O, Para Penyendiri!
Bosankah kau terhadap cinta atas dirimu sendiri? Letih sudah terhadap cinta kepada kesendirian duniamu itu? Telah jenuh pula kau kepada sunyi-sunyi yang saban hari mengelilingimu serupa pusaran api yang lambat laun melelehkan kulit-kulit lilinmu? Apa jangan-jangan jiwamu telah terpanggil atas kemalangan manusia lain? Bisa jadi diam-diam kau sudah mengawini dirimu sendiri pula pada kuil-kuil kosong di mana kitab resep rahasia kehidupan bertebaran bagai daun-daun gugur.
Mungkinkah kau telah menemukan cinta yang jauh lebih tinggi daripada cinta dalam kesendirianmu?
O, begitu gersang sudah jiwamu jikalau begitu. Dan aku tak lagi dapat menyelamatkanmu.
Di dalam persembunyian sebelumnya, sebetulnya ada lalat-lalat yang dapat kau ajak berbincang. Atau kepada laba-laba yang menganyam jaring-jaringnya untuk tubuh supaya punggungmu tidak menjadi siksa atasmu esok hari. Tetapi kau berpaling daripadanya, kau menjadi benci kepada dia yang telah mengotori tempat pemujaanmu. Dan kepada segala dedemit kau acungkan pula sebilah mata pisau, dan kau jadikan mereka sebagai musuh-musuh yang nyata bagimu. Tetapi, tidakkah kau tahu bahwa dalam gelap itu nyatanya kau tak dapat melihat mata besinya telah berkarat. Sekedar menghujam jantungmu saja ia bakal patah.
Tidak henti-hentinya mulutmu terkomat-kamit mengucapkan kerinduan kepada udara luar yang ditiup dari puncak gunung, itulah kemalanganmu! Begitu menyegarkannya angin itu bagi hidungmu yang telah teramat muak atas barel-barel yang mengeluarkan aroma alkohol yang pahit.
Namun kutanya pada kau, begitu sengsaranya kah kurunganmu itu? Jika demikian, apa yang kau temui dalam rengekan tangismu yang serupa bayi merindukan susu ibunya? Dari mana kau dapat mengetahui akan sesuatu jika menangis masih menjadi alunan lagu yang paling membahagiakanmu.
Hai, Para Penyendiri? Aku berbicara kepadamu!
Tidakkah jendelanya selalu terbuka dan cahaya matahari pasti akan memberikan secercah sinarnya untukmu. Tapi kau tidak menginginkan itu, lagi-lagi kau tepis kebahagiaan itu jauh-jauh karena kealergianmu terhadapnya. Sekedar kau benci kepada wajah-wajah yang tersenyum, termasuk pula senyum pada wajahmu. Malahan kau selalu meminta langit menjadi kelabu agar kau dapat diterpa kemurungan dan bahkan mengharapkan kematianmu datang dalam kehitaman bola matamu sendiri.
Tidakkah kau telah mengimani ajaranku, bahwa satu kesalahan itu lebih baik daripada satu kebenaran. Dalam satu kesalahan itu, terbuka kemungkinan kebenaran yang jauh lebih luas bercabang-cabang. Sedangkan si satu kebenaran hanyalah menutup beberapa lubang kesalahan yang tidak ada artinya sama sekali bagimu.
Pastinya kau telah membenci dirimu sendiri. Sebab itu kau telah menemukan cinta yang jauh lebih manis dan mentereng warnanya, yakni pada kebenaran kecil yang wujudnya serupa anjing yang gemar menggonggong.
O, malang sekali, kau telah hanyut di dalamnya. Adakah aku yang telah mendorongmu jatuh ke dalam sumur itu? Atau kau menyadari betul, bahwa jiwamu begitu kering untuk air sehingga dengan sengaja kau menerjunkan dirimu sendiri ke dalamnya; yang dalam bahasamu kudengar sebagai kehendak alam.
