Di tengah pandemi yang mempersempit ruang gerak masyarakat, negara kian mempersempit ruang kebebasan rakyat. Fakta adanya penyempitan ruang kebebasan, bisa kita lihat dari dihapusnya mural-mural kritik yang menghiasi tembok-tembok kota.
Suara kritik terhadap pemerintah yang tidak mampu menyusun kebijakan yang sesuai dengan keadaan, malah dianggap sebagai penghinaan dan ujaran kebencian untuk membungkam pihak-pihak yang hendak mendeskripsikan realitas sosial.
Di dalam sejarah panjang Republik ini, kebebasan adalah tujuan dari perjuangan. Baik itu dalam memperjuangkan revolusi kemerdekaan maupun reformasi yang menghasilkan demokrasi.
Kebebasan adalah sesuatu yang sangat diperlukan dalam membangun kehidupan bernegara dan kritik yang berasal dari bawah telah memberi arti bahwa keadilan sosial tidak sampai ke bawah. Kritik yang datang dari bawah itu juga merupakan usaha untuk menghilangkan noise dengan menghadirkan voice. Demi apa? Demi menjalankan demokrasi dan menghangatkan kehidupan bernegara.
Sayangnya, justru kritik tidak dijadikan oleh pemerintah sebagai bahan untuk mengevaluasi kinerja dan kebijakan yang keliru. Sebalinya, yang muncul dari orang-orang pemerintahan adalah pernyataan yang menyatakan bahwa kritik itu adalah penghinaan dan ujaran kebencian.
Apakah mereka patut dianggap sebagai “liberal kiri” yang selalu mendambakan kebebasan dan berlindung di balik ‘Liberalism of right’? Saya kira tidak dan bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi stagnan atau hanya sekadar menjadi sila dasar negara tanpa ada implementasi dan tindakan nyata untuk menghadirkannya. Hal tersebut pula yang menunjukkan bahwa orang-orang pemerintahan saat ini tidak memiliki ‘Political-Will’ yang menjadi syarat utama untuk sampai pada tingkatan manusia politik.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan yang ada dan telah dikemukakan di atas, sudah jelas bahwa perlu ada upaya untuk mengaktifkan “Partisipasi Politik Wong-Cilik Demi Republik” dalam rangka menghidupkan kembali ‘Political-Will’. Agar partisipasi publik yang menjadi prinsip utama demokrasi bisa berjalan. Juga agar fungsi kontrol sosial terhadap pemerintahan yang berkuasa bisa maksimal.
Yang saat ini terlihat adalah kebebasan dan kekuasaan seolah sedang ‘vis a vis’ atau berhadap-hadapan. Hal tersebut justru menunjukkan bahwa pemerintah tidak menjalankan tindakan komunikatif kepada publik dengan baik. Akibatnya, segala kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak berbasis ide ‘citizenship’ yang mana kepentingan utama adalah kepentingan warga negara.
Pemerintah harus menjadikan kritik sebagai bahan evaluasi kinerja dan kebijakan yang telah disusun dan dilaksanakan. Bukan malah menganggap kritik sebagai sesuatu yang menghina. Apabila pikiran-pikiran tersebut masih terus digunakan oleh orang-orang pemerintahan, maka demokrasi hanya akan menjadi ajang kompetisi sekali lima tahun saja.
Demokrasi memiliki ambisi etis: dari, oleh, dan untuk rakyat. Maka sudah sangat sewajarnya jika kritik dipandang sebagai bentuk partisipasi publik. Terlebih ketika kritik itu berasal langsung dari bawah, dari mereka yang langsung merasakan dampak jika kebijakan politik yang disusun oleh pemerintah adalah kebijakan yang buruk.
Keadaan saat ini telah menunjukkan bahwa republik ini sedang terjerembab pada kondisi paradoksal ‘self-reference’. Akibat dari kondisi paradoksal terebut membuat warga negara tidak nyaman dalam menjalankan kehidupan bernegara. Adanya indikasi yang menunjukkan hal tersebut, memberi arti pada masyarakat kecil, jika politik yang kini sedang berjalan adalah politik yang mengandung pikiran-pikiran ‘pragmatisme’.
Para politisi, pejabat, dan semua elemen perlu memandang segala hal dari sisi yang lebih filosofis, agar menemukan kebijaksaan dalam rangka menjalankan kehidupan bernegara terlebih-lebih hal tersebut wajib dilakukan oleh pemerintah. Supaya republik ini tumbuh dengan pikiran bermutu, yang telah dilaksanakan oleh para pendiri bangsa, untuk mewujudkan kemerdekaan.
Hal pertama yang perlu dipandang dengan menggunakan metode filosofis adalah politik. Kendati politik saat ini terlihat buruk. Tetapi adanya keburukan tersebut adalah alasan untuk berpikir bagaimana cara mendudukkan kembali politik itu sebagai hal yang baik. Seperti filsuf Aristoteles yang menganggap politik itu adalah sesuatu yang mulia dan pekerjaan politik setara dengan seorang guru, karena mampu menunjukkan arah kehidupan yang lebih baik bagi para pengikutnya.
Hal filosofis seperti ini perlu untuk dijadikan sebagai pelajaran untuk para pekerja politik. Mengapa? Karena politik kini tidak bertumbuh melainkan membengkak. Untuk mengembalikan politik pada hakikatnya, maka hendaklah para pekerja politik menggunakan pemikiran filosfis sebagai metode dan kriterium dalam cara berpikir. Agar kebijakan yang dikeluarkan oleh para pekerja politik pun berjalan paralel dengan kehendak masyarakat.
Hal kedua yang perlu dipandang melalui metode filosfofis adalah ‘republik’. Mengapa demikian? Karena republik adalah hasil dari ‘Political-Will’. Dari para pendiri bangsa dan hal itu menunjukkan suatu kehendak politik yang sarat akan kebijaksanaan.
Di dalam karyanya yang berjudul ‘Republic’ Plato mengatakan bahwa keadilan adalah keselarasan antara akal budi, emosi, dan hasrat. Tentu apa yang diucapkan oleh Plato adalah sebuah angan-angan akan keindahan suatu negeri yaitu ‘Republik Utopis’. Jika kita mengacu pada konsep Plato, maka kita akan mudah menyimpulkan bahwa para pendiri bangsa pun bercita-cita mewujudkan ‘Republik Utopis’.
Hal yang serupa pernah diucapkan oleh Rocky Gerung dalam karyanya “Merawat Republik Dengan Akal Sehat” yang pernah ditayangkan di layar besar di Dewan Kesenian Jakarta. Ia mengucapkan bahwa ide republik adalah ide minimal untuk menghasilkan keadilan, kesetaraan, dan kemajemukan.
Prinsip-prinsip etis dalam menjalankan kehidupan bernegara perlu digaungkan ulang, karena ada fakta yang menunjukkan bahwa republik ini sedang tidak baik-baik saja.
Hal ketiga yang sekaligus terakhir dalam tulisan ini, hendaklah kita memandang kebebasan melalui metode yang lebih filosifis. Karena kebebasan adalah perjuangan menghasilkan keadilan. Di mana-mana dalam sejarah dunia, kebebasan yang mengacu pada keterbukaan pikiran selalu digunakan dalam upaya menghasilkan keadilan.
Karena hanya pada suasana kebebasan, percakapan antar warga negara mengenai masalah negeri ini, bisa diselenggarakan. Dan ide-ide dalam menciptakan ‘Dialektik der Aufklarung’ atau Dialektika pencerahan bisa diwujudkan.