Mari berkabung untuk demokrasi Indonesia. Jika dirasa belum mati, demokrasi Indonesia sedang dalam fase sekarat menuju kematiannya dan melebur dengan ketiadaan. Sungguh menyedihkan juga menjijikkan. Entah siapa yang patut disalahkan atas semua ini. Mungkin salah kita semua karena terlalu banyak membungkam mulut untuk bersuara dan mengunci jari untuk menulis. Akhirnya demokrasi dalam keadaan kritis. Ajal dan kehancuran sedang menantinya.
Namun, sejarah selalu membutuhkan orang yang bersalah. Dan pasti ada orang yang paling patut disalahkan atas semua ini. Seseorang yang dengan besar kepala merasa berkuasa di atas singgasana istana. Kendati dipilih secara demokratis, ia menjadi jagal demokrasi yang berdarah dingin dan tak segan menghancurkan demokrasi secara perlahan. Di awal kekuasaannya, ia dibangga-banggakan sebagai tokoh sipil yang akan menegakkan supremasi sipil. Pada 2014, Majalah Time menampilkan fotonya di halaman depan majalah dengan tulisan: A New Hope. Ya, suka atau tidak suka orang itu bernama Joko Widodo.
Ironi Negara Demokratis
Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, berhasil mengukuhkan kembali kekuasaannya setelah memenangkan Pemilihan Presiden 2019. Ia berhasil memperoleh jabatan keduanya setelah mengalahkan rival politiknya sejak 2014, yakni Prabowo Subianto. Narasi dan sikap oposan Prabowo terhadap Jokowi dalam pertarungan pilpres 2019 menjadi omong kosong saat ia, dengan berbagai lobi yang dilakukannya, bergabung dengan kabinet Jokowi dan diangkat menjadi menteri pertahanan. Ini mencerminkan dalil paling purba dari politik, yaitu kepentingan dan kekuasaan. Sampai saat ini, pendapat Lord Palmerston abadi kebenarannya: tidak ada musuh dan kawan abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan. Begitu memalukan dan jauh dari ideal, tetapi demikianlah adanya.
Baca juga:
Oposisi sebagai entitas politik yang mencerminkan narasi kritis, dileburkan dalam narasi ‘gado-gado’ gotong royong dan perdamaian. Orang yang konon akan timbul dan tenggelam bersama rakyat, menjadi orang yang turut memakan kue kekuasaan, kendati kue itu basi dan bekas gigitan orang. Namun, itu hanyalah kisah empat setengah tahun lalu. Kisah menggelikan yang patut dilupakan.
Pemilihan presiden akan kembali digelar tahun ini. Manuver politik sudah terjadi jauh-jauh hari, baik yang tampak secara telanjang maupun yang sembunyi-sembunyi dalam sepi. Biarlah itu menjadi permainan elite. Namun kita sebagai rakyat, walaupun tak berpangkat dan tak menjabat, adalah penentu siapa pemimpin yang akan diambil sumpahnya pada 20 Oktober mendatang. Tak perlu dijelaskan lagi berbagai dinamika dan drama politik yang menyertai proses pencalonan.
Tiga pasangan calon mengambil peran di palagan perang pilpres ini. Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mengusung tema perubahan, Prabowo-Gibran kukuh pada janji keberlanjutan, pasangan Ganjar-Mahfud berada dalam dilema ketidakpastian karena kehilangan posisi bersikap, antara melanjutkan dan mengubah.
Persaingan sengit kontestasi tidak perlu dibahas. Namun substansi dari kontestasi, yaitu demokrasi, akan menjadi fokus bahasan tulisan ini. Ada yang bermasalah dengan demokrasi di negeri ini. Dengan tidak terduga, Jokowi merestui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Ini berawal dari diutak-atiknya aturan pencalonan. Undang-undang Pemilu Tahun 2017 mensyaratkan usia tidak kurang dari 40 tahun untuk maju sebagai kandidat. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusan inkrah Nomor 90 Tahun 2023, merevisi aturan UU Pemilu Tahun 2017 tersebut dengan memperbolehkan seseorang maju sebagai capres atau cawapres di bawah usia 40 tahun, dengan syarat pernah menjabat sebagai kepala daerah. Problemnya, putusan itu keluar dari ketuk palu hakim ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang ironisnya adalah adik ipar Presiden Joko Widodo dan paman dari Gibran.
Ironi yang dimaksud bukanlah masalah relasi privat yang terjalin antara Anwar Usman dan adik presiden RI sebagai pasangan suami-istri, namun relasi kelembagaan yang tidak bisa dinihilkan dari konflik kepentingan karena adanya relasi keluarga tersebut. Putusan MK yang sah dan mengikat tersebut secara telanjang dan nihil etika menggelar karpet merah untuk pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo. Belum lagi kontroversi yang timbul setelahnya, yaitu digelarnya sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang diketuai Jimly Asshiddiqie, yang dalam keputusannya memberhentikan Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi dan melarang paman Gibran tersebut untuk mengadili sengketa pilpres.