Adalah kau yang sudah lelah membukakan pintu-pintunya, dan menyerahkan kehendakmu kepada aliran-aliran sungai. Tidakkah seseorang lupa memberitahumu, bahwa tanganmu itu cukup kuat untuk mencengkeram gagang pintu dan menariknya. Hanya saja kau takut, dan ketakutan itu menjadikanmu makhluk yang lemah. Kau tidak hidup hari ini, tidak kemarin, terlebih tidak bagi masa depan, kenyataannya kau tidak hidup di mana-mana selain pada cawan seorang tabib yang terjebak bersama romansa masa lalunya.
Maka, dengarkan seruanku, jiwa-jiwa malang!
Dinding berguna melindungimu dari dunia luar yang aromanya begitu busuk. Tetapi daripadanya kau juga harus belajar untuk meruntuhkan dinding-dinding itu supaya kau dapat mengetahui seberapa tangguh keberadaanmu atas dunia yang telah menguncimu dari segala garis senyum pada bibirmu.
Adakah dalam belenggu itu kau mendapatkan pengetahuan akan dunia bawah tanah? Jika tidak, lebih baik kau menjadi manusia pengerumun saja kalau begitu!
Di mana letak manusiamu jikalau bukan pada kerinduan terhadap kemurungan-kemurungan yang baru? Rasa risau, cemas, dan keberhati-hatian adalah keperihan yang lebih suram lagi menyakitkan, tetapi ia menghidupkan, menyalakan segala akal keingintahuan, perasaan ketidaktahuan, dan manusiamu. Demikianlah manusia menjadi manusia.
Sudah terlambatkah kau untuk mendengar kebenaranku ini? Jika demikian, tentu telah kau sangsikan segala iman yang lain oleh sebab imanmu yang katanya paling suci dan murni itu.
Kehidupan yang serba ngeri dan menyesatkanlah yang sepatutnya jalan baru yang diambil oleh anak-cucu dan segala penerusmu. Karena itulah jalan yang sudah kau ciptakan untuk mereka lewat nyanyian-nyanyian merdumu di setiap pertengahan malam. Tidak hanya anak-anak itu yang kau jadikan buta karenanya, bahkan dirimu sendiri telah menjadi binasa terhadap dunia dan seluruh penghuninya.
Sungguh, kau telah enggan betul membaca segala saksi di sekelilingmu, bosankah sudah kau mendengarkan suaranya? Padahal dia yang telah menghidupimu sedari kecil. Memanglah hal-hal surgawi tak pernah menjadi bagian dalam dirimu, oleh sebab itulah kau merindukannya. Justru segala gerakan tangan yang menengadah itu selalu menjurus lurus-lurus kepada kerendah-rendahan hati dan permohonan kepada api-api dari neraka di mana kau dapat bergembira dalam dosa-dosa dan mencemooh pahala-pahalamu sendiri.
Kemanusiaan, katamu, sudah begitu busuk kedengarannya di telingaku. Di saat saudara-saudaramu yang menderita barulah jiwamu merasa terang dan terpanggil. Tidakkah jauh-jauh sekali, nenek moyang kita telah mengajarkan tidak hanya mengasihi kepada saudara melainkan musuh-musuh juga. Terutama, kasihanilah dia yang jauh-jauh terlupakan dan tertinggalkan itu.
Di saat kau mengatakan kemanusiaan, saat itu pula aku begitu benci kepadamu!
O, Para Penyendiri! Janganlah kau mendahulukan kemenangan atasmu daripada kemenangan bersama musuh-musuhmu. Itulah dia yang manis-manis untukku. Sekali saja kau berpihak kepada sesuatu, aku akan ikut menjadi musuhmu yang paling pemberani dan berjiwa ksatria.
Aku benci pada keberpihakan kau itu! Lantas jika aku menderita, adakah seseorang yang akan menolongku hanya sekedar kau enggan mencapai keberadaanku akibat kemanusiaanmu yang telah berpihak itu. Di saat seseorang yang kau anggap musuh telah menyelamatkanku, di saat itulah akan kujadikan nyanyian sunyimu sebagai tarian api yang membakar segala kebenaranmu.
