MOGA IBU TAK BERMATA DANAU
Sebelah selatan, adalah bibir yang luka
Dan timur, adalah cinta konyol
Menguyup kasih yang cedera
Berlari kau, berlari yang tolol
Sudut terpencil akan niscaya matamu
Istilah-istilah terakhir akan kasih sayang
Bebungaan yang kau rawat melulu
Tak semerbak dan menjengkelkan
Mengkhianati batin yang memuai banal
Dan wajah-wajahmu tak dikenal
Aku tak mau matamu menjadi danau
Atau seluruh jagad raya
Kau juga tidak harus beranak dan bercokol lagi dengannya
Ia yang kusapa bapak, namun bukan seorang lelaki seutuhnya.
DEWASA INI, DEWASA
Kau lahir dari ketepatan yang janggal
Sepersen cinta ditawarkan, dan nasib buruk
Dahimu yang mekar, seumpama buah dada yang kau ketuk
Lalu menguar sempurna, selimut kata-kata
Bertengger kehidupan yang benar-benar lain, malapetaka
Mata kalah, hidung remuk, bibir kelabu, dan sia-sia
Menemu ketiadaan, kasih-sayang terbenam-pulas
Adalah aneh, serupa epos yang mustahil tuntas
Sehingga, kau terbiasa bersembunyi, dan kedinginan
Kali ini kau adalah kehilangan
Tersisa, bantaran kali doa
Yang mendikte,
Pagi bahagia, siang bahagia, malam bahagia
Menolak berjodoh akan kematian
BERSEMBUNYI HARI INI
Kau adalah bongkah kecemasan buta
Terjerembab rapat-rapat di dada
Dan perjamuan adalah esok
Air tergelincir, tulang pipi mengelabu
Segelas kenang-kenangan kelu
Yang tersisa pilon dan aku
Impian di kremasi menemu abu
Api mancur, menjalar di kayu-kayu
Melalap sebagianmu
Sarapan, makan siang, makan malam
Senduk-garpu mengabu
Wajah-wajah yang meleleh
Mimpi-mimpi yang menoleh
Membasi, busuk bersamamu
Jasad dan cintamu telah tua
Impian-impian terseok-terluka
Dan kau masih saja bersembunyi,
Pada hari ini
KUSEBUT SAJA KAU BISU YANG CEREWET
Aku tahu, nak
Matamu yang jengkol semur itu
Menekur, nelangsa, dan mengemis
Pertolongan segera, berupa nasi yang nanak
Mengisi-luruh perutmu yang tercerai-berai
Melangkahimu, mulut koyak-moyak
Aku-kau adalah kesedihan, nak
Kau sungguh bisu yang ramai
Ketika kau berdekat-dekatan
Kau menebus kasih terdalamku pada surai
Langit yang memerak, dan derita kering
Tetapi, sekarang aku bisa apa
Aku hanyalah sepotong jasad
Yang kau hantar seminggu lalu
PEREMPUAN BIRU
Aku membenci petang dan semaraknya
Rona mencelup kepalsuan, sejarah-muram seratus kali
Mengantongiku seperti tubuhku miliknya
Ke penghabisan yang sama, tak ada cinta sama sekali
Biru mencolok dan awan itu
Bantalan yang terang, menaklukkan kedukaan
Sisa-sisa sarapan dan nasihat ibu
Tali sepatu yang teruntai, ayah yang menyimpul
Taman bermain, dan kaca-kaca
Akulah perempuan biru saat-saat itu
Dan cinta sama sekali
Pulang ke rumah sehabis hari bernanah
Burung gereja, ode-ode membuyar
Rok robek, paha moyak, dan biru yang lain
Nafas tersengal-sengal dan ketakutan
Kematian adalah perayaan, hidup adalah kebencian
Aku di tepian, menatap tubuhku yang bukan tubuh lagi
Perempuan biru hilang sekejap mata
Salam kenal, Zaky. Saya pertama kali mengenal Bundamu saat beliau menjadi instruktur K-13 di Wisma Hijau, Depok. Bundamu orang hebat. Saya mengagumi karya-karya Bundamu. (Ini prolog, ya, Zak.).
Tentang puisimu: diksinya bernas dan kuat. Saya suka (puisimu, juga novelmu).Teruslah mengasah diri dengan berkarya, Zaky. Semoga Allah selalu memberkahimu dengan ketaatan, kesehatan, dan kebaikan dunia-akhirat. Aamiin.