Padam Gemuruh

Adib Arkan

8 min read

Kau menahan gemuruh dalam dada dan ini hari ulang tahunmu yang kedua belas. Di depanmu terbentang danau kecil dengan tanah lain di ujungnya; di sekujur nadimu darah mendidih bergejolak hebat. Kau mengambil batu kecil di sisi kakimu dan melemparnya ke air sambil berteriak kencang.

Di atasmu matahari sore anggun mengapung di angkasa. Benderangnya menggagahi sekitar, panasnya menyulut api di dalammu untuk kian hebat berkobar kala kepalamu memutar ulang kejadian tadi pagi; pagi di mana kau berkelahi dengan kawan sekelasmu, Anggoro, karena ia membuat lelucon mengenai adikmu yang berkebutuhan khusus.

Di lorong sekolah, tepat di sisi kelas 7C, kau menghajar tengkuknya dengan pukulan kencang. Anggoro terpental hampir terjatuh. Kau berlari mengejarnya hendak menghantar satu lagi pukul telak di wajahnya. Teman-teman sekelasmu, laki-laki yang bersorak dan perempuan yang menjerit, melingkar riuh menonton perkelahian itu.

Matahari menembus sela-sela pohon langsung ke arena tinjumu dengan Anggoro di lorong kelas, membakar kulit tanganmu; tangan yang tadi gagal menghantam wajah lawan di depanmu. Anggoro cukup lihai, ia mengelak ke samping dan balik menendang pahamu. Kau terjatuh, kawan-kawanmu bersorak, dan tak lama seorang guru tiba membelah lingkar riuh mereka.

Kawan-kawanmu berhambur membubarkan diri tanpa dikomandoi. Kini, di lorong kelas, di sisa lima belas menit jam istirahat, kau dan Anggoro duduk di hadapan guru olahragamu yang masih hening terdiam. Tatap matanya tajam menembus relung kalian, mengantar ngeri tanpa sepatah kata keluar. Dengan satu isyarat tangan, ia memerintah kau dan Anggoro untuk mengikuti langkahnya menuju ruang guru yang hanya berjarak sepuluh meter dari arena perkelahian.

Di sana, kau dan Anggoro didudukkan di hadapan meja sang guru. Guru-guru lain lalu lalang, beberapa bertanya apa yang kalian perbuat. Ceramah guru itu tentang moral berjalan hingga hampir satu jam dan kau memerah, menahan amarah dalam kepal kencang yang bergetar. Sesekali kau menengok ke samping dan kau dapati wajah Anggoro memerah dengan tangan yang pula mengepal. Kalian terlihat bak pinang dibelah dua.

Orang tua kau dan Anggoro dipanggil esok hari. Jika tak datang, hukuman akademis menanti. Kau dan Anggoro keluar dari ruang guru menuju ruang kelas, menahan geram namun berjalan berdua bersisian. Kau dan Anggoro memasuki kelas kala guru matematika sedang berdiri tegak di depan papan. Ia menggeleng melihat kau dan Anggoro yang tak menyapa dirinya dan langsung berjalan ke bangku masing-masing. Kelas berlangsung hingga satu jam sebelum akhirnya bel pulang berdentang.

Kau dan Anggoro beradu pandang sebelum meninggalkan kelas. Mata kalian membuat perjanjian yang tak tertulis namun dipahami oleh kedua belah pihak. Kau dan ia akan menyelesaikan perkara, namun tidak hari ini. Orang tua masing-masing telah menjemput di gerbang. Kini, kau berjalan ke luar sekolah dengan tatapan kosong dan pikiran yang keruh. Ayahmu dan ayah Anggoro telah tiba di depan gerbang, menantimu untuk menjemput.

Kau bimbang. Di belakang jok motor, kau memikirkan kapan harus kau katakan panggilan ini kepada ayahmu. Kau terdiam sepanjang jalan pulang. Ayahmu bertanya bagaimana harimu namun kau hanya membisu menatap jalan, dan ia mengira kata-katanya tak terdengar dan tertelan oleh udara.