“Surga itu hanya milikku!” Demikianlah selalu kau berkata dalam kesendirianmu jika kau telah berpihak. Maka kukatakan kepada si dungu itu, biarlah surga menjadi milikmu! Melalui bala tentara dari neraka, aku bersumpah, tidak segan-segan surgamu akan kubolak-balikkan supaya kau menjadi bingung atas si hitam dan si putih.
Maka, jauh-jauhlah kau dari para pengkhotbah keberpihakan itu, O, Para Penyendiri! Sejatinya yang ada di matanya hanyalah persaudaraan yang sudah meninggalkan benar dan salah, yang di baliknya terdapat hasrat kemenangan atas benci yang sudah ditanamkan nenek-nenek moyang mereka. Kau hanya sebutir debu di hadapan si keberpihakan, di mana dia selalu melihat dari jarak dekat dan segala di sekelilingnya dalam sekejap menjadi hitam legam.
Tetapi kau jangan membenci kepada mereka. Kasihanilah dia yang terbutakan itu. Harap-harap saja dia menemukan jalan sunyinya yang telah hilang. Akan lebih baik kau menuntun mereka dan berpulang kepada kemanusiaan tanpa membeda-bedakan manusia.
Namun pada kenyataannya, kita telah diajari betul oleh si keberpihakan itu, bahwa dia sudah lebih dulu berpulang dan tak ada rumah yang paling indah selain dalam persekutuannya. Lambat laun diam-diam dia mulai curiga kepadamu, jangan-jangan kau juga adalah bagian dari musuh-musuhnya.
Maka bukankah aku telah menyerukan kepadamu selalu, Para Penyendiri, biarlah pisaumu yang berkarat itu menjadi temanmu selalu. Dengannyalah kau harus senantiasa mengendap-endap dan memutari tubuhmu dari si keberpihakan yang telah menjadi buta atas manusia lain. Lantas di saat kau sudah berdiri tepat di belakangnya, goroklah lehernya pula dengan sekuat tenagamu. Dan lihatlah dia menjerit-jerit sebagai seorang kawan, memohon ampun hingga melompat-lompat serupa ayam yang disembelih.
Dengarkanlah setiap raungan dalam penyakitnya itu, di sanalah kau dapat melihat, ternyata si keberpihakan itu hanya menginginkan surgawi atas diri dan saudara-saudaranya, dan bukan di luar daripada keduanya.
Maka luruskanlah mata-matamu itu dan jangan berpaling barang sedetikpun. Tataplah mata dia dalam-dalam! Dan kau akan menemukan sesuatu, adakah si keberpihakan lain yang hendak datang menolongnya?
O, Para Penyendiri, janganlah masing-masing di antara kau merasa takut. Selalu dengan sendirinya bunga-bunga akan tumbuh, mendatangkan koloni lebah yang nantinya madu-madu akan bermunculan. Setiap manusia adalah jiwa-jiwa muda yang terkadang kekanak-kanakan, hanya dalam keserakahan seseorang menjadi tua. Aku menyarankan kau mengambil madunya selepas mendapat izin dari si pemilik, dan jangan kau rebut apa-apa saja yang bukan kepunyaanmu! Berkeras hati dalam perebutan terhadap hal-hal manis akan selalu berujung pada manis yang menyimpan suatu racun.
Bersembunyilah pula kau dari manusia-manusia manis. Larilah ke lubang-lubang yang dalam di saat kau menyaksikan dia berjalan-jalan. Di balik manusia manis, terpendam pula hasratnya untuk berkuasa dan mengendalikan. Dialah itu manusia pencipta yang sangat aku kasihani. Segala kerajaan kesendirianmu akan runtuh di tangan manusia manis. Dan dia akan selalu membicarakan yang manis-manis supaya kau terlena, lantas tertunduk, dan diperbudak olehnya.
