Narasi Usia dan Puisi Lainnya

Budhi Setyawan

2 min read

Paradoks Percik Penemuan Menghipnosis Abad dan Akselerasi Kehancuran Dunia

1/
detik, suara yang menitik lirih dan renik, namun teramat
runcing, mengangkut mimpi. keinginan, menetas di hulu
usia lalu berjalan di setapak rute yang sederhana. masih
amat sedikit penyebutan istilah dan definisi, dan
ketidaktahuan menjaga ketenangan. lalu meluas berbiak
katakata, bersilang makna dan serupa lomba. jalinan
kebutuhan yang teriak sebagai paling segera seperti
sengkarut kabel telepon di tiangtiang jalanan kota yang
gagap. lapar haus menjelma pendemo di barisan depan,
pemain utama pembawa slogan dan semboyan bagi asasi
keberadaan. kekosongan selalu penuh dengan api, yang
akan memanas, timbul asap bergulung mekarkan gelap
dan bingung. semula semua tampak canggung, tetapi
kemudian berebut mencari panggung, tempat ketinggian
untuk kemudahan mengedarkan permintaan dan
kepentingan. dan tak tanggungtanggung, ada yang terus
meraungraung meski perutnya telah kembung, dan telah
kehilangan ceruk renung.
“era lihai berganti kulit, menjadi tua itu teramat sulit?”

2/
rakus, sebuah kata dari dalam kamus, seperti memiliki
cakar dan taring yang terus memburu dan mengejar
bayangbayang penggelembungan diri. mekanis kronis,
terus berlari, menabrak, menerobos, menembus apaapa
yang disebut batas karena itu dianggap hanya imajinasi
demarkasi yang tak benarbenar ada. kemunculan atensi
pada atom, uranium, plutonium, molekul, kimia karbon,
fisika kuantum, penjelajahan ruang angkasa, rekayasa
genetika, komputer, internet, kecerdasan buatan, dan
progresi lainnya berkelanjutan. mereka seperti
berkelompok lalu terjadi kolaborasi segala diskoveri dan
invensi, kapitalisasi dalam rezim efektivitas dan efisiensi,
menciptakan partikel harmoni sekaligus konflik yang
memang amat pelik. menjelma lorong perburuan yang
meneteskan mimpi buruk, terus berpinak berkembang
dalam reaksi fisi berantai tak usai usai. kultur pelarian
intensi melesat begitu mulus dalam dialektika
pertentangan antara konvensi dan kebaruan sampai
mampus.
“hasrat tak kenal tamat, mungkin sampai terbit kiamat?”

3/
petaka, menghambur ke dalam setiap kepala dengan
jarumjarum yang lebih lembut daripada rambut.
kejadiankejadian serupa pesona aurora di kutub utara,
segar hijau yang menampung piknik mata dan letup
kejutan, namun teramat jauh dan tak tersentuh.
meluaslah simtom lalu sindrom delusi membuat arus
eliminasi pada pengganggu penyeragaman jalur
paradigma dan ideologi. lalu ada residu nganga tanya
setelah segalanya tumbang dan menyerpih dalam jejak
perih yang membandang. kegagalan demi kegagalan
menjadi episode tragedi dan sebaran keberantakan yang
menyerang seluruh penjuru. barangkali sains hanyalah
dongeng yang dibungkus dengan asumsi, postulat, dan
teori, dalam spiral antropologi yang memanjangkan
enigma sekalian alibi. seperti distribusi ironi, eksistensial
mengirim sial dan relativitas membagikan naas. di bawah
cuaca simulakra, semua manusia telah menjadi pesakitan
dalam lariklarik penjara mitos futuristik menuju lubang
kematian besar.
“setelah runtuh dan rubuh, masihkan ada kuasa tubuh?”

(2023)

Narasi Usia

hanya kalender yang terus menua
dan berganti
sementara diri kita
selalu saja muda dalam intensi
dan imajinasi

seperti di keluasan halaman puisi
kita adalah anakanak kecil
yang teramat lugu dan lucu
lalu sesekali jadi remaja yang jatuh cinta
berkalikali pada banyak kenangan
tentang halhal sederhana

akan makin memanjang kalimat
dan lariklarik mimpi
menafikan hitungan tahun, bulan,
dan namanama hari
menjelma baitbait niskala
yang membebaskan diri
dari segala batasan dan definisi

(2023)

Arloji Luka

arloji di pergelangan tangan
orangorang telanjur urban
terlihat makin memucat
keletihan menempuh riwayat getun
di jalur rumpil dan curam tahuntahun

jarumjarumnya runcing
menusuk wajah mereka masingmasing
yang menuju saling asing
menyayat panjang luka nurani
meneteskan air mata silam hari

(2023)

Genit

seperti ada yang menjerit
saat terdengar lagu ebiet
karena telah telanjur terlampau jauh
perjalanan waktu yang mungkin terasa sangat menyedihkan
atau kepurapuraan menjadi korban
katakata semacam pelampung atau batang kayu
yang bikin kita masih mengapung
di kolam perangkap permainan pilihan
yang dalam dan kelam

telah terlalu menor wajah kotakota
mengundang pandang para pejalan nasib
sebagian takjub dan lainnya bertanya
apakah hendak ke acara kondangan
sesi foto model atau jadi badut
karena mendung berlapislapis
dan mungkin akan hujan turun tipistipis
kita pun menahan laju komentar
di depan cermin yang sobek

ribuan percik parfum meloncat tinggi
menciumi dada langit yang makin bolong
asumsi perubahan iklim cerita bohong
kini malam pun makin panas
seperti dikurung bara tungku kayu
dari hutan larangan yang kian profan
gerutu jadi nyanyian panjang orangorang
kita di pojok kamar sambil kipas kipas
dengan majalah remaja yang sudah lama
tak terbit lagi dan lepas halaman sampulnya
ingatan kirimkan lolong asmara satu ketika

(Bekasi, 2023)

Opera Riuh

keringat kota meleleh, mengalir ke selokan, ke kali.
menyulap kelam muram air, ikanikan keracunan, raib
lalu tinggal cerita. menguar aroma khianat dan
persekongkolan, di udara tengik, di cuaca yang licik.
tak beda dengan deret papan iklan. gambar dan video
kabarkan manis lebih dari gulali, detik
detik yang tajam
patahkan sekerat senyap yang hendak menyusup ke
galeri riuh. semua adalah pendatang, semua penantang,
pada labirin peruntungan yang dipenuhi rintangan.
kawat kabel telepon yang bisu dan kabel listrik yang
dingin, kini tak lagi ada burung hinggap, seperti
bentangan riwayat orangorang terpanggang kenyataan,
terlunta penuh nganga luka. trotoar sampai plasa jadi
arena mereka yang tak punya wajah, bersenang senang
sebelum lakon terburu meringkus dan memerangkap
mereka sampai lupa ada. segala ruang menyusut
menikam, pengap gelap menghitam, malam terus saja
menjelma gaduh perangkap menjerat.

(Bekasi, 2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Budhi Setyawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email