Di rumah, kau masuk ke dalam kamar lalu merebahkan dirimu di atas ranjang. Ibumu memanggil untuk makan siang sedangkan kau kehilangan selera untuk bersantap. Namun tak mungkin ibumu membiarkan kau untuk menuruti selera makanmu, ia akan mengetuk pintu dan menarikmu langsung ke meja makan.

Maka kau keluar demi memenuhi panggilan. Ternyata keluargamu telah berkumpul melingkar di meja makan. Ibumu memasak sayap ayam tepung kesukaanmu. Di meja telah pula terhidang kue kecil dan lilin yang menyala di atasnya. Seluruh wajah di meja itu berseri. Tahun kemarin, mereka terlupa dan baru teringat pada malam hari. Oleh karena itu, perayaan kecilmu tahun lalu baru dihelat pada esok harinya. Namun tidak hari ini: keluargamu tak mengulang kealpaan tahun lalu. Mereka mengingatnya.

Melihat ini, perasaan-perasaan dengan kutub yang bertabrakan bergulung bagai ombak yang memperebutkan pantai di kepalamu. Kau haru dan bahagia, namun dengan intensitas yang ternyata belum cukup untuk menghapus marah di dalammu. Maka ketika kau dihadapkan dengan lilin, kau tak dapat memikirkan apa pun harapan baik bagi dirimu. Di kepalamu hanyalah tentang bagaimana cara untuk mematikan Anggoro dengan tangan telanjang, atau dengan cara apa pun. Ia harus mati.

Lalu, kau meniup lilin-lilin itu dan keluargamu bersorak.

Sejenak kau menatap mata adikmu yang kau bela kala Anggoro membuat lelucon tentangnya di kelas; tentang adikmu yang menarik tangan Anggoro ke hadapan lemari kala ia bekerja kelompok di rumahmu. Adikmu hendak meminta untuk buatkan teh, namun tentu Anggoro tak memahaminya dan melepaskan genggamnya. Kemudian, Anggoro berjalan masuk ke kamar dan memanggilmu. Hari ini, di kelas, ia menyinggung adegan ini di depan teman-teman lalu menanyakan kondisi adikmu dengan nada mengejek tepat di depan wajahmu.

Maka kau berdiri dan melayangkan pukulan pertama itu. Segala lamunan buyar kala Ibu menaruh ayam dan nasi tepat di hadapanmu. Dengan malas kau memotong dan menyendok makanan. Sambil mengunyah, kau kembali terpikir kapan kau harus memberitahu ayah dan ibumu mengenai panggilan esok hari. Mungkin malam nanti, pikirmu. Tidak saat perayaan ini.

Setelah makan dan berfoto, kau kembali memasuki kamar. Kau menyalakan kipas dan rebah. Tubuh dan kepalamu mulai lelah setelah semua kegilaan hari ini. Sambil memejamkan mata, kau berulang kali menghembuskan napas panjang demi meredakan geram yang masih awet menempel bak lumpur di sepatu putih. Pikirkan nanti lagi, katamu dalam hati. Lalu matamu lekas terpejam.

Dua jam penuh kau terlelap tidur sebelum dibangunkan oleh azan asar yang bertalu. Kau bangun dari kasur lalu mandi sekenanya. Baru setelahnya kau sadari: tidur dan mandi gagal tuk redakan gemuruhmu. Kau masih terus berpikir tentang bagaimana jalan untuk menghantam Anggoro.

Ruang kamarmu matang dipanasi gejolak-gejolak itu. Bahkan rasa segar setelah mandi tadi pun tak banyak membantu, keringat mulai bercucuran. Seketika kau memutuskan untuk keluar. Kau tak tahan di ruangan ini dan kau ingin berteriak sekencang-kencangnya. Maka, tanpa pamit kepada orang tuamu yang berada di kamarnya, kau lekas mengambil sepeda untuk kemudian mengayuhnya dengan sekuat tenaga. Kau tahu tempat yang tepat: sebuah danau kecil di hutan yang berjarak tiga kilo dari rumah.