Senantiasa sajikan ruang kosong untuk jiwamu akan sesuatu yang memiliki kemurungan, niscaya kau akan menjadi segar karenanya. Jiwamu memang menderita, tetapi penderitaan itu selalu terbasmikan oleh hasrat untuk berbahagia; bukan kepada barang-barang dan manusia palsu, melainkan pada kebersamaan atas kebersatuan roh yang terkandung dalam jiwamu.
Itulah arti manusia sakit. Dia yang sakit telah menemukan jalan kesembuhannya akibat bersatunya penyakit dalam sehatnya. Sedangkan si sehat itu tidak tahu, jalan kemuliaan yang memanjang di antaranya hanyalah semu baginya, dan penyakit masih menjadi musuh terbesar manusia sehat.
Jika saat ini kau telah meleburkan dirimu dalam kerumunan, segeralah menyingkir dari sana secepat yang kau bisa. Di sekelilingmu itu hanyalah ular-ular berbisa yang penuh tipu daya. Bukankah kau telah mempelajari hal ini dalam persembunyianmu? Andaikata diketahui bahwa kau si penyindiri yang hebat, habis sudah kau dilumpuhkan oleh bisa-bisa mereka.
Maka lekaslah kau pergi! Terjunlah secepatnya ke dalam lubang kesendirianmu lagi! Jika tidak, cintamu terhadap yang jauh-jauh itu akan dibakar pula oleh nafsu yang hanya dimiliki oleh para pengerumun.
Namun dalam pelarian kau itu, sesekali mengintiplah ke belakang. Supaya kau dapat belajar dari para pengerumun itu arti sebenarnya menjadi hidup. Lihatlah! Perlahan-lahan mereka akan mematuk satu sama lain. Sebelum itu, pastilah mereka telah membeda-bedakan pula, dan mempermalukan seseorang yang di tengah-tengah.
Tak ada kata manusiawi lagi bagi mereka. Jika yang satu meludah, yang lain akan memukul. Jika yang satu memaki, yang lain akan menikam. Jika yang satu hanya diam, yang lain akan mendorongnya kemudian buru-buru disirami bensin untuk dibakar supaya dia dapat menjerit-jerit.
Tidak ada jalan lain agar kau dapat selamat. Menyendiri itu ternyata juga menyimpan suatu keindahan, bukan? Tetapi, janganlah kau merasa kesepian di dalamnya, sahabatku, ada banyak permainan yang lebih menggugah untukmu. Bintang-bintang dengan sendirinya akan tercerahkan, dan langit akan membentangkan dirinya lapang-lapang kepada Para Penyendiri.
Janganlah sekali-kali kau merindukan seorang teman, niscaya aku bakal datang sebagai musuhmu yang paling dahsyat. Namun, jika kau mendamba seorang musuh, justru aku akan datang sebagai kekasih yang menuntun langkahmu yang tertatih-tatih.
Lantas, di mana suatu tempat kau dapat menyendiri selain dalam ruang bawah tanah itu, O, Para Penyendiri! Sejauh apapun kau berjalan, apa saja yang sudah kau temukan dalam jalan-jalan kesunyianmu itu, dan berita apa saja yang telah kau dengar dari si manusia pencerita, ingatlah selalu untuk berpulang kepada ruang bawah tanahmu. Nyatanya, itulah rumahmu yang paling mewah!
Permainan bersama teman-teman dan musuh-musuh baru itu tak ada habisnya. Memanglah di dalam ruang bawah tanah itu suhunya begitu rendah dan kau akan menggigil kedinginan. Tetapi kapan pula matahari tidak siap siaga untuk menghangatkan jiwamu yang membeku? Adakah dia telah lupa atas pekerjaan dan kewajibannya atasmu? Tentulah tidak. Dia mencintaimu selayaknya aku mencintai masa depanku.
