Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Mulut yang Penuh Omong Kosong

Katarina Retno Triwidayati

3 min read

“Sudahlah, semua itu bakal ilang. Bakal jadi omong kosong. Macam janji politik yang disampaikan orang-orang yang ingin memperbaiki negeri ini,” katanya dengan penekanan berlebihan pada kata memperbaiki.

Aku menyeringai. Kuambil sebatang rokok dan menyalakannya. Dia menatapku, mungkin mau menyampaikan protes meski dia hanya diam saja.

“Kamu itu seperti orang yang ada di barisan sakit hati saja. Jangan picik gitu, ah,” kataku setelah mengembuskan asap rokok. Aku tahu persis dia tidak suka aku merokok. Terlebih tidak suka saat asap rokok kuembuskan ke arah wajahnya.

Dia tertawa sebentar, seperti tawa yang dipaksa-paksakan. Lalu tangannya meraih gelas berisi bir. Sebelum menandaskan isinya, dia sempat menyelipkan helai rambut bergelombang yang menjutai indah itu ke telinga kirinya.

“Anggap aja gitu. Mungkin aku emang ada di barisan sakit hati. Bahkan kurasa aku ada di barisan paling depan.”

“Kamu pemimpinnya,” kataku mengabaikan kecantikan yang kutangkap saat melihatnya dari samping. Dia terkekeh. Aku ikut terkekeh meski aku tidak tahu mengapa aku perlu melakukan itu.

Kurasa akhir-akhir ini aku melakukan banyak hal yang sekadar ikut-ikutan. Seolah aku merasa bisa dilihat jika berada di kerumunan. Pedahal, saat berada di kerumunan, aku malah jadi tampak seragam. Begitu template. Huh!

“Seriusan! Aku nggak nyaranin kamu resign sekarang. Kamu nggak punya pilihan lain selain bertahan kerja di situ. Lihat kamu! Menyedihkan betul kurasa. Cicilanmu banyak, hobi senang-senangmu menguras tabungan, kamu nggak punya side job dan tempat baru yang mau dituju. Kamu menghabiskan akhir pekan denganku dan tidak melakukan apapun yang bisa mengubah peradaban dunia,” katanya setelah kami terdiam beberapa saat.

Mengubah peradaban dunia? Untuk apa? Pertanyaan itu berhenti di pikiranku saja. Alih-alih menanyakannya, aku justru mengamati perempuan di sisiku yang kini sibuk membuka botol bir lagi.

Sayup-sayup aku mendengar suara Once Mekel menyanyikan lagu lawas Chrisye, Sabda Alam. Aku hendak meminta perempuan di sisiku itu untuk menjelaskan, tetapi kudengar dia bersenandung.

Suaranya tidak merdu. Tapi aku tak bisa bilang suaranya itu tak layak didengar sama sekali. Bagaimanapun juga setiap suara perempuan mestilah didengar, bukan? Ah, aku melantur. Kusandarkan kepala dan kusadari senyumku mengembang memikirkan perempuan itu.

“Kenapa?”

“Apanya?” tanyaku terkejut.

“Kamu. Kenapa senyum-senyum sendiri? Tiba-tiba lagi. Pekerjaan yang nggak ada habis-habisnya, ngerasa jadi buruh yang tak mendapat upah sepadan… itu semua nggak harus bikin kamu jadi gila kok.”

Aku tersenyum. Kadang aku suka pada pemikiran dan tebakan sok tahu akan hidupku. Rasanya senang sekali melihat tuhan-tuhan kecil bertebaran di sekitarku. Aku tidak menyangka perempuan itu menjadi tuhan kecil juga. Tapi tak apalah. Toh aku tak dirugikan dan tampaknya dia tengah banyak pikiran. Jadi aku hanya mengangkat alis dan tetap tersenyum.

“Aku udah ngerasain susahnya harus terus melakukan penelitian dan adanya tuntutan mempublikasikannya di jurnal-jurnal. Sementara tugas utama tetap mengajar. Ooo, masih ada kewajiban-kewajiban dan administrasi lain yang menguras waktu kita. Kita nggak lagi bisa tertawa dan bersua mahasiswa dengan gembira, memperlakukan ilmu pengetahuan dalam diskusi menyenangkan.”

“Mungkin caramu yang salah.”

“Mungkin. Tapi fakta kan kalau kita sibuk menjejali otak dengan teori, pada akhirnya, membuat kita berjarak dengan hidup yang kita jalani? Kita kayak dewa, nggak boleh melakukan kesalahan dan hal-hal bernuansa keduniawian atau terjerat mengikuti hasrat daging yang lemah. Kalau dipikir-pikir, apa yang kita dapat itu sepadan? Rasa-rasanya nggak juga. Tapi kita kan udah dengan sadar memilih jalan ini. Nggak ada pilihan lain selain menyelesaikan semua tanggung jawab dengan sebaik-baiknya, bukan?”

