Museum Kesedihan

Hadiwinata

3 min read

Pada Mulanya adalah Grindr 

Sesosok manusia bernama kamu

mengirim pesan teks

berisi salam perkenalan. Selanjutnya

pertanyaan & pernyataan

basa-basi singkat &

rundingan jadwal bertemu.

Pada mulanya adalah grindr

hanya grindr.

Lalu kau datang dengan kereta itu

menepi di bawah pokok-pokok sunyi

yang memandang dalam

diam musim semi.

Kemudian kau turun dan membawaku

ke satu kehidupan baru.

 

Palem Raya, 2020

 

Tamasya

Ada sebuah lanskap

kota J namanya.

Ada sebuah masa

tahun X zamannya.

Ada sebuah hari

hari F sebutannya.

Ada sebuah pertemuan

kita berdua yang menentukannya.

Pada sebuah kafe S yang cantik lagi mahal

kau berkisah tentang hidupmu yang sunyi.

Pada regukkan kopi yang kesekian

kuceritakan tentang hidupku yang sepi.

Seketika waktu jadi tali

dan kita mengulurnya lagi.

Diulang-ulang terus-menerus

tiada habis.

Bagaikan jalan-jalan yang kita lalui

dan tak berujung.

Yang menghidangkan pintu-pintu menuju kisah-kisah baru

kita bertamasya tanpa henti.

Detik menjadi menit

menit menjelma jam.

Dan matahari kemudian terbenam

tetapi kita masih bersama.

Tiba-tiba terperangah

sebab telah berjumpa.

 

Palem Raya, 2020

 

Pick Up

Di saban malam

sesosok kamu datang mengunjungiku

kau memarkir keretamu di tepi jalan

 

dan aku seketika masuk.

Air mukamu damai sekaligus kecut di balik kemudi

melontarkan obrolan hangat dan ringan

 

sembari bertanya tentang menu makan malam.

Kemudian kita berangkat

meninggalkan daun-daun gugur

 

nasihat purba ibu-bapak

agama, budaya, dan barangkali

dosa-dosa yang tercecer.

 

Pipa, 2021

 

Ketika Aku Menemukan Kau 

Ketika aku menemukan kau

(sosok yang kucari-cari di dalam mal

pasar tradisional, kantor pemerintahan

taman kota, stasiun-stasiun, pelabuhan

bandara, tepian pantai, aliran sungai,

di saban waktu, tiada henti, susuri tahun demi tahun):

segala terasa berharga dan bermakna.

 

Ketika aku menemukan kau:

di saban hari, aku bangun pagi dan berangkat kerja

dan mengharap waktu laju berlalu untuk pulang

dan bertemu kau lagi.

 

Ketika aku menemukan kau:

aku berdoa kepada Tuhan yang romantis:

waktu boleh saja berlalu, daun-daun boleh berguguran

tetapi tidak dengan usia kita.

 

Ketika aku menemukan kau:

segala mimpi perlahan minggat atau mati

atau luruh atau tanggal satu per satu

kecuali hidup bahagia bersama kau

mengayuh sampan kehidupan, berdua

menuju pelabuhan di balik bulat rembulan.

 

Palem Raya, 2021

 

Hujan Sederas Kangen 

Hujan sederas kangen

mengguyur atap rumahkku bertalu-talu

seolah kenangan mengetuk pintu

menggigilkan tubuhku

yang terlelap kesepian.

 

Hujan sederas kangen

mengenangkan aku pada

legit senyumanmu

ketika kita bercengkerama

di atas putih pasir pantai

yang menghadap Laut China Selatan.

Kamu bersandar ke nyiur pokok kelapa

sementara aku terbaring bahagia

pada kedua indah pahamu.

 

Palem Raya, 2021

 

Sajak Desember

Desember yang beku

jalanan basah

reranting pada pepohonan

tepi jalan seolah menggigil

menyanyikan lagu sepi

mencipta sepia

menghadirkan episode-episode

kenangan manis

pada hati yang berdetak

pada rindu

orang-orang berpayung

hitam di jalanan

atau yang termangu

ditampar sunyi

pada mobil-mobil murung

yang melaju dengan gamang.

Selamat malam.

Aku ucapkan jua kalimat itu

selepas gagal membaca cuaca

selepas hati tergugu sendirian

pada tungku.

 

Sajak-sajak turun dari langit

sebagai doa dan pengharapan

serupa keping-keping salju.

