Pak Presiden Terbang ke Bulan

Intan Andaru

3 min read

Kala itu, kampungku begitu muram. Kabar kematian presiden pertama kami telah tersebar. Doa yang dilantunkan seperti asap yang mengudara—mengepul dari atap rumah. Di tengah redup kampung kami, temanku Tomo berteriak-teriak. Ia berjalan sambil menggerak-gerakkan tangan ke langit. Ia bilang Pak Presiden tidak mati. Ia melihat sebuah becak yang dikendarai lelaki tua menjemputnya. Becak itu membawanya terbang ke bulan. Pak Presiden sedang melambaikan tangan kepada orang-orang, namun tidak ada yang membalasnya.

***

Bapak mendapat teguran dari Pak RT lagi untuk segera mengganti foto presiden. Memang sudah berulang kali, tapi Bapak tetap tidak pernah mengganti foto presiden. Foto presiden pertama itu masih terpampang gagah di ruang tamu dengan pigura yang sudah dimakan rayap. Di bawahnya, foto keluarga kami berbaris rapi—foto Bapak dan aku dalam gendongan Ibu, foto Ibu sewaktu muda, dan foto pernikahan mereka dengan adat jawa yang sederhana. Pamanku, seorang pegawai negeri, pernah membawakan sepasang foto presiden dan wakil presiden untuk dipasang di ruang lain, tetapi Bapak tidak mau. Ia berikan juga beras dan kalender dari partai kuning, Bapak tidak mau. Kata Bapak, bila kami menerima, artinya pada pemilu mendatang, orang rumah kami harus ikut mencoblos partai yang sama dengan Paman.

“Presiden pertama kita sudah meninggal setahun yang lalu lo, Pak. ”

“Iya. Aku tidak pikun. Tapi aku tetap tidak mau fotonya diturunkan,”

Aku tidak membujuknya lagi. Sejak presiden pertama kami lengser, kami memang diminta menurunkan gambar-gambarnya, tetapi poster dan stikernya sudah terlanjur tertempel di mana-mana—di rombong bakso, di pos, di angkot, bahkan di tiang listrik. Orang-orang di kampung kami memang sedemikian gandrung kepadanya. Biarpun ada berita buruk tentangnya menyebar dengan cepat, orang-orang tidak pernah percaya. Bagi mereka, presiden pertama bukan hanya seorang pemimpin sebuah negara—lebih dari itu, ia adalah simbol perjuangan.

Para tetua kampung adalah saksi perjuangan kemerdekaan tahun itu. Mereka yang selalu menceritakan kepada kami bagaimana sosok itu mampu menggerakkan mereka. Saat pekikkan ‘merdeka’ menggema di radio, mereka ikut terbakar. Pidato darinya pula yang menjelma cermin untuk mereka—para kawanan serigala yang sebelumnya mengira diri mereka adalah anjing hutan.

Mereka dulu pernah mendengar berita presiden pertama kami pergi ke kota. Orang-orang kampungku sudah bersiap menyambutnya di pinggiran rel kereta. Tiap tiba jadwal kereta ke arah timur, para laki-laki menaruh cangkulnya, meletakkan palunya, meninggalkan kopinya sebagaimana para perempuan menyandarkan sapunya, mematikan kompor, dan menggendong anaknya, untuk berlarian ke tepi rel. Mereka melambaikan tangan pada tiap kereta yang lewat berharap presiden ada di sana. Bapakku adalah salah satu dari mereka yang gandrung kepadanya. Namun ia memiliki usaha lebih untuk bertemu, ia rela mengayuh sepeda bersama para pemuda lain ke lapangan kota sejauh tiga puluh kilometer. Sekalipun alun-alun sudah menjelma lautan manusia, sehingga tak ada tempat lagi untuk masuk ke dalamnya—bapakku dan teman-temannya rela memanjat pohon. Mereka bahkan mempertaruhkan nyawa dengan ikut mengepalkan satu tangan sementara tangan lain memeluk pohon erat-erat.

***

Setiap libur semester, aku kembali ke kampung. Selalu kuceritakan pada Bapak bahwa kuliahku lancar tanpa halangan, sekalipun kenyataannya tidak seperti itu. Masih sering kudapati mereka yang melihatku seperti aku melihat Ibu. Bagi mereka, anak perempuan seperti Ibu nilainya lebih rendah dari pelacur. Namun, aku tak pernah mengeluhkannya agar beban Bapak tidak bertambah berat. Cukup Bapak memikirkan uang kuliahku dan mengurusi hama yang sudah menyerang sawahnya.

Suatu hari, saat aku mengambil kursi dan menurunkan pigura-pigura di dinding rumah kami, wajah Bapak langsung masam. Kujelaskan kepadanya aku hanya bersih-bersih. Foto-foto itu akan tetap berada di sana. Dan saat aku meletakkan foto Ibu ke lantai, mata kami terhenti di sana. Berjalan-jalan sendiri dengan sisa ingatan tentang ibu.

“Tambah besar, aku mirip Ibu ya, Pak?”

Bapak mengangguk. Kami hening lagi. Aku tidak berani bicara lagi tentang Ibu sekalipun sejak dulu aku ingin melakukannya. Sebab aku tahu ada luka di dada Bapak, pertanyaanku kepadanya seperti taburan garam pada lukanya yang masih mengaga.

Waktu kecil, aku hanya ingat Ibu sering memasakkanku telur ceplok dan tempe kecap. Lalu Ibu berangkat mengajar anak-anak di TK. Pulang bekerja, pada hari-hari tertentu Ibu mengajari para perempuan kampung kami untuk mengenal huruf. Ibu juga sering pamit kepada Bapak untuk menghadiri rapat-rapat. Malamnya Ibu sering bercerita kepada bapak tentang banyak hal, kegiatan perempuan hingga nasib para buruh perempuan. Pernah juga Ibu dan Bapak memperdebatkan pernikahan presiden pertama dengan istri-istrinya. Banyak cerita lain yang aku tak mengerti saat itu. Yang kuingat pada suatu malam Ibu tidak kembali dan hal yang sama terjadi pada teman-teman Ibu. Bapak bilang aku tidak akan bertemu dengan Ibu kembali. Aku menangis dengan hebat. Itulah kali pertama aku mengenal kehilangan, celakanya ia datang dengan cara yang sedemikian buram.

Sejak menjadi mahasiswi, aku mulai berani mencari tahu tentang Ibu. Kudatangi kakek-nenekku dan keluargaku yang masih memiliki ingatan tentang Ibu. Kucari surat kabar dan berita tentang perkumpulannya itu tapi begitu sulit kutemukan—barangkali sudah jadi abu seperti kisah orang-orang seperti Ibuku pada September kelabu.

***

Pada semester akhirku, aku menerima surat kilat dari paman. Ia mengabarkan Bapak jatuh sakit. Ia hanya bisa baring di tempat tidur dan memintaku segera pulang. Di hari itu, aku segera berkemas. Aku pulang menggunakan karcis kereta ekonomi tanpa tempat duduk. Sepanjang jalan, tiap aku melihat lelaki bersepeda, aku ingat Bapak yang mengantarkanku sekolah dengan sepeda tuanya. Aku ingat bagaimana ia membangunkanku tiap pagi, menyiapkan air hangat, menata seragamku, dan memintaku menghabiskan sarapanku. Ia sudah mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Ibu dengan sempurna.

Tiba di stasiun, aku melihat Tomo, tetanggaku yang putus sekolah dan bekerja sebagai tukang ojek. Aku segera menghampirinya. Ia girang menyambutku seperti lalu-lalu.

Saat melihat mataku basah, Tomo bilang kepadaku, “Jangan bersedih, Sri. Bapakmu masih sehat.” Sejenak ada sejuk di kepalaku.

“Tadi pagi, aku lihat bapakmu sedang naik sepeda menuju bulan. Ia sedang duduk-duduk di bawah pohon bersama Pak Presiden—dan Ibumu tentu saja.”

*****

Editor: Moch Aldy MA

Intan Andaru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email