UNTUK MAMA: SEBUAH SURAT PENGAKUAN
Dan akan sering kautemukan puisi-puisiku dimulai dengan kata “dan”. Sebab selalu ada kalimat sebelumnya yang tak berani kutuliskan, Ma. Tentang bagaimana anggur merah menggenang dariku saat pertama kali melakukannya; tentang bagaimana setelah anak laki-laki itu menciumku, aku merasa lebih laki-laki dari aku yang sebelumnya; tentang bagaimana aku mengerti bahwa tafsir anggur merah ia temukan pada air yang membalur lidahku.
Bagaimana aku akan bercerita tentang temanku yang merenggang nyawa setelah BDSM, sebab seni menyiksa diri adalah satu-satunya cara ia lupa bahwa tubuhnya bukanlah miliknya. Dan seperti Dismas dan Gestas aku akan menampung semua memar menjadi cawan dan memikul sayatan-sayatan kami bersama.
Sebab luka terkadang adalah tanda pengenal dan pengampunan akan kesendirian. Dalam cerita manapun, kami pendosa, Ma. Namun, bila cerita-ceritaku nanti disampaikan oleh batang lidah yang serupa denganku, Ma, kau saksikanlah betapa kita nyaris segerombol santo.
Dan masih ada hal lain yang hanya kata yang mampu menghantarkannya pada tahumu. Ma, aku akan bercerita melalui dunia yang tak kau kenal. Bila cerita itu sampai kepadamu, ingatlah segala ceritaku dimulai dengan “dan” yang berarti ada cerita-cerita yang tak kaudengar sebelum kalimat yang akan kaudengar.
–
OTOBIOGRAFI WARNA
Ungu tidak akan lupa ia adalah biru dan merah
yang berbenturan melahirkan anak bernama lebam
Dan sama seperti semua Tuhan yang kautahu, Ia akan menghukummu
Kau akan membuat dirimu membasuh kaki-Nya
hingga mengkilap seperti pedang yang siap mengoyak dadamu
—persis seperti Kristus dengan tombak yang bersarang di lubang pada lambung-Nya
Dan kau pikir akan mati seperti itu. Seperti Tuhan.
Kau melihat mulutmu penuh akan dirimu yang dilumat abis.
23:59 WIB. Seorang laki-laki mengendarai Supra X merah menjemputmu
Selalu ada satu menit untuk berubah pikiran
sebelum pilihan selanjutnya mengayuhmu jauh
Untuk memilih berbohong berarti
melihat dirimu satu tapak lebih jauh dari tiang pancang
“Kau punya kondom?” Tanyamu
Kau menghela napas dan kau memilih jujur
Berarti, satu tapakmu tertinggal di belakang.
Laki-laki itu akan membawamu ke Golgota-mu
Kalian berdua lapar dan mengintai-intai daging domba
dalam luas angin tengah malam
Hidupmu tidak lagi menggunakan napas orang lain
Kau bernapas melalui insangmu dan berenang melalui segala jenis air:
keringat, arak merah, air mani, hujan
Kau seorang ikan: ikan salmon berenang melawan arus,
mencari pucuk sungai untuk menetaskan
butir-butir generasi yang sama kuatnya dengan jasad
yang telah mati di kursi listrik, di tiang api, dan kebiri kimia
Darah, kau juga bernapas dalam darah,
Merah tidak pernah lupa bahwa ia
melahirkan anak-anak baru begitu kawin
dengan segala yang ia mau
Gilbert Baker menyulam bendera Pride
dengan warna merah melambangkan hidup
Dan dari segala yang kita mengerti,
hidup dimulai dari hela napas seorang wanita
: mendorong jabang bayi, untuk darah untuk merah; untuk hidup
bukankah Putih, yang suci itu,
adalah warna pelangi yang berdansa dengan kecepatan tinggi?
Lihatlah betapa dirinya tercipta dari
tari-tarian yang paling tak berampun
Namun ia lupa, ia lupa siapa ibu-ibunya
–
KITA PUISI DENGAN SENDIRINYA
“So if I’m losing the piece of me, maybe I don’t want heaven?”
-Troye Sivan
*
/Mei 2012 ormas keagamaan mengoyak Jakarta Bundaran HI/Menolak kehadiran Lady Gaga dalam konser Born This Way Tour Ball/simbol segitiga merah jambu menjadi daging segar untuk digoreng media digadang-gadang sebagai simbol Illuminati/tanpa sedikitpun mereka mengetahui mengenai Nazi serta genosida pada laki-laki yang menunjukkan tanda-tanda homoseksual/yahudi/yahudi/yahudi/dan tidak perlu aku berbicara tentang identitas salah satu laki-laki yang berteriak yahudi/napasnya pekat lebih pekat dari vodka yang ia tenggak saat bertelanjang bersama gigolo di salah satu klub malam di Bekasi/kita menjadi saling membunuh sebab identitas terkadang adalah kedua-duanya pedang dan bongkahan roti.
