Negeri Dadakan

Ocha Lewar

3 min read

Tuhan, saya terbangun dengan nyawa yang belum terkumpul betul di suatu Minggu pagi. Sebagian dari diri saya mungkin masih di alam mimpi ketika sebagiannya lagi terpaksa mendengar gerutu Mama di pagi itu. Penyebabnya adalah harga minyak goreng di kios Om Petrus yang, meminjam candaan Mama, mahal macam harga diri.

Sementara itu, lonceng Angelus sekaligus peringatan pertama agar kami bersiap ke gereja juga tak henti-hentinya berdentang. Kuping saya sakit mendengar dua hal itu bertabrakan. Seperti Martha dan Maria. Begitu rohaniah sekaligus manusiawi.

“Tidak jadi lagi saya jual gorengan! Mana kelapa juga sudah habis,” seru Mama.

Pagi itu, selain menimba air untuk mandi, saya juga menimba kesimpulan-kesimpulan. Bahwasanya niat Mama untuk jual gorengan terpaksa ditunda. Lagi. Di sisi lain, kelapa-kelapa di kebun sudah habis, korban dari kekalapan kami karena harga minyak goreng yang naik. Aduh. Saya lupa. Bukankah kami harus lebih terampil mengolah pangan? Misalnya… dengan mengonsumsi makanan yang direbus, kendati pun perut kami sudah kenyang melihat ubi dan pisang yang dicemplungkan begitu saja dalam sepanci air.

Maaf, maaf, saya khilaf. Tapi, izinkan saya khilaf untuk beberapa alinea lagi. Mumpung kopi di gelas saya masih ada dan hari Minggu adalah kesempatan untuk mengakui dosa.

Sebab, masih ada hal lain yang tidak dapat saya pungkiri adanya; sistem dan ukuran yang berubah lucu. Engkau tahu, Tuhan? Orang-orang di desa kami beramai-ramai memanjat kelapa untuk dijadikan minyak. Mafia atau bukan pemantiknya, yang jelas mereka sukses membuat jumlah pohon kelapa berbanding lurus dengan kelas sosial seseorang di masa-masa seperti ini.

Sementara itu, berita yang sama tentang janji penurunan harga masih juga ditayangkan. Entah media adalah moncong yang diundang khusus untuk meliput itu atau mereka memang getol memberi harapan untuk kami. Yang jelas, perubahan itu begitu kasat mata.

Lihat saja. Pemerintah desa kami mulai mencanangkan penanaman 20 pohon kelapa untuk tiap kepala keluarga. Berjaga-jaga apabila kondisi paceklik ini berumur panjang, minimal kami sudah siaga satu dari jauh-jauh hari. Siapa tahu desa kami bisa jadi desa teladan. Sungguh sebuah pemikiran jangka panjang, bukan? Kepala desa kami akan masuk TV, dan kamera wartawan mungkin bisa sekalian menangkap keran-keran desa yang lebih sering kering kerontang.

Lihat saja. Anak-anak sekolah yang dulunya ditugasi membawa pot bunga sebagai bentuk hukuman atas absensi mereka, berganti menjadi kewajiban untuk membawa buah kelapa tua. Wajar. Guru-guru juga manusia yang butuh makan. Belum lagi utang gula di warung Bugis belum dibayar.

Lihat saja. Khotbah pastor soal pengembangan talenta tiba-tiba berujung pada ajakan untuk mengonsumsi rebusan. Paradoksal sekaligus tepat waktu. Ia berbicara dari sudut pandang pemuka agama yang prihatin terhadap masalah umatnya, sekaligus dari sudut pandang seseorang yang menerima persembahan misa berupa minyak goreng kemasan.

Saya bahkan menaruh curiga di novena-novena Mama beberapa hari belakangan, Tuhan. Ia bilang itu agar covid cepat pergi, tetapi saya kira itu supaya kami mampu bertahan, atau di skala paling sederhana, supaya Om Petrus menurunkan harga minyak di kiosnya.

