Menulis untuk ada

Nura Bisa Terbang

heri purwoko

5 min read

“Kata Ibu, aku anak super. Aku bisa… terbang!” ucap Nura di suatu sore pada bebek-bebek angonnya.

“Hah…. terbang?” sergahku sambil memelototkan mata.

Nura, perempuan manis dengan lesung di pipi kanan, sering kali kutemukan asyik mengangon bebek di sore hari atau berjalan di pematang sekolah ketika pagi dan siang hari.  Jika diajak bicara, anak kelas 6 SD itu berubah jadi serigala dengan cerita yang mengalir panjang dan mata yang berapi-api.

Sore ini aku menemuinya di bawah pohon kedondong di pinggir sawah, duduk sambil merebahkan punggungnya di batang pohon, sementara bebeknya asyik bergulat dengan lumpur mencari makan dan membasahi diri mereka tak jauh dari Nura. Aku membawakan es cincau yang kubuat sendiri, ia menyambutku dengan senyum yang selalu menyenangkan untuk dilihat.

“Lho, Kak Sari tidak tahu?”

Aku menggeleng.

“Hmm… masa, sih?”

“Iya, suer. Tapi ngomong-ngomong, nama kakak kan Sara.”

“Eh, iya, Kak Sara,” ucapnya sambil nyengir.

Nura melanjutkan ceritanya. Kini sampai pada bagian bagaimana ia mendapat kekuatan supernya itu sejak ia masih bayi. Nura melayang ketika disusui tepat di usianya yang satu tahun. Melayang begitu saja, jadi seringkali ibunya menyusui sambil mengerjakan hal lain seperti memasak atau menjemur pakaian tanpa harus menggendong Nura.

Aku mengangguk menunjukkan ekspresi takjub. Semua orang sulit untuk mempercayainya, tidak peduli seberapa bijak orang yang diajak bicara itu.

“Lalu, sekarang kamu masih bisa?”

“Apa? Terbang?”

Aku mengangguk.

“Kadang-kadang, kalau aku lagi ingin saja.”

“Sekarang bisa?”

Nura melihat kiri dan kanan, seolah memastikan tidak ada orang lain yang melihat. Ia lalu berdiri. Aku menunggu. Ia memejamkan mata. Aku masih menunggu. Lalu, ia duduk lagi.

Aku tersenyum, lega. Lega karena ia tidak terbang dalam arti sesungguhnya. Bukan karena aku takut kejutan, tapi lebih karena aku tidak perlu melihat ia berusaha melakukan yang ia tak mampu. Kini ia memeluk lututnya dan perlahan aku mendengarnya terisak.

“Ibuku bilang aku ini seperti supergirl. Tapi kenapa dia sepertinya tidak suka denganku? Bukankah harusnya aku dibanggakan?”

Aku menepuk bahunya. Lalu berusaha menenangkannya. “Kakak punya rahasia.”

Nura terdiam sesaat, lalu ia kembali terisak.

“Kamu tidak mau tahu?”

“Apa?” ucapnya masih sambil terisak.

“Kakak juga super.”

Ia melirik ke arahku.

“Tapi bukan sepertimu yang bisa terbang. Kakak bisa berpindah ruang dan waktu.”

“Teleport?”

Aku terkejut mengetahui ia tahu tentang istilah itu. “Iya,” tukasku.

“Ceritakan,” pintanya.

Aku berdehem, lalu mulai membawanya pergi.

London, 1894

Aku dan Nura berada di salah satu bangku penonton bagian paling atas, bersembunyi di tengah bayang-bayang tribun. Nura tampak takut dan ia memelukku erat.

“Hei, tidak apa-apa. Ini kita ada di London.”

“Inggris?” tanyanya sambil memegangi pinggulku.

“Iya. Itu lihat.”

Di sisi panggung, terlihat Hannah sedang bersiap-siap untuk tampil. Ia adalah perempuan dengan rambut keemasan dan malam itu ia mengenakan gaun berwarna hitam yang anggun.

Hannah terlihat ragu, ia melihat ke arah anak kecil yang baru berusia lima tahun. Samar-samar aku dan Nura mendengar Hannah berkata, “Di situ saja, Charlie. Sebentar saja.”

Anak laki-laki yang bernama Charlie itu mengangguk. Hannah lalu muncul ke tengah panggung. Lampu sorot mengarah padanya. Ia tampak grogi. Aku melihat Nura yang dahinya kini mengernyit. Ia melihat ke arah penonton, menyapunya dari kiri ke kanan. Aku menepuk bahunya perlahan.

Hannah coba bernyanyi, mengeluarkan sepatah kata. Namun fals. Aku menunjuk ke sosok berwarna hitam dengan glitter di sekujur tubuhnya berjalan mendekati Hannah. Nura melihatnya, lalu ia melihat ke arahku.

Lifestealer. Pemakan apa saja dari orang-orang dengan kebisaan yang tidak biasa,” jelasku.

Hannah mencoba mengulang nyanyiannya. Satu kata, fals. Dua kata berikutnya, tambah fals. Lalu di kata berikutnya, tenggorokannya seperti tercekat. Suaranya menjadi tidak jelas. Tampak sosok hitam mengambl sesuatu dari belakang tubuh Hannah, lalu pergi sambil berlari ke sisi panggung.

Aku melihat Nura yang terkejut dan membelalakkan mata, sementara para penonton riuh mencibir Hannah yang kini menangis di panggung.

Aku menyapu wajah Nura dengan telapak tanganku.

Wina, 1816

Aku membiarkan mata Nura membuka lagi. Kami berada di Wina satu tahun setelah Kongres Wina yang terkenal itu. Kami berjalan melewati kedai-kedai pinggir jalan dan beberapa orang masih membicarakan tentang kongres, kekalahan Prancis, kekuasaan Napoleon, hingga masa depan Eropa setelahnya. Di sebuah jalanan yang tampak lengang, kami berhenti. Tak jauh dari kami berdiri lelaki dengan rambutnya yang berantakan sedang berbicara pada dinding. Ia terlihat kesal.

“Siapa dia?” tanya Nura padaku.

“Beethoven.”

“Siapa itu? Politisi?”

Aku terkekeh. “Kamu tidak mengenalnya?”

Nura menggelengkan kepalanya.

“Musisi terkenal. Karyanya abadi dan dimainkan ulang di banyak pertunjukan orkestra di seluruh dunia.”

“Lalu, kenapa dia sekarang?”

Baru saja aku hendak bercerita, Lifestealer muncul dari balik tembok. Beethoven terlihat sedang memakinya. Nura menggenggam erat tanganku, “Dia lagi!”

“Kenapa harus dua-duanya, kenapa di saat ini? Bedebah kau! Tunggu sampai beberapa tahun lagi tidak bisa?”

Lifestealer tidak menjawab. Dengan gerakan yang cepat ia mengambil sesuatu lagi dari sisi Beethoven, lalu berlari ke arah kami. Aku menyeret Nura ke tepian, sementara Lifestealer tampak berlari sambil memperhatikan kami ketika berpapasan, lalu menghilang di persimpangan.

Aku memegangi dada Nura, jantungnya berdetak cepat.

“Aku takut, Kak!”

“Tidak apa-apa. Kita cuma melihat, tidak turut campur,” ucapku menenangkannya.

Kami kembali melihat ke arah Beethoven yang kini sedang memukul-mukul tembok, lalu ke arah kedua telinganya. Tak beberapa lama ia berteriak, lalu memukul pipinya. Beberapa orang yang melintas melihat ke arah Beethoven yang sedang bersimpuh, lalu mereka berjalan kembali.

“Beethoven! Ayo masuk ke dalam!” Seorang lelaki muncul dan berusaha membuat Beethoven bangun.

“Aku tidak bisa mendengar. Kau bicara apa barusan? Hah?”

Lelaki itu memapah Beethoven dan mengajaknya masuk ke dalam bangunan. Beberapa orang yang melintas hanya menggelengkan kepala.

“Setelah ini ia tidak dapat mendengar lagi,” jelasku pada Nura.

“Kok tega, sih?”

“Sudah ada yang mengatur. Sesuai dengan jalur dan rencananya.”

“Siapa?”

Aku hanya tersenyum. Aku menyapu wajah Nura lagi, ia tampak memejamkan mata.

Washington, 1865

Kami berada di depan Ford’s Theatre, sebuah gedung pertunjukan yang hari itu ramai.

“Gedung pertunjukan lagi.”

“Kali ini kita tidak melihat ke dalam.”

“Kenapa?”

“Karena kamu pasti tidak ingin melihatnya.”

“Kenapa? Siapa?”

“Itu dia datang.”

Lelaki tinggi besar dengan janggut dan jas rapi dan topinya yang tinggi datang beserta beberapa orang di belakangnya. Tampak ia mengajak bicara salah satu di antaranya.

“Lincoln. Abraham Lincoln.”

“Wah, presiden?”

“Iya. Dia juga punya kemampuan super.”

“Karena presiden bisa apa saja?”

“Bukan itu maksudnya. Karena dia bisa membunuh vampir, makhluk astral, dan sejenisnya.”

“Termasuk Lifestealer?”

“Bisa jadi. Sepertinya.”

Baru saja aku membicarakan tentangnya, Lifestealer muncul menyeruak di antara orang-orang di sekitar Ford’s Theatre. Lincoln melihatnya. Lifestealer menyembunyikan dirinya di antara kerumunan. Lincoln lalu mengalihkan pandangannya pada kami, aku terkejut. Ia tersenyum. Aku membalas senyum dengan kaku. Nura memperhatikan kami, melempar pandangannya ke Lincoln, lalu ke arahku, lalu ke Lincoln lagi.

Lifestealer beringsut masuk ke dalam gedung. Lincoln melihat arah yang aku lihat. Ia lalu memasukkan tangannya ke saku celana. Ia kemudian bersama rombongan masuk ke dalam.

Aku terdiam. Kini, giliran dadaku yang berdegup. Aku menggenggam tangan Nura. Mataku terpaku pada pintu masuk Ford’s Theatre. Tak lama kemudian terdengar suara letusan tembakan dari dalam gedung. Aku terhenyak. Aku menunggu. Tak lama kemudian, Lifestealer muncul dari berlari keluar dari dalam gedung dengan darahnya yang berwarna hitam bercucuran sepanjang jalan. Aku meraba saku celanaku, lalu menggenggam pisau kecil yang selalu kubawa kemana-mana. Nura kudorong menjauhiku. Lifestealer tampak melambatkan langkahnya. Ia melihatku yang berjalan mendekat ke arahnya, lalu ia berusaha berjalan kembali. Aku mengeluarkan pisauku, jarak kami hanya terpaut dua meter.

“Kak Sari!”

Aku terkejut. Panggilan Nura membuatku menoleh. “Aku Sara!” teriakku.

Lifestealer berada tepat di depanku ketika aku membalikkan badan. Mulutnya terbuka lebar, aku melihat angkasa luar di dalamnya, berbentuk pusaran dengan warna gelap dan semburat-semburat putih yang seolah memintaku masuk ke dalamnya. Lalu, “Dor!”

Lifestealer tertembak, tepat mengenai dahinya. Aku menoleh, Lincoln tampak baru saja melepaskan tembakannya. Asap tipis masih keluar dari moncong pistolnya. Lincoln tersenyum, dengan gerakan kilat lalu menembak dirinya sendiri. Aku berteriak, namun tidak mengeluarkan suara apa-apa. Nura menarikku pergi, melesat ke atas. Aku melihat orang-orang berkerumun aku terbang. Aku melihat Nura yang terus bergerak, fokus ke arah atas. Lincoln bersimbah darah. Lifestealer yang tadinya terkapar kini perlahan berusaha bangkit, lalu melihat ke arah kami. Aku memejamkan mata.

Kami jatuh di tanah basah, di antara bebek-bebek yang bermain air. Pohon kedondong tampak rimbun di kejauhan. Aku melihat Nura yang terdiam. Aku menepuk pipinya. Ia terhenyak. “Syukurlah,” ucapnya lirih.

Aku melihat matahari bergerak turun, langit tampak jingga, dan suara jangkrik mulai terdengar bersahutan. Nura bangun dan buru-buru mengarahkan bebeknya untuk pulang. Aku terduduk di pematang sawah dan melihat langit yang perlahan-lahan gelap. Di benakku bersliweran kejadian-kejadian yang baru kualami. Tentang Hannah, tentang Beethoven, tentang Lincoln, tentang Lifestealer, tentang dokter-dokter, tentang Nura, tentang bebek yang mungkin saja salah satunya tertimpa olehku barusan.

***


Depok, 10 Oktober 2021

heri purwoko
heri purwoko Menulis untuk ada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email