Konflik Kepentingan yang begitu telanjang, kendati dirancang sedemikian rupa, terlihat begitu memuakkan dan memalukan. Jokowi, yang selalu memasang tampang tidak tahu tahu apa-apa, justru menjadi sutradara yang paling menikmati pertunjukkan yang dibuatnya sendiri. Hipokrasi yang begitu nyata. Jokowi berada dalam ketakutan tak terperi di akhir kekuasaannya, sehingga mendukung majunya sang putra mahkota untuk maju sebagai calon wakil presiden dari menteri pertahanan di kabinetnya, Prabowo Subianto. Hebat, Jokowi yang begitu sayang anak.
Benar kata Gus Mus dalam puisinya. Ada republik rasa kerajaan. Republikanisme hilang jati diri dan substansinya karena hasrat dinastikal untuk kekuasaan. Ini bukan tentang rakyat yang memilih pemimpinnya, tapi presiden yang menyiapkan penggantinya, yaitu putranya. Jika pada abad ke 17 ada Oliver Cromwell yang dengan gigihannya melepaskan Inggris dari dominasi monarki dan menegakkan supremasi demokrasi dan parlemen, di Indonesia Abad 21 kini, ada ayah yang ingin putranya menjadi penerus tahta di negara yang konon demokratis ini. Sebuah ironi setelah 25 tahun reformasi.
Algojo Demokrasi
Gibran maju mendampingi Prabowo dengan bayang-bayang pelanggaran etik. Sang ayah, Presiden Republik Indonesia, tentu tidak akan tega membiarkan anaknya kalah dalam kontestasi. Apa pun akan dilakukan untuk kemenangan Gibran dan keamanan dirinya dan legasinya. Jokowi memakai senjata yang disebut bantuan sosial (bansos). Dengan tidak tahu malu, bansos diklaim sebagai pemberian darinya, melalui perantara menteri-menterinya. Disebarkan rumor yang menakut-nakuti rakyat, jika tidak memilih paslon yang akan ‘meneruskan’ kebijakan Jokowi, bansos akan dihentikan.
Baca juga:
Belum lagi mengenai presiden yang boleh berkampanye atau tidak. Jokowi sampai harus membuat video untuk menjelaskan pasal hukum bahwa dirinya boleh berkampanye. Buang-buang waktu dan tidak perlu. Iriana, Ibu Negara sekaligus ibu biologis Gibran, mengacungkan pose dua jari dari dalam mobil kenegaraannya. Jelas sekali ini adalah bentuk kampanye terselubung atau bahkan sudah terbuka tanpa tedeng aling-aling.
Tanpa terduga, kampus bergerak dan menyuarakan kritiknya. Dimulai dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mendeklarasikan Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2024 yang lalu, yang mengkritisi pelemahan demokrasi di Indonesia. Kritisisme kampus yang dimulai UGM ini menyebar ke kampus-kampus di seluruh Indonesia. Ini mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa ada problem serius dalam bernegara kita, dalam demokrasi kita.
Ironisnya, suara para akademisi, para guru besar di berbagai kampus tersebut, dianggap sebagai narasi partisan demi kepentingan elektoral. Bahkan dikabarkan ada upaya untuk membujuk para akademisi lain agar membuat kontra-narasi yang memuji-muji pemerintahan Jokowi. Saat peran kampus dan akademisi dikerdilkan seolah-olah untuk kepentingan elektoral semata, maka rezim Jokowi mengonfirmasi diri sebagai rezim tirani antiintelektual dan algojo demokrasi.
Sayang sekali, di akhir kekuasaannya, Jokowi gagal menempatkan diri sebagai negarawan. Jokowi berperan sangat baik sebagai seorang ayah yang menginginkan kesuksesan anaknya, tetapi begitu buruk sebagai kepala negara yang mengikis habis demokrasi dan kesehatan bernegara. Begitu buruk akhir kekuasan dari orang yang oleh Majalah Times dinobatkan sebagai tokoh pembawa harapan baru tersebut.
Pesan untuk Pak Jokowi yang terhormat: Jikapun Gibran berhasil terpilih dan menjadi penerus dan penjaga legasi kebijakan Anda, sejarah akan menghukum Anda dengan menobatkan Anda sebagai algojo pembunuh demokrasi dan pemelihara dinasti. Pengadilan sejarah itu nyata, Pak Presiden.
Editor: Prihandini N