Museum Le Mayeur: Bukti Cinta Sang Pelukis atau Sekadar Objek Estetis

Mina Megawati

4 min read

Le Mayeur, nama pelukis yang kemudian diabadikan menjadi nama museum di Sanur, Bali. Laki-laki berdarah Belgia bernama lengkap Andrien Jean Le Mayeur De Merpres itu kali pertama menjejaki Bali pada tahun 1932, demi mencari inspirasi lukisannya.

Perjumpaannya dengan seorang penari legong asal desa Kelandis, Denpasar, bernama Ni Pollok memantik ide untuk kemudian menjadikan perempuan muda itu sebagai model lukisnya. Tak hanya sebatas sebagai model, Le Mayeur pun kemudian meminang Ni Pollok di tahun 1935. Mereka hidup bak pasangan seniman, Le Mayeur pelukis, dan istrinya Ni Pollok jadi model abadi di lukisannya.

 

Tentang Anak dan Keturunan

Kali pertama mengunjungi Museum Le Mayeur Juni 2022 lalu, ada rasa miris di diri saya melihat kondisi museum berusia 90 tahun itu. Bau apek bercampur debu tipis terhidu siapa pun yang masuk ke ruang pajang lukisan tepat di depan pohon kamboja yang juga seusia dengan museum itu.

Bingkai lukisan yang mulai memudar, lantai penuh debu, dan aroma tak sedap jadi sajian tambahan saat ingin menikmati hasil coretan tangan Le Mayeur.

Saya sempat berpikir, apakah kondisi ini karena usia? Tak terawat karena pandemi? Atau mungkin karena Le Mayeur dan Ni Pollok tak punya keturunan?

Tak ada anak, cucu, atau cicit yang peduli akan kondisi tempat yang menyimpan banyak sejarah dan kisah hidup keduanya membuat kondisi museum makin tak terawat.

Sejak menjadi model lukis suaminya, Ni Pollok diminta tetap menjaga kebugaran fisik, kemolekan tubuh, kesegaran wajahnya. Bagi Le Mayeur, memiliki anak hanya akan menambah beban. Ni Pollok tak akan punya waktu lagi untuk menjadi model lukis, wajahnya akan menjadi lelah, lusuh, kuyuh, akibat begadang menunggui anak. Belum lagi bentuk payudara yang mengundur karena hamil dan menyusui.

Berkali-kali Ni Pollok ingin mendobrak batas yang dibuat suaminya, namun dia tak berdaya. Dalam budaya patriarki yang dianut, jika perempuan Bali sudah menikah maka dia sepenuhnya milik suami dan mau tak mau harus menuruti kemauan sang lelaki.

Ni Pollok, Dalam Lingkar Patriarki

Alfred Adler, seorang psikolog dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan menyebutkan bahwa dalam masyarakat patriarkal, gender menjadi varibel yang signifikan dalam membentuk inferioritas perempuan. Perempuan dan laki-laki sebenarnya sama-sama lahir dalam kondisi tidak berdaya, dan tiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya akan berusaha mengatasi ketidakberdayaan ini. Namun bedanya, kepada perempuan, masyarakat patriarkal tidak memberikan dukungan melainkan semakin membuat perempuan tidak berdaya dengan praktik-praktik yang diskriminatif dan merendahkan. Perempuan tidak diberi kesempatan untuk bertumbuh.

Cerita ini mugkin akan jadi berbeda jika keinginan untuk tidak memiliki anak (childfree) datang dari kesepakatan mereka berdua. Mungkin bisa saja dibuat semacam perjanjian pranikah yang membuat kedua belah pihak tahu bagaimana kemudian mereka akan menjalani biduk rumah tangganya tanpa kehadiran seorang anak.

Terpaut usia 37 tahun antara keduanya menyempitkan ruang gerak Ni Pollok yang kala dipinang usianya baru menginjak 18 tahun. Muda belia dan lugu. Mana mungkin terpikir hal-hal tentang perjanjian pranikah atau menikah tanpa keturunan?