Aku mengangguk-angguk saja mendengar kalimat yang terkesan menasihati padahal sebenarnya curahan hatinya yang terdalam. Dia terus berbicara tentang tanggung jawab, kewajiban, dan semua hal yang memang kerap membuatku sesak napas tiba-tiba.

Kudengar dia pun menyinggung sekilas tentang intrik sesama buruh berdasi. Ehm, kuakui kaum kami ini sombong tak terkira-kira. Tak ingin dibilang buruh, pedahal ya aslinya buruh juga. Oke-oke, baiklah. Itu hanya oknum. Oknum.

“Kalau tempatmu bekerja bilang bahwa di sanalah rumahmu, kuberi tahu itu adalah omong kosong! Pada saat kamu akhirnya pergi, kamu akan hilang dari rumah itu. Tak seperti rumahmu yang asli, di mana saat kamu sesekali mudik dan masuk ke dalam kamar, kamu bisa menemukan kembali semua coretan dan kertas yang iseng kamu tempelkan di dinding. Tempat kerjamu lekas membersihkan semua itu, tak ada sisa. Seolah-olah kamu memang tidak pernah ada di sana. Tidak pernah ada.”

Aku merenunginya. Sejak perempuan itu memutuskan mengundurkan diri, tampaknya dia serupa kanak-kanak yang kecewa dan patah hati. Kata-katanya sinis dan tampak tidak berimbang.

“Tapi, di sana kamu pernah menambatkan hati, kan? Kamu pernah meninggalkan cinta di sana, pernah dengan segenap tenaga dan upaya ….”

“Halah, omong kosong!” Dia memutus kata-kataku.

“Lho, kan kamu sendiri yang selalu bilang bahwa pekerjaan akan sangat mudah dilakukan saat kamu membawa cintaaa ….” Aku mengucapkan kata cinta dengan nada berlebihan, lengkap dengan ekspresi yang pasti menyebalkan. Perempuan itu memukul bahuku dan tertawa malu.

“Ish, bener kan? Katamu cinta mengubah segalanya, membuat yang berat jadi ringan. Cintaaa ….” Aku tak bisa meneruskan kata-kataku. Perempuan itu memukulku lagi, mukanya bersemu merah. Aduh sialan, kok jadi cantik begitu?

“Nggaaak! Nggak ada itu cinta-cintaan begitu,” katanya membuatku kembali sadar. Dia meletakkan gelas bir yang kembali kosong untuk kesekian kalinya.

“Di akhir perjalanan kamu sendirian.”

“Sendiri itu kan kesejatian to?” tanyaku. Pertanyaan yang sebenarnya membuatku bingung sendiri apa gunanya kuajukan.

Dia mengangguk meski kulihat tak sungguh-sungguh mengiyakan. “Ya, pada akhirnya kita semua sampai pada kesejatian itu. Sendirian. Nggak punya kawan ….”

“Kamu aja yang terlalu menutup diri. Keputusan buat resign itu kan sudah kamu pikirkan. Segala risiko dan cara yang mau kamu jalani untuk mengatasinya. Jangan bilang kamu menyesali itu. Lagipula tidak berarti kamu kehilangan teman, kok. Setidaknya aku masih di sini, masih membual bersamamu di tiap akhir pekan ….”

Dia menatapku. Sayu. “Kenapa kamu masih mau membual bersamaku di tiap akhir pekan?”

“Karena aku sayang kamu.” Kata-kata itu meluncur begitu cepat membuatku ingin mengutuk mulut penuh omong kosong ini.

Dia terbelalak. Aku mematikan rokok dengan gugup dan lekas mengoreksi pernyataanku.

“Ngg, yaa karena itu membuatku kembali menjadi manusia setelah Senin sampai Jumat aku ….” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Mataku terperangkap pada matanya yang sepertinya berkabut. Wajahnya memerah, dan kunilai rambut bergelombangnya benar-benar indah.

Aku takut berpikir. Di film-film, ketidaksadaran akan membikin tubuh tokoh mendekat dan mencium bibir tokoh di sebelahnya. Aku berencana memukul kepalaku sendiri untuk pikiran atau keinginan yang melintas itu.

Rencana tinggallah rencana. Bibir merah dan basah oleh bir itu menempel ragu di bibirku. Lalu kusadari mulutku yang semula penuh omong kosong telah penuh semangat melumat bibir berasa manis itu. Sialan betul!

*****

Editor: Moch Aldy MA

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email