Pandemi Dunia Akhirat dan Puisi Lainnya

Ananda Bintang

1 min read

Pandemi Dunia Akhirat

Mungkin, Tuhan sedang
mengadakan Webinar.
Kamu selalu diundang, tapi selalu mematikan
mic atau kamera—atau keduanya.
Atau jangan-jangan
kamu hadir, tapi kamu
sedang tidak memperhatikan-Nya
Mungkin juga aku atau mungkin
kamu dan aku memang selalu
mengabaikan undangan itu dengan
alasan yang selalu saja kita anggap benar.
Tenang, kamu dan aku pasti
dapat E-Sertifikat untuk bisa berkuliah
di akhirat.
Semoga saja di sana uang kuliah tidak
mahal,
dan perut
selamanya kenyang.

Manasuka Kerja

Sayang, apakah kata kerja
pernah mengeluh
tidak pernah diupah oleh
orang yang bikin mereka dikejar kerja?
Kapan sekiranya kata ini
berserikat untuk berhenti
bekerja
dan berserakan di jalan kota?
Sayang, pemogokan terhadap
kesewenangan bahasa
telah terjadi
tanpa pernah kita duga.

Obrolan yang Tak Perlu

Dua orang mencari topik obrolan
di sela-sela waktu dan atau kesempatan
ketika mereka tak sengaja bertemu
untuk sekian lama
gelagat yang satu membuka handphone
untuk melihat apa-apa padahal tak ada apa-apa
satu lagi mencari celah untuk mengakhiri
basa-basi yang tak perlu dan memang
tugas basa-basi untuk hal-hal yang tak perlu
hingga kalimat yang dinanti-nanti itu akhirnya tiba:

“duluan ya.”
“oh ya-ya-ya, hati-hati.”

keringat dari masing-masing mereka,
tak jadi menetas tetes.

Karangan Bunga

Kematian pelan-pelan mengetuk masuk,
ngiung-ngiung di ventilasi telinga
menjelma toa dan memborbardir linimasa
dengan karangan bunga.
Hari-haru penuh innalillahi,
kini, makanan dan pahala bisa dipesan lewat pulsa
diselinapkan lewat lubang-lubang pintu penuh kecemasan.
Manusia dikurung menjadi sertifikat dan angka-angka
dijejal berita yang tak ada habis-habisnya melelehkan lelah mata.
Apa-apa yang dulu bisa bersua
berubah bentuk remuk,
jadi layar-layar webinar dan kata-kata sambutan yang meriah mubazirnya
—tak peduli ada suara ayam atau sinyal internet berjalan gelisah.
Indonesia, apakah kebudayaan perlu divaksin juga?

Alam Maya

Ada kata viral di tubuhmu
Mengalir sungai sumpah serapah
Disebar-luaskan sampai ke hulu
Tinggal bercak-bercak hashtag
dan sisa klarifikasi yang tenggelam
Di muara doxxing.

Lampu Merah

Aku pernah melintasi tapal batas kota dan
selama perempatan beberapa,
lampu selalu hijau
waktu sepertinya tak lagi menyempatkan
kita untuk bicara, lalu aspal mengikis
kecemasan dari kejenuhan sepotong
kuku-kuku panjang di rumah
ia menjadi tipis dan semakin tipis, menjelma
lampu merah malam dan
koran-koran yang tak lagi terjual.

Ananda Bintang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email