Bermain-main transdisiplin.

Ode untuk Hendrik Wange van Bali

Amos Ursia

2 min read

Nai Muda

bagaimana melalui hari tanpa Leoot dan Waket?
di sini aku hanya mendengar ratapan diri sendiri
tak ada pasar, ramai.
tak ada Empo, aman.
tak ada Ibu, hangat.
tak ada babi, nikmat.

tak bisa kudengar suara lain,
seratus lima puluh dua,
seratus lima puluh tiga,
dua ratus tiga puluh sembilan,
lima ratus,
kuhitung setiap hari tanpa Nai,
tanpa diriku sendiri

hilang aku,
pada slavenmarkt.

aku bukan aku,
tetapi kepingan
koin rijksdaalders.

aku akan mencariku,
pada laci dasi meneer,
pada kolong kasur mevrouw,
pada mereka yang jijik berbicara padaku!

Gerbang Gereja

“Verboden voor Honden en Inlander”
kupayungi meneer dan mevrouw,
pergi ke gereja untuk kebaktian,
pada Rabu yang kelabu,
pada Kamis yang memutih,
dan pada Jumat yang sedih.

“Verboden voor Honden en Inlander”
kutunggu mereka pada gerbang gereja,
satu, dua, tiga, empat jam!

“Verboden voor Honden en Inlander”
aku dan asu tak boleh masuk gereja,
hanya duduk depan gerbang,
bersama budak-budak lain,
hanya terdengar sahut menyahut:
“Ik geloof in God, de almachtige Vader, 
Schepper van hemel en aarde. En in Jezus Christus, zijn enige Zoon, onze Heer!”

Jezus Christus?
namanya diulang terus
oleh tuan-tuan ini, siapa dia?
apa hubungannya
mantra meneer-mevrouw ini
dengan dia? apakah dia
dewa-dewa orangpoetie?
apakah dia sosok yang digantung
untuk patung gereja ini?

“Amen, amen, amen, amen, amen.”
meneer dan mevrouw selesai,
kami semua berdiri menyambut,
gerbang gereja kosong lagi.

Jalan Salib Wange van Bali

: aku kasih pada salib-Nya, hingga tiba saat ajalku! Kutetap memegang salib-Nya, sampai kuterima mahkotaku!

manggar! betlehemku!
waket! yerusalemku!
reo! rumah herodes!
bima! istana pilatus!
batavia! jatuhku pertama kalinya!
surabaya! delft! bordeaux!

sebagai budak yang tersalib,
telah kupetakan via Dolorosa ini,
telah kubuatkan memoir
untuk kaubaca dan tangisi bersama
para keturunan budak yang tersalib
(hingga hari ini dan yang akan datang sampai hari penghakiman tiba)

: nun di bukit yang jauh tampak kayu salib lambang kutuk nestapa, cela salib itu, tempat Tuhan Mahakudus—menebus umat manusia!

tak kutemui sang pembebas dalam via Dolorosa yang meremukkan, surabaya! delft! bordeaux! surabaya! delft! bordeaux!

tak kutemui Yesus dalam koin 125 Dutch Rijksdaalders yang dilempar untuk membeli tubuhku, hanya ada Yudas, Pilatus, Farisi-Saduki, dan Herodes pada wajah-wajah meneer.

tak kutemui aku dalam via Dolorosa ini, tak kutemui kau, tak kutemui Ibu, tak kutemui sepupu, tak kupeluk siapa-siapa

: salib itu kurangkul teguh
dan mahkota kelak milikku.

Bebas Menjadi Wange 

tak ada budak, tak ada orang merdeka, sebab Rasul Paulus menulis:
“baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”

bagaimana memahami kasih-Mu
sebagai diriku yang telah merdeka?
bagaimana memahami wajah-Mu
yang mirip dengan empat orang
meneer bekas majikan-majikanku?
bagaimana memahami suara-Mu
dalam nada-nada hymnal yang
gelegar pada atap gereja mewah?
bagaimana memahami diri-Mu
pada negeri-negeri yang jauh ini?

***

Catatan Akhir:

Puisi-puisi ini bersumber dari kisah hidup Hendrik Wange van Bali, seorang budak yang lahir sekitar tahun 1797 di Manggarai, Flores. Nama kecilnya adalah Nai, sedangkan Wange adalah nama yang dipilihnya ketika sudah menjadi “orang bebas”. Sebagai anak dari keluarga budak, ia harus menanggung beban warisan sebagai budak keturunan. Ia menghabiskan hidupnya sebagai budak, dibeli secara bergilir oleh empat tuan Eropa yang berbeda, lalu dibawa oleh “tuan” yang terakhir ke Delft, Belanda, pada tahun 1810. Setelah hidup beberapa tahun di Belanda, ia dibaptiskan menjadi seorang Kristen di Gereja Reformed Belanda Delft (Nederduits Hervormde Gemeente).

Kemudian Hendrik Wange van Bali menjadi “orang bebas” yang lepas dari perbudakan, lalu ia hidup dan tinggal di Belanda sampai meninggal. Sebagai orang bebas, ia meninggalkan beberapa manuskrip, catatan, surat, dan dokumen pribadi lainnya—di mana ia menceritakan kisah hidupnya dalam arsip-arsip itu. Kisahnya tercacat rapi, dari kisah kampung di Flores, tempat jual-beli budak di Bima, masa hidup di Batavia, hingga kepindahannya ke Belanda. Pergulatannya dalam menjadi Kristen sementara ia “mantan budak” adalah hal paling penting untuk direnungkan.

Dalam perenungan puitik yang historis ini, saya berhutang pada gagasan Afrizal Malna soal “cangkok arsip”, demikianlah Afrizal bersabda: “Arsip dilepaskan dari konstruksi sejarah dan dicangkokkan pada tubuh lain hingga identitasnya berubah dan mengalami pelebaran makna” (Korpus Dapur Teks, 2020).

Sabda Afrizal membuat saya perlu meninggalkan Sejarah (dengan ‘S’ besar)—di mana ia membentuk institusionalisasi makna yang tunggal. Sebagai pembelajar sejarah, saya bertahun-tahun dididik untuk memonopoli arsip sebagai upaya penunggalan makna bernama “historiografis”. Arsip disajikan sebagai tubuh yang kaku, tubuh yang dikontrol, tubuh yang tak akan pernah tumbuh dan berkembang menjadi “tubuh lain”. Melalui dalil ilmiah, objektif, faktual, dan netral—sehingga Sejarah selalu gagal menembus dunia makna; sebuah dunia masa lalu yang terletak jauh di seberang sana. Cangkok Arsip memungkinkan kita untuk merasai kembali masa lalu itu, mencicipi dunia seberang, mengingat kembali pengalaman kebertubuhan.

Untuk mengenang dan membaca kisah Hendrik Wange van Bali, bisa mengunjungi situs independen yang dikelola oleh anak-cucu Wange van Bali sendiri (https://wangevanbali.nl/)

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email