Air Susu
ibu menyusui anak-anaknya
dengan menggunakan
puisi yang kata-katanya merayap
melalui kerongkongan
agar para anak tahu
rasanya bahasa ibu yang kelak
akan dilupakan seperti pahitnya yang lekak
dan akan mereka mutahkan
(2023)
–
Sarapan
kehujanan saat membeli sarapan
seperti ketika bulir bahasa
berjatuhan ke selembar koran
yang penuh dengan dugaan
ingsutan bunyi kumal prasangka
yang kebasahan
pemaknaan menjadi basi
dalam lauk yang mencari
kepentingan sendiri-sendiri
agar penamaan mereka
tetap basah di tenggorokan
yang kering saat suara
berdiam menelan spekulasi
pikiran-pikiran dari rontokan hujan
diam yang berbungkus plastik
telah tercabik tanda tanpa petanda
kelimpungan meminjam makna
ke payung bahasa di atas kepala
yang kelopaknya mekar dikuliti
selapis demi selapis siniar praktis
lalu menyeruak bangkai dari masa lalu
yang tak sempat dimakamkan pada kamus
yang menjadi kuburan kata-kata
setiap bahasa yang bermigrasi
di antara spektrum warna langit
dari televisi tanpa suara atau
pelajaran bahasa di sekolah tua
mendung perlahan pergi
gerimis mengecilkan volumenya
tak lagi sebising percakapan manusia
dengan pikiran-pikirannya
angin mulai berembus lembut
seperti sutra yang membawa diam
ke setiap mulut seusai kehujanan saat membeli sarapan
(2023)
–
Pekan-Pekan Telah Berakhir
menit bekerja dalam jam yang lupa waktu
pada waktu yang tak lagi menempel
di dinding-dinding dingin pekerja
yang berlumut tak terpelihara
di jam-jam yang tak lagi sama
seperti kerumun serangga yang
hinggap pada riuh lampu kota
tak tahu apa yang dihinggapi
namun tetap bergumul hingga mati
detik terus menitik pada lantai
yang lunglai
hari semakin beku dan berhenti
pada ujung lembar-lembar almanak
bagai ribuan kendaraan mengantri jalan
di sudut perempatan lampu merah
berdurasi tak henti-henti. berhenti.
di waktu yang tak berhenti. semua terhenti.
pekan-pekan telah berakhir
tak ada bulan bergulir
tahun dimangsa detik yang meniti kata
hingga tak bertumbuh menjadi satuan waktu lain
namun beranak menjadi tulisan-tulisan yang berdiri
sebagai puisi tak terpelihara
(2023)
–
Belangga Angkasa
dari bawah tanah
api menyergah cahaya
bahasa telah meledak
mencipkatan kaldera kata
di belangga angkasa
tanpa sisa seperti tambora
menganga ke dalam telinga
setiap suara yang meminjam
arti dari benda-benda tanpa
tahu bahwa makna pada tiap benda
melayang bagai abu disayat udara
jumat paling hitam mengkotaki tulang
dalam diri tiap manusia yang matanya
dijahiti kancing-kancing kelam
untuk dapat menyelinap lubang sempit
kegamangan bahasa di antara bintang berapit
walau badannya tak ke mana-mana
mengonggok di dalam lemari rongsok
tumpukan kata bersawang dan debu
lalu kata mendidih dalam belangga bahasa
menetes menjadi mantra ke kotak-kotak
tulang manusia, menyublim menjadi doa
agar tiap arti dari berbagai benda kembali
pada tiap suara yang sumbang di tiap tanah
yang bermekaran seperti kelopak kembang
akibat diguyur jemari hujan yang basah
(2023)
–
Mercusuar Tua
gelombang pasang
membawakan pesan
yang sandar pada pecahan karang
di tepian curam mercusuar tua
tentang makara yang lepas
dari tunggangan baruna
menghambur masuk dan membongkar
perabotan dan isian rumah-rumah
di kaki pantai yang telah pincang
pasir mengurug setinggi pinggang
pintu-pintu tinggal separuh badan
dan hamparan cemara tempat
bertukar cerita perihal; esok makan apa,
kapan si nang akan pulang nyantrang,
senandung tentang sandang dari si nok yang
tidak tenang karena mengharap bulan ke tiga belas
tak kunjung datang; lenyap tinggal suara,
kibasan angin berceloteh di antara telinga yang
dihinggapi burung laut tanpa nama
seruan pagi untuk menjala matahari
telah pergi bersama pasir yang diusir
menuju tengah lautan jelaga hitam
nelayan telah menyauhkan harapan
di rekah laut yang rebah pasrah
memilih terbang dalam mimpi basah
menjadi orang di tanah yang sudah
bukan milik moyang yang digoyang
menggunakan bak dan ban usang
namun begitu mercusuar tua
yang telah padam cahayanya
tak dapat mengantar kapal
menuju pelabuhan tenang untuk sandar
atau berpesan dan berkesan dengan suar
kepada burung laut tanpa nama, baruna
yang kehilangan makara, dan matahari yang
belum lepas dari jeratan jala
malah mercusuar tua memilih lelap dalam badai
yang menggerogoti kanvas-kanvas
milik para mualim yang sedang menyembelih angin
untuk mencapai tepian lautan dan mengistirahatkan
layar yang telah kebas dikibas buas
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA