Ngeri-ngeri Sedap (NNS) adalah drama komedi bertema keluarga. Film besutan Bene Dionysius Rajagukguk bercerita tentang kehidupan keluarga Pak Domu (Arswendy Nainggolan) dan Mak Domu (Tika Panggabean) beserta empat orang anaknya, Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox), Sarma (Ghita Bebita), dan Sahat (Indra Jegel).
Konflik terbangun oleh kerinduan Mak Domu pada ketiga anaknya yang merantau—Domu, Gabe dan Sahat—dan kehendak Pak Domu yang meminta Domu untuk tidak menikahi pacarnya dari etnis Sunda, meminta Gabe untuk beralih dari pelawak menjadi jaksa, dan meminta Sahat untuk tak tinggal di Yogyakarta melainkan di kampung halaman sebagai anak bungsu, sekaligus menyukses ritual Sulang Sulang Pahompu bagi ibunya. Untuk itu, Pak Domu merancang skenario seakan-akan ia mau bercerai dengan Mak Domu agar anak-anaknya itu pulang ke kampung halaman. Dan cerita bergerak, dari yang awalnya dirancang sebagai skenario pura-pura, malah menjadi kenyataan. Sekaligus menjadi jalan yang mengubah kehidupan keluarga Domu.
Pak Domu dan Dominasinya
Saya tidak tahu persis apakah latar belakang dunia perempuan atau dunia feminis menjadi pertimbangan penting Bene dalam merancang skenario Ngeri-ngeri Sedap (NNS). Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja tidak seterang pertanyaan: apakah pengetahuan akan budaya Batak itu penting dalam merancang skenario NNS? Saya kira jawabannya cukup pasti: Ya! Alasannya, ritual Sulang Sulang Pahompu dan pemilihan ulos untuk menghadiri acara itu mensyaratkan pengetahuan akan budaya Batak—dan alasan lain tentu saja: Bene itu orang Batak! Namun, untuk pertanyaan pertama, setidaknya bagi saya, jawabannya masih kabur—padahal NNS sedikit banyak menyingkapkan tentang dunia perempuan.
Dalam tulisan singkat ini, saya mencoba membaca dunia perempuan yang hadir dalam film NNS—utamanya melalui tokoh Mak Domu dan Sarma, anak perempuan satu-satunya dari pasangan Pak Domu dan Mak Domu. Sejak bagian awal hingga puncak konflik, Mak Domu dikonstruksikan sebagai perempuan yang tunduk kepada Pak Domu.
Pada adegan pembuka, pembicaraan antara Mak Domu dan ketiga anaknya (Domu, Gabe, dan Sahat) melalui telepon selalu berada dalam bayang-bayang dan kendali Pak Domu. Dengan kata lain, suara Mak Domu yang didengar ketiga anaknya tidak lain adalah suara Pak Domu, kehendak Pak Domu. Lainnya, pada adegan penyusunan skenario perceraian hingga konflik artifisial di dalam kamar saat Amang Pendeta datang ke rumah mereka untuk menyelesaikan potensi perceraian (kedatangan Amang Pendeta ke rumah adalah inisiatif anak-anak mereka untuk menyelesaikan masalah perceraian di antara mereka).
Dalam adegan-adegan itu, sosok dan suara Mak Domu selalu berada di bawah kendali Pak Domu. Pengecualiannya adalah ketika Mak Domu mendatangi kedai tuak pada malam hari untuk meminta Pak Domu pulang ke rumah—meskipun Pak Domu sudah melarang Mak Domu melakukan itu.
Tidak hanya Mak Domu, Sarma pun tunduk pada dominasi Pak Domu. Pada adegan sesaat setelah Sarma selesai menelepon ketiga saudara laki-lakinya demi mengabarkan niatan kedua orang tua mereka untuk bercerai, Pak Domu membujuk Sarma agar ikut serta dalam skenario yang dibuatnya.
Pak Domu membuat skenario seakan-akan dirinya dan istrinya berniat bercerai, lalu Sarma mengabarkan hal itu kepada ketiga anak laki-lakinya yang merantau sehingga mereka pulang ke rumah dan dirinya bisa menasehati Domu untuk tidak menikahi perempuan Sunda, menasehati Gabe agar beralih dari pelawak menjadi jaksa, dan menasehati Sahat agar meninggalkan Yogyakarta dan tinggal di kampung halaman mewarisi rumah. Selain itu, kembalinya Sahat, Gabe, dan Domu ke rumah juga untuk mengobati rasa rindu Mak Domu terhadap mereka, dan agar ritual Sulang Sulang Pahompu terselenggara dengan baik.
Mak Domu dan Suara Perempuan
Dalam NNS, dunia perempuan adalah dunia yang disenyapkan. Dunia perempuan disenyapkan oleh dominasi Pak Domu sebagai kepala keluarga. Dalam dunia itu, yang terbaik adalah apa yang dirancang dan dikehendaki oleh Pak Domu. Dan bahasa akademis menamai dunia demikian sebagai dunia patriarki.
Dunia perempuan yang senyap ini meretak ketika Mak Domu mulai bersuara atas nama dirinya dan ketiga anaknya. Pemicunya adalah adegan percakapan di meja makan saat pagi hari. Awalnya, agenda pembicaraan adalah demi membatalkan niat perceraian Pak Domu dan Mak Domu. Namun, yang terjadi adalah Pak Domu memutuskan untuk bercerai betulan (padahal, awalnya niatan ini hanya skenario semata).
Selain itu, Pak Domu juga malah mempertanyakan keputusan Domu yang mau menikahi perempuan Sunda, Gabe yang memilih menjadi pelawak daripada jaksa, serta Sahat yang memutuskan tinggal di Yogyakarta daripada menetap di kampung halaman sebagai kewajiban anak bungsu. Di situlah Pak Domu memarahi anak-anaknya yang tidak lagi mendengarkan ucapannya—padahal, menurut Pak Domu, dahulu anak-anaknya adalah orang-orang yang penurut. Sahat, si anak bungsu, membalas dengan menyatakan (kurang lebih begini): “Kami bukan penurut Pak, tetapi tidak mampu melawan.”
Pada saat Pak Domu memarahi anak-anaknya itulah Mak Domu mengangkat suara. Mak Domu bilang bahwa pada dasarnya, dirinya tidak ingin bercerai dan mengakui bahwa dirinya pun memiliki alasan untuk memilih jalan cerai. Bagi Mak Domu, segala hal yang dilakukan Pak Domu terhadap ketiga anaknya bukan semakin mendekat Mak Domu kepada ketiga anaknya, melainkan semakin menjauhkan mereka. Puncak perlawanan itu adalah saat Mak Domu berteriak bilang, “sekarang, kau yang mesti dengar!” kepada Pak Domu.
Baca juga:
Momen bersuaranya Mak Domu menjadi momen bagi Sarma untuk bersuara. Pada awalnya, Sarma menyadari bahwa sebagai perempuan dirinya mestinya lebih banyak diam dan menutup segala permasalahan yang ada. Dan Sarma memperoleh pengetahuan itu dari ibunya, Mak Domu. Namun ketika Mak Domu berani bersuara, Sarma pun menjadi berani bersuara.
“Kini saya tidak akan diam lagi Bu,” kata Sarma kepada Mak Domu sambil menangis. Sarma pun bicara apa yang terjadi pada dirinya, yang diminta untuk diam tentang skenario perceraian oleh Pak Domu, yang diminta untuk membatalkan mimpinya menjadi juru masak oleh Pak Domu, yang diminta untuk memutuskan pacarnya yang beda suku oleh Pak Domu. Dan dengan bersuara, Sarma meraih dunianya kembali, terbebas dari dunia yang dikonstruksikan oleh Pak Domu terhadap dirinya.
Representasi Patriarki
Dunia perempuan adalah dunia yang disenyapkan. Senyapnya dunia perempuan diakibatkan dominasi laki-laki yang beroperasi atas nama rasio dan otonomi. Psikolog Carlo Gilligan menyatakan bahwa dunia laki-laki atau dunia patriarki merupakan dunia yang dikonstruksi atas keyakinan Sokratik. Keyakinan itu bertumpu dakuan: “Know yourself!”—ketahuilah dirimu sendiri dan atas dasar itulah kamu dapat mengetahui orang lain. Dan rasio adalah alat sekaligus jalan untuk meraih pengetahuan akan diri yang akan melahirkan otonomi diri atau kemandirian diri. Dalam NNS, Pak Domu adalah representasi dari dunia patriarki.
