Hanya ingin menulis

Para Penyair

Rezy Refro

1 min read

Para Penyair

1
Memahami Sapardi lewat syairnya
Ia menulis sederhana, sangat sejuk, diselimuti kejenuhan, namun mencipta mimpi yang jernih, segalanya menjadi embun pagi

Memahami syair Aan Mansyur pelan-pelan, getar denyut tinta pena yang diremuk, mencoba dibantu pelamunan, ia pandai berdansa, kita (pembaca) pandai bersorak

Memahami Sapardi lewat Kacamata Aan Mansyur ialah karunia sastra, kau akan ber-kobar atau justru me-riang. Liciknya, kata-kata ia tak kehabisan akal menjemput makna

Menerjemahkan Aan Mansyur dengan riwayat sang kyai Sapardi, membuat kita (pembaca) tak selamat, kadang patah tulang, dibuatnya

2
Gerombolan penyair mati, aku penasaran, apa yang dilihatnya, oh Tuhan, kami lupa menguburkan pena dan kacamata mereka

Layaknya petunjuk-Mu, masihkah ada yang bisa mengantar kami (pembaca), tuk menjadi makmum di belakang barisan syairnya

Mereka penyendiri dikepung kerumunan kata, lantas kenapa ditembak mati, dibungkus plastik sampah, disumpahi orang-orang saleh?

Tolong! Matanya hilang, juga tak dicari, hanya untuk janji pemilihan umum calon presiden, kami (pembaca) mencoblos kepalanya!

3
Bayangkan jika kematian Widji Thukul tidak pernah ada, maka apa yang hendak Joko Pinurbo tulis?

Masihkah ada di bawah kibaran sarungnya, bersama dua biji kolonial yang selalu ngaceng, atau justru Widji bersemayam di sana?

Pinurbo bukan penyair, ia pengacak, atau hanya seseorang kolektor, menjelajahi nusantara untuk mencari kotoran dan bangkai yang berkuasa, sebelum disimpan dalam kaleng Khong Guan.

Oh! Mungkin Widji ada di sana! Dalam kaleng biskuit. Melawan apa yang dicari Jokpin: kotoran dan bangkai.

4
Abad 21 lahir generasi milenial, ruang rawat ibu hamil, penyair milenial lahir dengan transaksi non-tunai, senja jadi asi mereka,

Syairnya digital tak miliki rima, elektronik mati rasa, dan tiba-tiba kok jadi kasih motivasi? Kata kami (pembaca), sedihkah menjadi Aku?

Sosial merekam manis, ketenaran menikam semut, wahai Penyair Virtual, bisakah kau tunjukan gula murni penyambung hidup semut

Binatang jalang tak kenal waktu, sekalipun senja.

5
Di bawah meja menumpuk ramalan, tentang perdamaian dunia ke-7, perang estetika dan metafora, mereka mati karena tak cukup kreatif

Kemanusiaan di atas segalanya, segalanya harus indah, celakalah kami yang hanya menikmati non-fiksi,

Perang dunia estetika membunuh penyair kaku, malam ke hujan ke cinta ke purnama ke bibir ke semesta ke hal-hal biasa, riwayat terakhir pun tak sudi dibaca

Imajinasi membuat mereka bertahan, ototnya tak ada guna, dengan kata-kata mereka mendapat lauk-pauk, sang nelayan kena imbas ombak kekayaan.

Rezy Refro
Rezy Refro Hanya ingin menulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email