Melesat kau ke luar pagar, menembus jalan besar, menerabas lapangan luas, kemudian masuk ke hutan tempat di mana danau itu berada. Kau selalu mencintai persembunyian rahasiamu ini: udara sejuk, rumput-rumput lembut, dan daun-daun yang gugur ke wajahmu kala kau merebahkan tubuh. Kau memarkir sepeda lalu berjalan turun ke tepi danau.

Begitulah, maka kini kau melempar batu berulang-ulang sambil berteriak, tepat sesuai rencana. Jauh di dalammu, kau ingin meledakkan tangis. Namun alangkah malu dirimu sendiri untuk menangis karena kalah perkelahian. Tidak, tidak, aku tidak boleh menangis, pikirmu. Sebagai gantinya, kau mengambil batu terbesar di sana dan melempar sambil berteriak dengan amat kencang.

Batu jatuh menghantam danau dan menimbulkan suara berdebam yang menggema di lengang alam. Kau memikirkan bagaimana kata yang tepat untuk menyampaikan panggilan kepada orang tuamu. Kau akan katakan apa adanya, bahwa Anggoro menghina adikmu. Dengan fakta ini, kau merasa orang tuamu akan membelamu, walau tak dapat sepenuhnya kau yakini. Ini kali pertama orang tuamu dipanggil dan kau sama sekali tak dapat menerka reaksi mereka.

Kau menghela nafas panjang lalu rebah pada rumput-rumput di tepi kali. Gemuruhmu tak juga reda setelah semua usaha ini. Kau terus mencoba mengurai benang kusut di kepalamu, namun yang terjadi justru semakin terpintal benang-benang itu. Tanpa sadar, kala kau keruh berpikir, domba-domba mimpi datang dan menuntunmu kembali ke alam tidur dengan bantuan gemerisik serangga, angin sore yang sejuk serta rumput yang membelai manja telinga. Derajat letak matahari pun perlahan mulai miring ke barat hingga sinarnya tak lagi membakar.

Tak kau sadari berapa lama kau tertidur. Kau baru mulai membuka mata kala kau dapati di telingamu suara tawa dan lonceng sepeda dari kejauhan. Namun, kau tahu pasti, mereka bergerak ke arahmu. Siapa itu? Siapa yang berani datang ke persembunyianku? Dari suaranya, siapa pun itu, pasti berjumlah lebih dari satu. Tunggu, katamu. Suara itu familiar.

Kala sosok-sosok itu mulai dapat kau tangkap dengan mata, dua bola yang masih sayu itu mendadak terbelalak. Degup jantungmu mengeras. Tanganmu bergetar dalam kepalan. Wajahmu mendadak merah padam.

Sosok itu adalah Anggoro bersama dua temannya.

Tak butuh lama untuk kau dan Anggoro bertukar pandang. Ia tentu ikut terbelalak. Spontan, Ia beserta dua temannya memarkir sepeda lalu berlari ke arahmu sambil berteriak: Anjing!

Kau gundah. Ia datang bertiga. Kau kalah jumlah. Haruskah ku lari, ucapmu dalam hati. Namun tidak. Tidak. Kau tak akan menjadi pengecut. Menurutmu, kau lebih baik mati daripada hal itu terjadi. Kau berkuat tekad lalu berdiri dengan dada membusung.

“Tunggu, satu lawan satu!” teriakmu. Mereka berhenti dan kau lihat Anggoro tersenyum licik. Dalam situasi ini, ia merasa menang. Maka tak heran jika ia lekas mengiyakan. Kau sadar betul, meski menang pun, teman-temannya tak akan membiarkan ia kalah. Mereka akan turut menghajarmu. Namun itu urusan nanti, pikirmu, setidaknya kau telah menumbangkan Anggoro dengan tangan telanjangmu. Setidaknya gemuruh dapat lepas dari tubuh dan benang di kepalamu dapat lekas terurai penuh.

