Musim Perang dan Puisi Lainnya

Lugas Ikhtiar

1 min read

Selagi Ibu di Luar Jangkauan

bila malam sudah jadi
kita akan membuat pagi
di mana hangat bermula
& hulu setiup udara

kau menasibkan kita
sebagai lecet pada lutut
seorang bocah belajar sepeda

sementara pelukan di tengah hujan
semacam plaster pada luka yang basah

kita takut membayangkannya terlepas
tapi diam-diam merencanakan
tangis paling aduh sedunia

penyair yang miskin bahasa
dalam dirimu selalu bicara:
“sebaiknya kita mencintai
malam ini saja dengan sederhana”

tapi kita hanya dua bocah sandiwara
yang selalu lupa pernah terluka:
“maka peluklah aku selagi pintu
tak terjangkau ketuk telunjuk ibu”

(Yogyakarta, 2022)

Musim Perang

di kamar, kau saksikan angin nihil
setarik napas yang tumpas
tak menemukan bau
musim perang

sebab segalanya telah pecah berserak
hanya puing bantal mengendapkan
aroma rambutmu yang gugur

ke mana kita mencari telinga
yang pernah merekam penjajahan
saat tubuhmu menyediakan kemerdekaan?

rasanya
kita kehilangan bahasa yang tajam
untuk menusukkan kerinduan

(Yogyakarta, 2022)

Kepada Tak Siapa pun

dalam dirimu
identitas meretas
algoritma surga

nabi-nabi
telah meminjami
gamis & peci juga sepasang
mata pecinta yang basah & pasrah

tubuhmu menjelma kertas
& maut laiknya penyair miskin
yang selalu mau menerimamu

tapi api
dalam kepalamu
hanya menyisakan
abu dirimu yang liyan

kepada tak siapa pun
kau telah nihil
berpulang gigil & bugil

(Yogyakarta, 2022)

ISPA

mengambang juga
sisa udara
lenguh pada trakea
sebut saja
semacam ispa
yang lepas
menjadi napas

di sana
seperisapan
tak berarti apa-apa
kecuali setengah batang
—singkat waktu kaubutuhkan
untuk muncul kemudian hilang

(Yogyakarta, 2022)

Pada Suatu Gema Kereta
—shafira

Ah, kau mungkin salah dengar & telingamu
isinya cuma kangen-kangen yang nyenyenye

helm-helm basah, totebag musim panas,
serial tanggung & novel setengah jalan
juga tahu kalau tak ada suara selain
detak yang terkultuskan diam-diam

kau & aku mau menunggunya, sekali lagi
dengan buku membuka halaman baru,
film yang menuju sad ending:

lama, tak ada yang bersuara
tapi kita saling mendengarkan

“kita simpan di mana penantian
& kepercayaan yang lembab ini?”

lamat, bunyi merambat
sunyi yang nyaring sekali
mungkin serupa jeritan panjang
di lorong kerinduan seseorang

(Yogyakarta, 2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Lugas Ikhtiar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email