Dalam dunia patriarki kreasi Pak Domu, suara perempuan disenyapkan atas nama “demi kebaikan”. “Demi kebaikan” itu berwujud pulangnya Domu, Gabe, dan Sahat ke kampung halaman agar dirinya dapat menasehati mereka (untuk mengambil jalan yang dipilihkan Pak Domu) sekaligus menghadiri ritual Sulang Sulang Pahompu dan mengobati rasa rindu Mak Domu, juga sarannya terhadap Sarma untuk membatalkan mimpi menjadi juru masak dan memilih menjadi pegawai negeri, dan lainnya. Padahal, di balik “demi kebaikan” itulah beroperasi kehendak dan kesadaran Pak Domu bahwa hanya dirinyalah yang mengetahui apa yang terbaik bagi orang lain, bagi keluarganya, dan anak-anaknya.
Dunia Perempuan
Berbeda dari itu, dunia perempuan yang bersuara adalah dunia di mana perempuan bisa bersuara demi dirinya dan orang lain. Dunia perempuan beroperasi dengan dakuan: hanya dengan mengetahui orang lain sajalah saya dapat mengetahui diri saya. Inilah dunia yang dikonstruksikan oleh relasi antara diri dan orang lain. Dalam relasi ini, empati lebih utama dari otonomi. Melalui empati atau kesediaan mendengar, kita tidak hanya memberi ruang bagi orang lain untuk berbicara, namun juga memberi ruang bagi kita untuk mengambil alih sudut pandang orang lain.
Inilah dunia yang ditandai oleh adanya kepedulian terhadap orang lain. Alih-alih bertumpu pada hal yang abstrak dan rasional sebagaimana yang terjadi dalam dunia patriarki, dunia perempuan bertumpu pada perjumpaan yang konkret dengan orang lain, sekaligus dengan pergulatan dalam diri orang lain dan dirinya itu untuk bersuara. Di sinilah suara Mak Domu tidak hanya berbicara tentang kehendak dirinya sendiri untuk melepas rindu dengan anak-anaknya, tetapi juga kehendak anak-anaknya untuk bersuara atas nama mereka sendiri dan demi kebahagiaan mereka sendiri.
Di akhir cerita NNS, dunia perempuan yang bersuara mengubah arah kehidupan keluarga Pak Domu. Dominasi Pak Domu berhenti menjadi kesediaan untuk mendengar dan mengambil alih sudut pandang orang lain, kesediaan untuk turut serta dalam perwujudan kebahagiaan orang lain tanpa mesti mengorbankan kebahagiaan diri sendiri. Saat Pak Domu hadir dalam acara komedi Gabe yang ditayangkan di televisi, Pak Domu mengaku dirinya tidak setuju dengan pilihan Gabe, namun dirinya bahagia saat mengetahui Gabe bahagia dengan pilihannya menjadi pelawak.
Dalam kenyataannya, dunia perempuan yang bersuara sejak tahun 60-an telah mengubah wajah peradaban saat ini. Rasanya mustahil untuk berbicara tentang psikologi tanpa menyertakan nama Carol Gilligan yang menggariskan perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki; kajian tentang korban—baik secara saintifik maupun filosofis—pun tampaknya mustahil tanpa kehadiran perspektif teori feminis; atau lahirnya kajian etika kepedulian (an ethics of care) tanpa kemunculan dunia perempuan; bahkan optimisme dunia tanpa kekerasan rasanya lebih masuk akal terwujud melalui gagasan relasional yang lahir dari dunia perempuan daripada gagasan otonomi dari dunia laki-laki.
Kembali kepada pertanyaan awal. Saya kira pilihan yang mungkin sebagai pertanyaan awal entah (i) Bene memang memiliki latar belakang pengetahuan akan dunia perempuan atau (ii) realitas yang diamati Bene, sebagai sumber inspirasi skenario, memang mengandung gerak dinamis feminis dalam dunia patriarki. Dalam kedua opsi itu, kita dapat menemukan satu hal yang cukup pasti: dunia perempuan adalah kenyataan yang tak terbantahkan hadir dalam keseharian kita.
Editor: Prihandini N