Kini, di pinggir danau, kau dan Anggoro saling berlari menuju satu sama lain. Pukulan pertama melesat tepat di perut Anggoro. Ia limbung, namun tak jatuh. Tanpa kau duga, ia langsung membalas hantam wajahmu. Pukulannya tepat sasaran, dan kau terhuyung ke belakang. Ia menyambut lagi dengan satu lagi pukulan yang mengenai bahumu. Bugh! Kau terjatuh ke pinggir danau dan kausmu basah.

Anggoro lekas meniban tubuhmu dan memukul bertubi kepalamu. Kau berusaha tutupi wajah dengan dua tanganmu. Kakimu meronta hebat. Setelah Anggoro kehabisan tenaga sebab pukulan intensnya, kau berhasil manfaatkan kesempatan ini untuk sekali lagi memukul ia yang masih terduduk di atasmu mengatur nafas. Amat jitu pukul balasanmu. Kau torehkan luka pertama di pertarungan ini. Ya, hantamanmu keras dan tepat mengenai hidung Anggoro. Darah mengalir dari hidung dan ia jatuh ke samping. Selanjutnya, kau balik menerkam Anggoro, kemudian kalian berdua bergulingan di atas air hingga kedalamannya sepaha.

Teman-teman Anggoro mulai berlari ke arena untuk membantu. Kau dan mereka pun akhirnya berusaha saling memukul, namun karena tinggi air, pukulan-pukulan itu tak lagi jitu. Semakin lama, arena pertarungan semakin bergeser ke bagian danau yang dalam. Pukulan-pukulan kian meleset, walau kini enam tangan sekaligus berusaha keras menghabisimu. Kau berlari ke tepi danau, sebab kau sadari berkelahi di air ternyata hanya membuang tenaga dan waktu.

Anggoro dan teman-temannya lekas mengejarmu. Kau tak berniat kabur, melainkan hanya ingin kembali ke darat agar pertarungan tak sia-sia. Kau melepas bajumu yang kuyup, dan Anggoro beserta dua temannya mengikuti sikapmu. Kini, empat anak berusia dua belas tahun siap berkelahi selagi telanjang di pinggir danau. Kakimu gemetar, sebab kau tahu tak mungkin menangani mereka bertiga sekaligus.

Anggoro dan dua kawannya berlari ke arahmu, menyarangkan tinju-tinju mereka. Seperti yang kau duga: kau sulit tuk melawan. Di darat pun nyatanya pukulanmu masih banyak meleset, namun tidak dengan mereka. Seorang teman Anggoro menendang kakimu dan kau terhuyung, disambut pula oleh Anggoro dengan tinju di hidung, yang lekas ditimpali seorang lagi dengan hantaman di pelipis. Kau terjerembab dan berdebam menghantam tanah. Kau rasakan darah mengalir dari sela hidung dan pelipismu. Tak peduli jatuhmu, mereka membabi buta memukulimu tanpa ampun. Tak ada lagi kesempatan melawan untukmu. Setelah lama bertahan sekaligus kumpulkan tenaga, kau langsung berguling kembali ke air. Ide gila melintas sekilas: kau berniat kabur ke tengah danau. Kau tahu kau pandai berenang dan tidak demikian Anggoro. Kau akan kabur dengan menyeberangi danau ini, walau kau tak tahu apakah mungkin.

Namun, baru sampai di titik dangkal, kakimu lekas ditangkap oleh Anggoro. Ia bersama dua temannya menyeretmu kembali ke tepi danau. Di sana, mereka kembali menginjak-injak tubuhmu dengan bengis. Rasa sakit kian menjalar ke sekujurmu.