O, Para Penyendiri! Lupakah kau kepadanya? Cinta yang jauh-jauh itu. Lantas jika demikian, maka sekedar omong kosonglah khotbahku kepadamu perihal tidak ada waktu hari ini dan kemarin jikalau bukan kepada si hari esok itu. Apa jangan-jangan kau telah terpedaya oleh seseorang yang berkata bahwa masa depan bukanlah milikmu?
Dasar, Para Penyendiri! Memang terkadang kau tergugah oleh sesuatu yang bersinar terang sedemikian rupa akibat kau sudah terbiasa kepada kegelapan. Sebegitu lelahkah kakimu untuk mendaki gunung yang tinggi? Oleh sebabnya kau menyerahkan segalanya kepada sosok tak bertuan itu yang di dalamnya menyimpan suatu obat tidur yang menyegarkan sekaligus memabukkan kehendakmu.
Berbahagiakah kau di dalamnya? Maka kembali menjadi dusta segala ucapanku kepadamu ihwal kemurungan itu!
Bukankah telah kuperingatkan kau, agar masa depan itu kau pegang erat-erat selalu pada tanganmu! Jangan berikan apa-apa tentangnya kepada seseorang. Singkirkan garis tanganmu dari sesiapapun jua. Seperti yang sudah-sudah pula, masa depan pun akan direbut oleh para pengerumun itu yang senantiasa menyembah kepada berhala-berhalanya. Terutama para pengerumun di kantor dewan dan walikota, yang berhalanya diukir dari bongkahan emas-emas dan batu berlian.
Kuucapkan sekali lagi dengan lantang kepadamu, hari ini dan masa depan adalah milikmu, O, Para Penyendiri! Camkanlah itu! Hanya kemarinlah yang menjadi bekas daripadamu. Tetapi, janganlah kau merasa jijik kepada angin masa lalu. Nyatanya, lembaran-lembaran itu tidaklah menjadi kadaluarsa, justru ia lebih hidup dan bahkan melampaui ketuaanmu. Apabila kau berkenan menerawang kepadanya, ia belumlah lagi menjadi mati. Anginnya terus berpusing, merindukan untuk dijemput-jemput kembali!
Jika di suatu tempat kau menemukan seseorang bernama masa depan, janganlah langsung kau membakarnya serupa pengerumun yang membakar penyihir-penyihir di masa lampau. Sajikan dia kursi dari kekosongan-kekosonganmu yang lain. Dan apabila dia datang untuk menipu, hukumlah dia oleh kesenyapan! Para penipu benci kepada sesuatu yang tidak berbunyi karena itulah musuh terbesar bagi si pendusta. Singkirkanlah dia jauh-jauh! Dan bagi si politikus yang berdusta, kita lihat saja bibirnya terjahit sendiri oleh buih dan busa yang diakibatkan oleh retorikanya yang manis-manis. Itulah racun yang dia minum sendiri!
Kehendakmu harus dimantapkan jauh-jauh. Jika kau mengambil busur dan anak panahnya, yakin-yakinlah anak panah itu terbang jauh sampai kau sendiri tidak mengetahui di mana ia tertancap. Di saat tanganmu bergetar kelelahan, dengan sendirinya keyakinanmu kepada yang jauh-jauh itu akan memanggilmu kepada dirinya.
O, Para Penyendiri! Tidak ada kemalangan yang lebih besar daripada jatuh cinta di luar daripada kesendirian dan masa depanmu. Mestilah jiwamu merasa cemburu di saat kau menitipkan cintamu kepada yang lain. Masa depan pun adalah seorang perempuan yang ingin dipahami dan dicintai dengan kasih yang lembut. Dia tidak akan mendatangi laki-laki yang tidak berjiwa kepadanya.
