Parade Kesedihan
Di ujung sebuah negeri
Di ambang batas antara hidup dan mati
Seorang bocah dengan mata nanar
Menyaksikan parade kesedihan mengular
Dari layar-layar gawai
Hingga halaman-halaman surat kabar
Ingin ia menangis
Namun airmata telah mengering
Saat ia saksikan
Tangan-tangan hitam terampil bergerak
Di antara puing-puing kota yang luluh lantak
Dan jasad-jasad berserak
Mengais keuntungan
Dari sisa-sisa ratapan
Ingin ia berteriak
Namun suaranya tertahan
Oleh nyaring jerit
Suara-suara nasib yang terjepit
Sedang nun jauh di sana
Di balik gedung istana
Gelak tawa terus menggema
Dari mulut raja
Dan para wazirnya
(Buleleng, 2021)
–
Ode untuk Guru
: Kiai Syainuri Sufyan
Dengan malu-malu
Kami menyuruk ke dalam doamu
Berlindung dari lunglai
Oleh amuk badai
Kamilah makna-makna yang menggandul
Pada baris aksara-aksara gundul
Yang kauimla pada sebuah taklim
Pada sebuah dahaga yang mempertemukan
Antara yang sakral dan profan
Menyuguhkan sekuntum kearifan
Dari taman-taman firman
“Jika kaujumpa alamat nifak yang didedah Tuhan,
jangan arahkan telunjuk kepada liyan.
Namun tengoklah ke dalam diri,
barangkali di sana ia terpatri.”
Lalu ada ronta menyeruak
Saat langkah kami mulai beranjak
Dari sepetak tanah
Yang bukan hanya tempat menempa diri
Melainkan juga denyut nadi
(Buleleng, 2022)
–
Kawanan Domba
Seperti kawanan domba
Di hadapan seringai serigala
Begitulah kita dipandangnya
Digiring pada suatu padang
Tak satupun rumput terhidang
Hanya gersang membentang
Terik menantang
Kita hanyalah kawanan kecil yang diburu
Untuk akhirnya dihempaskan
Ke lubang-lubang kekalahan
Pada lembah-lembah kehancuran
Saban musim tak ada yang berubah
Masih orasi yang sama
Retorika yang tak ada beda
Lelucon-lelucon yang tak jenaka
: Kekosongan belaka
Begitulah kita tumbang dan ditumbangkan
Remuk dan diremukkan
Karena kita hanyalah suara
Yang dijerat untuk dihilangkan gemanya
Sebab kita hanyalah lumbung
Ladang basah mengunduh untung
(Jogja, 2023)
–
Di Hadapanmu
Di hadapanmu aku menyaksikan
Musim yang luruh
Kepedihan dan kecemasan memilih tanggal
Membiarkan senyum dan tawa lebih leluasa tinggal
Tahun-tahun yang berlalu bukan sekadar deretan angka
Ketabahan sudah menjelma ritus
Yang kita hayati sepanjang waktu
Diiringi simfoni semesta
Kau mengajariku merapal mantra-mantra
Melebur pada zikir bebatuan
Pada tasbih pepohonan
Di hadapanmu aku melihat
Jarum jam bergerak cepat
Membekas seutas nasihat
: Berserah adalah suatu niscaya
Menyerah ialah awal dari bencana.
(Buleleng, 2023)
–
Doa-Doa Klise
Tak ada yang lebih klise
Dari doa-doa yang kulambungkan
Ke hadapan Tuhan
Para malaikat mungkin sibuk mencatat ibid
Pada lembar-lembar halaman malam
Pada catatan-catatan kaki temaram
Serupa teluh yang dikirim penyihir entah
Karnaval mantra itu berderap
Melewati genteng rumahmu, halamanmu,
Hatimu, jiwamu
Sebelum pada akhirnya bersimpuh di ambang sidrah
Menggemakan namamu di segala arah
Mimpi-mimpi menetas di kepala
Bulan tanggal di kaca jendela
(Jogja, 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA