Selagi Ibu di Luar Jangkauan
bila malam sudah jadi
kita akan membuat pagi
di mana hangat bermula
& hulu setiup udara
kau menasibkan kita
sebagai lecet pada lutut
seorang bocah belajar sepeda
sementara pelukan di tengah hujan
semacam plaster pada luka yang basah
kita takut membayangkannya terlepas
tapi diam-diam merencanakan
tangis paling aduh sedunia
penyair yang miskin bahasa
dalam dirimu selalu bicara:
“sebaiknya kita mencintai
malam ini saja dengan sederhana”
tapi kita hanya dua bocah sandiwara
yang selalu lupa pernah terluka:
“maka peluklah aku selagi pintu
tak terjangkau ketuk telunjuk ibu”
(Yogyakarta, 2022)
–
Musim Perang
di kamar, kau saksikan angin nihil
setarik napas yang tumpas
tak menemukan bau
musim perang
sebab segalanya telah pecah berserak
hanya puing bantal mengendapkan
aroma rambutmu yang gugur
ke mana kita mencari telinga
yang pernah merekam penjajahan
saat tubuhmu menyediakan kemerdekaan?
rasanya
kita kehilangan bahasa yang tajam
untuk menusukkan kerinduan
(Yogyakarta, 2022)
–
Kepada Tak Siapa pun
dalam dirimu
identitas meretas
algoritma surga
nabi-nabi
telah meminjami
gamis & peci juga sepasang
mata pecinta yang basah & pasrah
tubuhmu menjelma kertas
& maut laiknya penyair miskin
yang selalu mau menerimamu
tapi api
dalam kepalamu
hanya menyisakan
abu dirimu yang liyan
kepada tak siapa pun
kau telah nihil
berpulang gigil & bugil
(Yogyakarta, 2022)
–
ISPA
mengambang juga
sisa udara
lenguh pada trakea
sebut saja
semacam ispa
yang lepas
menjadi napas
di sana
seperisapan
tak berarti apa-apa
kecuali setengah batang
—singkat waktu kaubutuhkan
untuk muncul kemudian hilang
(Yogyakarta, 2022)
–
Pada Suatu Gema Kereta
—shafira
Ah, kau mungkin salah dengar & telingamu
isinya cuma kangen-kangen yang nyenyenye
helm-helm basah, totebag musim panas,
serial tanggung & novel setengah jalan
juga tahu kalau tak ada suara selain
detak yang terkultuskan diam-diam
kau & aku mau menunggunya, sekali lagi
dengan buku membuka halaman baru,
film yang menuju sad ending:
lama, tak ada yang bersuara
tapi kita saling mendengarkan
“kita simpan di mana penantian
& kepercayaan yang lembab ini?”
—
lamat, bunyi merambat
sunyi yang nyaring sekali
mungkin serupa jeritan panjang
di lorong kerinduan seseorang
(Yogyakarta, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA