semua akan berbalik lagi tergantung juga sejauh mana pengetahuan dan wawasan si pembaca. Persoalannya adalah seberapa banyak jam terbangnya, buku-buku apa saja yang telah dijelajahinya, diskusi serius maupun obrolan-obrolan santai di tongkrongan mana yang diikutinya, dan pengalaman sehari-hari lain apa yang ia dapati.
Bagi orang yang sudah lama mengembara dan bertemu dengan beragam gaya tutur tulisan, bisa jadi merasa mudah memahami tulisan Bandung Mawardi walaupun baru pertama kali membacanya. Yang setiap harinya memang bergulat dengan filsafat atau cultural studies dan hidup di sekitar orang-orang yang menekuni itu, kemungkinan besar juga akan mudah melahap lapis demi lapis tulisan Yasraf Amir Piliang yang ditaburi oleh bahasa-bahasa teknis.
Membaca buku dengan cepat sering kali hanyalah omong kosong belaka. Gagasan di kepala kita terbentuk dari yang mulanya sederhana hingga yang kompleks. Ketika tak sengaja bertubrukan secara langsung dengan sesuatu yang kompleks dan masih terdengar asing dari buku yang dibaca, sudah sewajarnya kita membutuhkan waktu untuk memahaminya.
Berhenti sejenak saat membaca buku lantaran kebingungan pun adalah hal yang wajar dan tak patut dirisaukan. Yang patut dirisaukan justru ketika kita mengidam-idamkan cara yang serba instan, cepat merasa puas, dan merasa yakin kalau kita sudah benar-benar memahaminya.