Sungguh, Tuhan. Negeri ini berlimpah akan sumber daya. Apalagi di desa-desa, sejatinya mereka tidak bisa menekan perut kami dengan menaikkan harga BBM atau minyak sawit. Pengaruhnya dangkal. Lagi pula, kami bukan ayam yang akan mati di lumbung padi. Kami punya pisang, ubi, bunga pepaya, dan lainnya. Tuhan melawat kami di perut pertiwi yang hijau dan segar, kendati pun konsekuensinya adalah ketidaktahuan kami akan segala kecanggihan zaman.

Mungkin karena kami kepalang apa adanya. Menyambung soal itulah sumber daya kami menjadi apa yang mereka sebut “rendah”. Muncul perumpamaan bahwa pisang yang kami tanam dan kami jual kepada orang-orang kota, uangnya kami gunakan untuk membeli molen dari gerobak mereka.

Yang satu itu jangan ditanyakan lagi. ATM misalnya, hanya milik beberapa orang di desa yang kepadanya dititipkan uang makan dari orangtua untuk anak-anaknya yang kuliah di kota. Tetapi, anak-anak ini suka bermimpi yang kecil-kecil. Saking pakemnya gaya hidup sederhana, kami tidak suka bermimpi yang muluk-muluk, dan realita menjelma kurungan besi yang mengekang kebebasan kami, bahkan untuk hal segratis bermimpi.

Sementara orangtua kami tak henti-hentinya berpesan: “Jangan jadi seperti Mama dengan Bapa. Kami ini orang bodoh dan susah.” Tapi, kami malah getol mengembangbiakkan hal yang sama. Nasihat serupa pun menjadi seperti garis keturunan yang panjang. Pemakluman di atas pemakluman sudah mirip siklus datangnya hujan.

Tapi, Tuhan. Di atas semua itu, kami hanya tahu satu hal. Di negeri yang serba dadakan ini, di mana peraturan dibuat diam-diam dan digelontorkan seperti permainan cilukba, usaha menjadi waras adalah dengan mempertahankan apa yang kami punya meski itu tergolong sisa.

Sudahlah. Kami tidak ingin mengorek kembali luka omnibus. Tetapi, jika sampai Mama kami di Waduk Lambo bertelanjang dada, bukankah kami punya hak untuk bertanya? Seperti juga urat-urat melintang dari mereka yang menangis di Besipae, mahasiswa yang berteriak lantang di tengah sengatan matahari kota ini, sampai baru-baru ini, waktu orang diharuskan membayar lebih dari tiga juta atas nama konservasi, demi bisa melihat komodo. Tuhan, bahkan derma untukmu saja hanya seribu rupiah per minggu.

Pokoknya, Tuhan, selain saya mau harga minyak goreng di Om Petrus turun dan Mama bisa kembali berdagang gorengan, saya juga mau supaya negeri ini tidak suka membuat jantung kami seperti ditendang kuda Sumba secara tiba-tiba. Semua terlalu dadakan untuk kami yang bahkan belum paham apa itu asuransi. Semua lagu ini terlalu cepat temponya. Kami bahkan belum belajar membuat pisang molen sendiri, tetapi mereka memangkas habis pohon-pohon pisang di kebun kami.

Dan tentu saja. Kami tidak mau jadi ayam yang mati di lumbung padi.

Ini, Tuhan, saya taruh tulisan ini di bawah patung Bunda. Sejak Maria dikenal sebagai pengantar doa-doa, saya ingin ini bekerja seefektif lamaran orang dalam. Sssst… ini antara Engkau dan saya saja, Tuhan. Biarkan keadilan-Mu bekerja. Ayolah. Saya rasa ini akan menjadi porsi yang pantas, baik jika dilihat dari sudut pandang kami maupun Dikau di atas sana.

***

 

Catatan Penulis:
1. Novena: devosi atau doa yang diucapkan selama beberapa hari berturut-turut (biasanya 9 hari) untuk memohon rahmat atau permintaan khusus.
2. Aksi ibu-ibu bertelanjang dada di Waduk Lambo adalah bentuk penolakan mereka terhadap rencana relokasi di Desa Adat Rendu, Nagekeo, NTT.
3. Pemberontakan di Besipae, Timor Tengah Selatan, NTT adalag buntut dari ambil alih hutan Adat Pubabu oleh pemerintah.

 

Editor: Ghufroni An’ars

Ocha Lewar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email