Tidakkah masa depan itu sering melantunkan nyanyiannya kepadamu:
“Saat bulan purnama bersinar
Terangi malamku, teringat padamu
Dan kukirimkan salam tentang rasa rinduku
Bersama angin malam, kusetia menunggu
Mimpikan, mimpikan aku, oh, sayangku
Peluk erat hati ini dan jagalah selalu
Dan kan kudendangkan lagu ini untukmu
Dengarlah, sayang
Dengarlah…”
Sungguh dia akan membenci kepadamu apabila kau melepaskan dia pergi ke dalam cawan milik seorang tabib dan si pengkhotbah ‘masa depan bukan milikmu’. Kau mestilah belajar dari si pengkhotbah itu, di saat dia menyuruhmu melepaskan pandanganmu dari masa depan, sejatinya dia sendiri sedang melumat-lumat masa depanmu untuk masa depannya sendiri.
“Tetapi, cinta sejati tak dapat dibagi,” katamu, “dan kita tak dapat mencitai keduanya sekaligus.”
O, lagi-lagi kau telah jatuh terperangkap oleh pikiran-pikiran busuk itu. Berulang kali aku ludahi wajahmu, tidak bosan jugakah kau! Lantas apa yang kau lihat di saat menatap pohon? Apakah lubangnya begitu menggugah sehingga mengalihkan perhatianmu dari kebenarannya? Tidakkah ia telah berbicara padamu bahwa ia mencintai banyak hal secara bersamaan. Tidak ada pohon yang membenci, maka dari itu, jikalau kau bertemu seseorang yang enggan mengatakan cintanya, lagi-lagi kau harus lekas pergi darinya. Dia sekedar hendak menumpang dan mengotori karpetmu!
Cintailah keduanya di saat yang bersamaan, yang jauh-jauh itu. Tentu jika kau berpedoman kepadanya, tidak hanya kau menjadi seorang pemanah, justru kau ikut terbang bersama anak panahmu sendiri.
O, Para Penyendiri!
Aku datang, kemudian aku pergi. Dan kau harus kembali sendiri menghadap puncak gunungmu yang tinggi. Dan jangan sekali-kali kau injak karpet merahku yang memanjang itu, selain ia hanya untukku. Begitupula aku tidak menginjak, menghina, dan mengotori gunungmu. Kita akan kembali bertemu di puncak yang jauh bersama kawan-kawan baru yang sebelumnya tertinggal jatuh di belakang kita. Tidak ada musuh, dan tidak ada saudara, hanya kawan-kawan baru! Sejatinya kau harus membenci sekaligus mencintai keduanya. Itulah kemanusiaan yang kupegang teguh selalu, suatu kemanusiaan yang sublim.
Hanya dengan cara itu, di saat aku mencibir kemuliaanmu, kau bisa tersenyum kepadaku. Dan kita dapat bergembira dan saling mengolok-olok dosa dan pahala satu sama lain dalam satu cinta kasih atas kemurungan-kemurungan kita. Sebab kita berdua telah sama-sama memahami, bahwa permusuhan itu begitu membuang waktu.
Maka peganglah selalu, O, Para Penyendiri! Dikatakan kita akan mencapai kebenaran tertinggi beberapa saat lagi, dan kita mesti tidak berhenti untuk meneropong kepadanya sembari terus melangkahkan kaki-kaki yang ringkih ini. Dan sebelumnya kita harus percaya terlebih dulu, bahwa segala sesuatunya menjadi bisa. Begitupula sebelum kita bertemu dengan Tuhan kita yang Maha Agung, ada baiknya kita menjadikan diri kita tuhan-tuhan yang penuh cinta: yang di dalamnya terdapat suatu kehendak penuh yang menyala-nyala, di mana keberpasrahan menjadi musnah, sekali dan untuk selamanya.
Tetapi sekonyong-konyong kau bertanya, “memangnya boleh setragis itu?”
O, malang betul! Apa aku harus turut pula mengasihanimu sekarang? Hanya seorang budak yang menanyakan tentang boleh dan tidak boleh itu. Maka berhentilah melakukannya jika kau ingin menjadi seorang tuan!
*****
Editor: Moch Aldy MA