Ni Pollok, Representasi Objek Estetis

Mona Chollet seorang Jurnalis dan Penulis asal Swiss melihat bahwa perempuan telah mereduksi dirinya pada penampilan fisik dan mengorporasikan ini sebagai bagian dari dirinya. Perempuan tidak menyadari bahwa nilai-nilai yang ia yakini adalah hasil konstruksi budaya misoginis yang masih terus mengalihkan perempuan agar tidak menjadi makhluk intelektual, untuk tetap selalu dalam posisi objek estetis semata.

Ni Pollok, dari Sisi Feminisme

Sebagai individu yang bebas dan merdeka, tentu Ni Pollok punya hak memilih mengikuti kehendak suami dengan menyetujui pernikahan tanpa anak atau sebaliknya. Karena dia tak lantas menjadi sejahtera, bahagia lahir dan batin hanya karena keharusan memenuhi standarisasi kesempurnaan perempuan yang ditetapkan masyarakat. Seperti menikah, hamil, dan punya anak. Namun, berbagai penelitian menunjukkan kecantikan tidak membuat seseorang lantas menjadi bahagia. Saat memasuki perkawinan tingkat kesejahteraan perempuan malah berkurang.

Tubuh perempuan bersifat potongan estetik: bagaimana bentuk payudara, kaki, tubuh, wajah, dan bagian lainnya.

Penulis, peneliti, yang juga professor yang memimpin Divisi Kesetaraan dan Kebebasan di Universitas Reims Champagne-Ardenne (Prancis), Camille Froidevaux-Metterie melihat tubuh dan kecantikan perempuan dengan pendekatan feminisme fenomenologis. Ia melihat dari sudut egalitaris. Tampaknya lebih condong pada feminisme diferensialis. Penelusuran perempuan akan kecantikannya (upaya untuk menjadi cantik) dengan demikian harus dapat dipahami sebagai upaya penyelarasan dengan diri. Perspektif ini akan membantu kita melihat tubuh perempuan dalam ruang lingkup ontologis dan mengantarkan kita untuk melihat kontribusi kecantikan terhadap pembentukan diri perempuan.

Ni Pollok dan Mitos Kesempurnaan

Seorang psikiater dan psikoanalisis, Clara Thompson menegaskan bahwa masyarakat patriarkis telah membuat perempuan frustrasi dengan menghambat pemenuhan dorongan-dorongannya. Perempuan tidak diberi kesempatan untuk tumbuh. Tidak heran jika akhirnya harga diri perempuan menjadi rendah.

Frustrasi perempuan terjadi tidak hanya karena perempuan tidak diberi kesempatan untuk bertumbuh, tetapi juga karena masyarakat telah menancapkan sebuah mitos dalam diri perempuan yang dinamakan mitos kesempurnaan.

Masyarakat menetapkan definisi perempuan, standar ideal feminitas yang harus dipenuhi perempuan: karakter-karakter fisik dan psikologis, termasuk di dalamnya adalah sikap dan perilaku yang harus dimiliki dan ditampilkan seorang perempuan. Disadari atau tidak, perempuan berusaha mengikuti standar tersebut untuk menjadi “normal”, untuk menjadi sempurna dengan memenuhi tuntutan-tuntutan yang sesungguhnya tidak realistis.

Standar feminitas yang paling tampak adalah dari penampilan fisik. Bahwa untuk dianggap feminin, perempuan harus cantik, dengan kriteria kecantikan yang lagi-lagi ditentukan masyarakat. Dibarengi dengan penilaian konstan terhadap sikap dan perilaku perempuan. Kita mengenal stereotip dan pelabelan seperti perawan tua, janda, sudah bukan perawan, ibu yang baik, perempuan baik-baik, dst.

Ini memengaruhi perempuan untuk menjadikan tubuh dan kecantikan sebagai aspek penting untuk membangun harga diri. Gambaran suram kondisi mental perempuan merupakan akibat dari perempuan terjebak mitos kesempurnaan yang diciptakan masyarakat. Dalam upaya menjadi sempurna, mencapai ideal masyarakat, perempuan menjadi neurotik.

