Narcissus Mati Menatap Cermin
kita akan mati jika menatap cermin
kita bukanlah makhluk esa yang telah utuh
melainkan puing-puing yang dijustifikasi
atas dasar pikiran polos tanpa rasa benci
serpih-serpih jiwa itu tengah bersembunyi
di antara reruntuhan jiwa orang yang kau benci
mereka menjelma menjadi sebuah cermin
tatkala matamu memantulkan bayangan dirimu
jiwamu dan jiwa dalam cermin akan bersentuhan
dan ia akan pecah setelah kau melemparnya
itu bukan wajah yang kau mau dan bayangkan
ia hanyalah manifestasi jiwa yang kau benci
yang kau simpan kepada orang yang tak berdosa
kita tak peduli sekelumit jiwa yang ranum
walau mereka berhias permata sekalipun
fasad cemerlang tak harus diperhatikan selalu
lagi pula mereka tak membakar api bencimu
manakala kau menatap keluar jendela rumahmu
cermin yang tak terhitung itu berserakan kesusu
mereka meratap untuk dibawa pulang olehmu
dikembalikan atau diajak bersatu dengan tubuhmu
kita ditakdirkan untuk membenci diri sendiri
kita akan mati karena diri sendiri
kebencian pada diri sendiri.
Menghitung Waktu yang Tersisa
satu jadwal di kalender yang bertambah
memisahkan kita dua langkah mundur
dalam tiga hitungan seseorang terlelap
pada detik keempat yang lain terbangun
setelah lima hari tanpa dirinya usai,
enam jam tersisa untuk menyendiri
walau tujuh panggilan sempat diabaikan
delapan desahan memenuhi jawaban
aku bertanya meski telah di titik sembilan
apa kita bisa kembali ke titik nol saja?
Kunjungan ke Pemakaman
di hari pemakamanku, tak ada yang datang berkunjung
tak ada tangisan yang tertabur menjadi kembang anyelir
aku berjalan mengunjunginya untuk pertama kali
setelah lama mengurusi peti mati yang tak kian dikubur
pada nisan kayu, tertuliskan beberapa penghargaanku
yang paling besar adalah orang paling egois di muka bumi
dia yang mempertimbangkan hanya kemauan sendiri
berbicara omong kosong dengan telinga yang tertutup
di bawah itu, gelar orang paling bersalah pula termaktub
walau di sana tak ada seorang pun yang sedang berdiri
mata-mata melotot untuk menerima tanggung jawab batin
dia merangkul rasa bersalah yang bukan miliknya utuh
di sebelahnya aku duduk, menyisikan beberapa batu
orang ini kebingungan atas salah siapa ia bisa mati
karena hujan tak mungkin turun di lapangan kosong ini
aku menyiram tanah tandus dengan harapan bisa subur
setelah hari pemakamanku, semua masih sama seperti dulu
lampu tetap dimatikan walau televisi tetap membising
pengeras suara terus bermusik walau saat malam hari
tetapi mereka tak kunjung membuka telinga untukku
setelah menahun, aku tidak pernah lagi berkunjung
tak ada waktu yang pantas dibuang untuk makam ini
aku berdiri menghilangkan butir tanah yang mengotori
dan pergi dengan menyisakan rasa benci pada diriku
Setiap Rasa Cinta
jangan tabur gula di setiap air ludah kita
tambahkan sejumput garam untuk drama
dan muntahkan jika sesuap terlalu hambar
aku tak peduli jika cukanya terlalu banyak
kau juga harus rasakan setiap kepahitannya
apa kau masih merasakan rasa gurihnya?
Ketika Senja Datang Terlalu Cepat
ketika senja datang terlalu cepat, perahu tak selamat.
tak mengira ia sangat cepat, hari berjalan lambat.
luapan gula kudapat, terpaksa kujilat.
hasil tak terjerat, aku terjebak.
ketika aku jatuh terlalu cepat, mimpi sudah tamat.
Ironi
di bawah langit yang sama,
dalam waktu yang sama,
di atas tempat yang sama,
dengan musim dan perasaan
yang berbeda.