*
/Anak laki-laki itu meringkuk di balik kain putih/Ia memeluk Alquran sangat dekat hingga sampulnya mampu mereplika detak jantungnya yang bergetar tak karuan setelah mencuri-curi pandang dengan salah seorang anak laki-laki di kelasnya/”Sebab Tuhan-lah segala yang mampu mengodratkanmu”/Di balik kain putih itu ia berdoa, supaya segera penyakitnya sembuh, atau bila tidak, biarkan ia mati, mumpung ia berselimutkan kain putih.
*
/Pertama kali ia menggoreskan silet pada pergelangan tangannya, cairan berwarna pelangi mengalir hingga digenangilah lantai kamarnya dengan warna-warni yang belum pernah ia lihat/Ia melumurkan warna itu ke seluruh tubunya/Dengan tangannya sendiri ia lukiskan warna-warni pelangi pada kain putih yang tak kunjung membawanya mati/kelak kain itulah yang menjadi layar untuk perahu-perahu yang berlayar mencari rumah, surga, dan abadi.
*
/Aku tidak perlu menulis langit-langit sebagai jumantara/aku tidak harus menulis bumi sebagai bentala/atau surga sebagai nirwana/aku tidak butuh kata-kata yang jarang didengar sekadar untuk merias puisiku/cukup dengan menulis seorang lesbian menggantungkan lehernya di langit-langit sebab mati atau tidak surga tak pernah menantinya/sebab cerita orang-orang sepertiku, di negara ini, sama seperti kata jumantara, bentala, dan nirwana: jarang didengar/sebab hidup sebagai seorang liyan sudah puisi dengan sendirinya.
–
RONGGEANG PASAMAN
I
Setelah sekian tahun menikah rumah itu tak kunjung barayo mengabarkan bako untuk menyambut keturunan baru. Sumando itu tidak pernah bisa ereksi dengan perempuan. Untuk menutupi malu sumando, mereka sepakat menyalahkan kesuburan sang istri. Di Rumah Gadang, kita tidak mengajarkan laki-laki bisa memilih menjadi Ratu Sikumbang. Kita memilih untuk menumbalkan perempuan, menutup rapat malu sumando dengan liang perawan. Mana bagian dari nagari ini yang tidak mempermak dosa masing-masing
dengan darah bundo kanduang?
II
Setelah mandi basamo hingga giginya menggeretak
Wajahnya berubah ubi ungu pucat
Ia bergegegas bersiap mengambil giliran untuk disunat
Ia menggeser penisnya beberapa milisenti lebih dekat ke mata pisau, mata pisau ke pangkal penis
Berharap ini adalah jalan pintas menjadi perempuan
Supaya dari kedua belah pahanya mekar bungo rayo
Merah dan berair di setiap pagi menetes embun
Sumando itu pernah beberapa jengkal lebih dekat dengan dirinya
Sumando itu pernah beberapa jengkal lebih dekat dengan mautnya
III
Koloni mempekerjakan orang-orang Minang untuk mengolah ladang nagari Pasaman
Sumando itu menjadi begitu keringat di bawah cakar dan pecut Belanda
Di malam hari akan kau temukan, sumando menari khusyuk di bawah rembulan,
dengan sabit dan parang bersama teman-teman.
Di kampung ia disoraki “jantan jangak…jantan jangak…!”
Ia hidup, dan masih hidup dalam ronggeang Pasaman
Ia menari dan terus menari di bawah rembulan yang paling nanar
–
BAGAIMANA KITA TERLALU SAKRAL UNTUK DIAMPUNI
Ototnya merenggang dan cermin-cermin pada kulitnya membayangkan wajahku kabur perlahan. Bisepnya melemah saat mencium kulit lenganku. Ini akan selalu menjadi kali pertama lengannya berbicara pada kulit laki-laki lain. Seolah kedua-duanya dibersamai oleh masing-masing jantung yang hidup. Dia berdegup dan perlahan-lahan melunak di atas kulitku.
Ini akan menjadi kali pertama seseorang memancarkan semua dosanya ke dalamku. Sebab di dalam tubuhku berdiri sebuah kuil. Deras dialirkannya semua dosa-dosa dalam hangat kuilku—bermuara ke sumsum altarku. Begitu deras ia keluar, terpancarlah segala yang telah suci dari dalamku membasuh tubuhnya yang rintik berkaca-kaca.
Dan kulit kita saling berbisik. Bisiknya menyiulkan doa-doa yang sayapnya tak sanggup mengepak bila harus mencapai Tuhan. Tapi toh kita bersyukur. Menjadi sepasang yang paling gemilang meski Tuhan enggan menyaksikan.