Kau masih menutup wajah dengan lengan kala kau dengar sesuatu bergerak dari dalam danau. Anggoro dan dua temannya menghentikan pukulan mereka kala salah satu dari mereka menunjuk arah danau. Kau mengintip sekilas ke samping: air danau kini sedikit berombak. Ada sesuatu di sana. Alih-alih menghindar, Anggoro justru berjalan ke arah tengah danau, sedangkan teman-temannya kembali memukulimu. Kau melihat wajah Anggoro yang bercampur antara penasaran dan menegang dari sela sela lengan yang tutupi wajah. Apa pula yang berada di dalam ombak itu.

Kala Anggoro berteriak, kau terperanjat lalu mengalihkan pandangan ke arah samping yang berlawanan untuk beberapa detik. Kau kaget sebab kini mereka kian histeris, dibarengi suara-suara benturan dan erangan. Kala lehermu kembali menoleh ke arah mereka, kau melihat pemandangan yang akan terpahat seumur hidup dalam kepalamu.

Teriakan Anggoro berubah menjadi lolongan panjang. Tangan kanannya tergigit utuh moncong buaya. Makhluk besar, hitam dan berkulit keras itu datang dari dalam danau. Tubuhnya kokoh dengan gigi-gigi runcing nan tajam. Buaya itu menarik kencang ke samping dan putuslah tangan kanan Anggoro. Ia berteriak kencang melengking, darah menghambur bagai keran dari tangan kanan. Kawan-kawannya terus berlari meninggalkan tempat kejadian. Mereka menuju ke arah hutan sambil menangis histeris. Mereka meninggalkan sepeda mereka.

“Tolong! Tolong aku!” teriak Anggoro yang tanpa sebelah lengan dan bermandi darah itu, sambil berjalan terseok ke arahmu di tepi danau. Ia menangis, namun suaranya kini pelan bagai berbisik. Monster danau itu masih di sana dan kembali mengejar Anggoro setelah menelan lengannya bulat-bulat. Tepat di bagian air yang dangkal, Anggoro yang telah amat pucat kembali terjatuh. Ia lemas sebab kehabisan darah.

Buaya itu lalu menyambut tubuhnya dan menggigit kepala dan pundak Anggoro. Jasad itu hanya menggelepar tanpa suara. Penunggu danau itu lekas menariknya ke dalam air yang kini bagian dangkalnya memerah oleh derasnya darah Anggoro yang tertumpah. Mereka berdua, predator dan mangsa, hilang tenggelam dalam kelam danau. Kini, permukaan danau kembali bertenang seperti sedia kala.

Bagaimana dengan nasibmu sepanjang tadi?

Rupanya, selama kejadian berdarah itu terjadi langsung di depan mata, tubuh telentangmu membeku total dengan mata terbuka lebar dan mulut yang menganga. Seluruh tubuhmu kaku, seolah-olah tertindih satu ton batu di atas dadamu. Kau bahkan tak dapat memejamkan mata, tak pula dapat berkedip. Tak juga bergetar sama sekali. Kini, setelah Anggoro hilang, kau masih melempar pandangan kosong dengan tubuh rebah terkunci. Darah masih mengalir pelan di hidungmu. Daun kering mendarat di kepalamu. Langit di atas mendadak kelabu. Kau rasakan dingin di belakang kepalamu; kau rasakan dingin di kakimu; kau rasakan dingin hawa sekitarmu. Tetes air mulai turun membasahi wajahmu, bersamanya pula, kesadaranmu kian menurun.

Hal terakhir yang kau dengar adalah suara segerombolan warga berduyun ke tempatmu berbaring, namun kau tak dapat melihatnya, lehermu masih tertanam ke arah danau dan tak dapat digerakkan.

Dalam sekejap, gerimis yang tadi malu-malu mendadak turun dengan ganas. Air langit masuk ke lubang hidungmu, sela matamu, membasahi luka-lukamu, dan kau hilang setelah itu: kesadaranmu seluruhnya luruh bersama hujan dan guntur.

Di akhir hari ulang tahunmu kedua belas, semesta memeluk dan menjawab langsung segala doa serta harapmu.

Selamat ulang tahun.

Adib Arkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email