 

Mari pulang

gagang pintu

sudah sedingin hati.

 

Palem Raya, 2020

 

Biarkan Aku Mengajakmu Menepi  

Sekali lagi biarkan aku

mengajakmu menepi

jauh

melintasi kelok-kelok jalan yang lengang,

jembatan demi jembatan

tepian pantai,

di mana kompas kehilangan kewarasannya

dan tak seorang pun mampu menemukan

 

diri kita.

 

Sekali lagi kukatakan

jangan dulu mati, jangan

 

sekarang

 

Masih ada jalan-jalan yang belum kita susuri bersama

di utara sana.

 

Palemraya, 2020

 

Kelak

Kelak selepas mata kita tak lagi dapat saling menatap, terpisah oleh beribu kilometer jarak yang menyesakkan dada setiap kali kita terkenang hari ini, dengan cara apa kamu akan menyayangi diriku yang tinggal seberkas bayangan, yang tak wujud, yang tak lagi dapat kau ajak berbincang & kau peluk, yang pelan-pelan memudar tergerus waktu juga usiamu.

Kasihku, kelak setelah ingatanku pun hancur dan mengubah kenangan kita menjadi burung-burung yang beterbangan ke surga, barangkali hanya potret, secarik gambar usang yang kita ambil malam ini, yang bakal mengekalkan kenangan kita, diri kita.

 

Palem Raya, 2021

 

Pertanyaan

Apa yang pasti pada dunia

yang bahkan sama sekali tidak pasti?

Apa yang bisa menyenangkan

sedangkan segalanya hanyalah sementara?

Laut yang dalam barangkali hati kita

yang kesepian & menunggu.

Apa yang abadi

barangkali hanyalah cinta.

 

Palem Raya, 2021

 

Nota untuk Usia 22 Tahun 

Sebuah gurun

di mana musafar

mengembara

 

Sesudah itu

mata angin hirap

kedua tungkai ruruh

tangis-tangis habis

 

Palem Raya, 2021

 

Museum Kesedihan  

Manusia: museum kesedihan. Sudah berapa banyak koleksi dukamu? Dan kamu membawanya bepergian dari satu kota ke kota lain. Menyembunyikan tangis. Menggantinya dengan tawa.

Palem Raya, 2021

 

Sedalam-Dalam Sajak 

Sedalam-dalam sajak

takkan mampu menampung

air mata kerinduan

seorang kekasih.

 

Kata-kata telah lama mati

Terkubur bersama harapan

dan doa.

 

Kenangan pelan-pelan memudar

Cinta kasih pun hampir usai.

 

Apa

kabar

kau,

Masa lalu?

 

Tiada benarkah salam perpisahan itu?

 

Palem Raya, 2021

 

Kepada Ayah 

Q: “Ayahanda, kenapa aku melihat setan setiap kali aku bercermin?”

A: “Ketahuilah, anakku, semua orang memiliki borok. Dan oleh karena itu, mereka mengenakan topeng.”

 

Palem Raya, 2021

 

Natal

Bulan yang basah dan tak mengenakan jaket

memandang dirimu terdiam bersama kesepian.

Merry christmas, Nak, merry christmas!” ujar Bulan.

Tetapi kau bergeming, menatap pohon cemara dalam hening.

 

Dari ruang tengah, telepon rumah berteriak melengking-lengking.

Seperti kesunyian, seperti melankoli.

Namun kau abai, lalu masuk kamar,

menarik selimut, sebelum menangis.

 

Di luar hujan turun bertalu-talu.

menggantikan butir salju

menghajar atap

menerbitkan rindu.

Keping-keping kenangan.

 

I’m here, honey, alone and feeling cold.

Please come, hug me.”

 

Palem Raya, 2020

 

Sendok & Mata Pisau 

Dengan apakah kubandingkan perisahan kita, my love?

Dengan sepokok pohon di gurun

yang daunnya

jatuh

satu

demi

satu?

Atau seekor burung kecil

yang nyungsep

sebab sayapnya patah

di sebuah tempat tak bernama?

 

Barangkali hanya foto + sebuah sajak:

teman malam panjang nan sepi di musim ini.

Sementara Whatsapp

bertelepon tatap muka

kurasakan seperti ujung sendok

sekaligus mata pisau.

 

Palem Raya, 2020

Hadiwinata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email