Namaku Langit

Lina Prabawanti

3 min read

Namaku Langit Biru. Orang memanggilku Langit, meskipun aku tidak setinggi angkasa. Orangtuaku memang gemar bercanda, memberi nama anaknya yang kontet ini Langit. Huh! Seharusnya mereka memberiku nama Bumi saja, seperti nama yang mereka sematkan untuk adikku. Adikku yang tingginya hampir dua meter itu jelas lebih pantas menyandang namaku.

Namun nama yang terlalu mentereng itu bukan satu-satunya masalahku. Saat ini, masalah yang jauh lebih pelik tengah kuhadapi. Atasanku memintaku menemani istrinya.  Bukan masalah pelik, katamu? Oh, pasti kau belum mengenal tabiat atasanku. Dan jelas kau belum pernah bertemu dengan istrinya.

Istri atasanku ibarat buku cerita yang terlalu rumit untuk dibaca, sedangkan atasanku adalah pengarang yang tak pernah menyelesaikan ceritanya. Percayalah, kau tak ingin berurusan dengan keduanya.

Setiap kali mendapat tugas menemani istrinya, atasanku tak pernah membiarkan aku sendirian. Dia tak segan menempatkan lima sampai sepuluh orang pengawal untuk mengawasiku. Merepotkan sekali, bukan? Mengapa dia tidak sekalian saja menyuruh sepuluh pengawalnya itu untuk menemani istrinya, alih-alih memberikan tugas khusus itu kepadaku? Aku tak habis pikir.

“Pergilah ke ujung samudra. Istriku ingin melihat dunia,” bisik atasanku sebelum memintaku menemani istrinya. Itu adalah kalimat baku yang selalu diucapkannya untuk tugas khusus yang tak mampu ditunaikannya sebagai suami.

Aku tak punya alasan untuk menolak permintaan gila itu. Terlebih dia menyisipkan uang saku yang berlebihan hingga meluber dari kantong kemeja dinasku. Seusai menjejalkan uang yang jumlahnya fantastis itu, dia menggerakkan tuas di lengan kursi rodanya yang membuatnya bergerak menjauhiku, tanpa menoleh lagi. Isyarat bahwa aku harus segera membawa istrinya pergi.

Istri atasanku adalah perempuan yang terbuat dari gasing. Dia tak pernah berhenti mengitariku. Sesekali, bila atasanku tidak melihatnya, dia mencuri ciuman dariku tanpa permisi.

Bodohnya, aku tak sanggup menolaknya. Dia memang bukan jenis perempuan yang bisa ditolak dengan mudah. Wajahnya yang seperti purnama itu jelas mampu membuat setiap mata mendamba. Mata sesama perempuan akan melihatnya dengan kagum, ingin bersinar seperti dirinya. Mata lelaki? Jangan kautanyakan padaku, karena sampai sekarang pun aku masih belum selesai mendefinisikannya.

Aku terlalu lelah untuk menghindar dari perempuan dengan wajah yang bersinar seperti dirinya. Uang saku yang diberikan oleh atasanku juga terlalu membebani, membuatku tak punya daya lagi. Langkahku mungkin lebih ringan bila uang saku ini tidak memberati kantongku. Namun aku tak terlalu yakin, apakah aku memang ingin lari menghindarinya, atau justru mendekat padanya?

Perempuan gasing itu ibarat kutub utara, dan aku selalu berada di kutub selatan magnetnya.

Tugas menemani istri atasan memang bukan hanya sekali ini saja kuterima. Sudah puluhan, bahkan ratusan kali tugas ini diembankan oleh atasanku. Aku tak terlalu yakin mengapa atasanku memilihku dari ratusan orang  lain yang juga bekerja padanya. Mungkin karena posturku yang tak sempurna ini justru membuatnya lebih tenang?

Atasanku adalah generasi ketiga, ahli waris dari konglomerasi bisnis terlarang dalam skala besar. Karena terlarang, tentu saja aku tak bisa menyebutkannya. Namun pembaca yang pintar sepertimu pasti bisa menebaknya, bukan?

Aku tak sengaja bekerja padanya. Awalnya aku hanya kurir yang terjebak mengantarkan paket yang tak kuketahui isinya. Paket itu rusak dalam pengiriman, karena hujan deras di sepanjang perjalanan dan aku hanya mengenakan mantel tipis yang tak mampu melindungiku dan barang bawaanku sekaligus. Pihak penerima yang tak terima barangnya rusak, memintaku mengganti isinya yang ternyata tak sanggup kubayar meskipun dengan setahun penghasilanku sebagai kurir.

Pihak penerima paket rusak yang memintaku mengganti isinya itu tak lain dan tak bukan adalah atasanku. Kau tahu siapa pengirim paket itu? Dia adalah istri atasanku! Kau tak menyangkanya, bukan? Keduanya kemudian sepakat mempekerjakan aku. Dan disinilah aku sekarang, dengan masalah paling pelik yang harus kuhadapi tepat di depan mataku.

Dalam perjalanan panjang ini, praktis aku hanya berdua saja di dalam mobil jeep hijau tua bersama istri atasanku. Kesepuluh pengawal lainnya mengiringi di kanan kiri kendaraan, dari atas motornya masing-masing.

Aku duduk di belakang kemudi, dengan istri atasanku duduk di samping, memegang kemudiku. Kau bisa membayangkan posisiku, bukan? Wajar bila kendaraan yang kutumpangi tak pernah stabil. Sebentar melaju terlalu ke kanan, sebentar kemudian oleng ke kiri.

Istri atasanku sangat lincah memainkan jemarinya. Meskipun kendaraan baru menempuh jarak beberapa kilometer saja, namun celanaku sudah basah kuyup dibuatnya. Dan belum ada tanda-tanda dia selesai dengan aktivitasnya yang membuatku ‘tersiksa’.

Terkadang aku ragu, apakah atasanku benar-benar tidak tahu tabiat istrinya itu? Bila dia tahu, masihkah  dengan sengaja dia memintaku menemani istrinya dalam perjalanan sepanjang ini, bahkan memberikan uang saku yang jumlahnya melampaui penghasilanku dalam setahun?

Aku yakin, kesepuluh orang pengawal yang tengah mengitari jeep hijau yang kutumpangi ini mengetahui dengan jelas apa yang terjadi. Mereka hanya pura-pura tak tahu dan terus memacu motornya dengan kecepatan bervariasi, mengimbangi kecepatan kendaraan yang kukemudikan.

Hampir tiga jam berlalu. Sepanjang waktu itu pula aku tak bisa berhenti tegang. Istri atasanku baru menghentikan aktivitasnya ketika jeep hijau tua yang kukemudikan terseok memasuki halaman villa yang terletak jauh di keremangan hutan. Villa itu adalah tujuan akhir dari perjalanan ini.

Tak lama kemudian, seperti telepati, teleponku berdering nyaring. Suara tegas yang sangat kudengar dari seberang sana memenuhi tak hanya ruang telingaku, namun juga seisi kepalaku. Membuatku pening.

Namaku memang Langit Biru, namun hari ini aku ingin menggantinya menjadi Langit Kelabu. Aku ingin menjadi langit yang sewaktu-waktu bisa menghilang sebagai hujan. Apakah kau bisa membayangkan rasanya menjadi diriku ketika atasanku, dari seberang telepon, mengatakan dengan nada mengancam ”jangan bawa istriku pulang.”

***

Editor: Ghufroni An’ars

Lina Prabawanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email