Penemuan Diri dan Reinterprestasi

Apakah Ni Pollok terikat hubungan toksik dengan suaminya?

Psikolog dan akademisi Amerika, Carol D. Ryff menjabarkan penemuan diri akan membantu perempuan keluar dari kekerasan, dari hubungan toksik, kegagalan berulang, dan tidak kembali terperangkap dalam relasi semacam itu di masa yang akan datang.

Reinterpretasi ini akan membantu perempuan untuk menciptakan diri yang ‘baru’ yang bebas dari kompleks-kompleks kecantikan, keperawanan, dan kompleks lain yang bersifat individual, bergantung dari pengalaman masing-masing perempuan.

Diri yang baru ini adalah diri yang kini percaya akan dirinya dan punya pandangan serta nilai-nilainya sendiri. Diri yang baru ini siap untuk menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, yang penuh empati dan kepedulian, dengan tidak mengorbankan eksistensi diri dan tidak kehilangan cinta akan dirinya.

Yang utama adalah diri yang baru ini mampu mengambil keputusan sendiri dalam hidupnya, menentukan arah dan tujuan hidupnya, pun mampu mengidentifikasikan dirinya sendiri. Ia tidak dioperasi dan didominasi oleh masyarakat yang sakit, tidak ikut-ikutan sakit, tetapi justru mampu mengambil alih penguasaan masyarakat yang sakit ini atas dirinya, menjadi pemilik atas dirinya sendiri. Diri yang baru ini mampu memutuskan cara terbaik untuk dapat menjadi sejahtera tanpa mengikatkan diri pada tuntutan masyarakat. Ia paham bukan masyarakat yang mengarahkan hidupnya melainkan dirinya sendiri.

Perempuan dapat mendekonstruksi dan merekonstruksi feminitasnya, tidak lagi mengikuti ideal masyarakat. Ia tidak lagi terkungkung oleh mitos kesempurnaan. Ia dapat mendefinisikan dirinya sendiri.

Andai Ni Pollok Itu Seperti Kartini

Ni Pollok hanya segelintir contoh perempuan dalam lingkup patriarki. Andai dia memiliki kemampuan koresponden laiknya Kartini, mungkin kisah hidupnya bisa kita dapati secara lebih baik. Meski dalam kungkungan budaya dan dominasi laki-laki, Kartini masih mampu menyuarakan kondisinya yang kemudian membuat perempuan era ini menjadi tahu bagaimana ia hidup di masanya.

Tentu tak bisa membandingkan keduanya. Latar keluarga dan kebisaan berbeda akan menghasilkan kepribadian yang berbeda pula. Ni Pollok dan Kartini adalah dua individu yang berbeda, namun mereka sama-sama berjuang di antara lingkup patriarki.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Mina Megawati

8 Replies to “Museum Le Mayeur: Bukti Cinta Sang Pelukis atau Sekadar…”

  1. Tulisannya bagus, rapi, terstruktur, dan tentunya penuh riset. Semangat teruskan Mbak!

    Di Bali itu banyak ya museum yang namanya ‘asing’ karena dibangun oleh orang2 asing atau orang2 asing itu yang menghasilkan karya seni di Bali.. Dan aku sendiri sangsi bagaimana museum ini akan terus eksis sementara dari dinas pariwisata kurang merawatnya.. serba dilema sih, kalau harga tiket dinaikkan siapa yang mau datang ya.. udah kalah saing sama tempat2 yang hanya mengandalkan spot foto tanpa ada edukasinya..

  2. Mantap Mb, informasinya lengkap, risetnya bagus. Sampai saat ini pun saya yakin masih ada Ni Pollok lain yang juga memiliki kondisi yang sama dalam keluarganya. Semoga perempuan Indonesia bisa tumbuh dan bangkit seperti pada umumnya.

  3. Tulisannya lengkap banget, mbaa, pasti risetnya keren nih… aku suka ke museum dan suka prihatin kalo ada museum yang engga terurus. Padahal dari museum, kita bisa belajar banyak hal ya baik itu isi museumnya ataupun sejarahnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email