Penulis lepas, terlepas dari apa saja. Masih suka bingung mau nulis apa dan bagaimana.

Misteri Abadi dalam Sci-Fi

Dani Alifian

2 min read

Benarkah fiksi ilmiah (sci-fi) hanya angan-angan pengarang novel atau sutradara? Atau jangan-jangan mereka menabung investasi jangka panjang pada kejadian di masa mendatang? 

Baca juga: Berbondong-bondong Menuju Metaverse

Saya gemar sci-fi sebab menawarkan kejadian futuristik. Utopia dan distopia berkaitan dengan sifat dari film sci-fi itu sendiri. Utopia, saya artikan khayalan futuristik akan kejadian sempurna yang begitu didambakan. Sebaliknya, distopia adalah khayalan, di mana segala sesuatu yang terjadi sangat buruk atau tidak menyenangkan. 

Masa depan bagi saya adalah teka-teki, misteri, dan sesuatu yang bersifat misteri selalu menarik untuk diperkirakan. Termasuk apa yang akan terjadi hari esok, saya selalu tertarik untuk memikirkan atau merencanakannya. Kadang bisa jadi berbeda, kadang di beberapa kesempatan itu benar terjadi sesuai rencana.

Film yang membahas masa depan aka sci-fi terbaru yang saya  tonton berjudul The Adam Project ditayangkan melalui platform Netflix dengan pemeran utama Ryan Reynolds. Adam (Ryan Reynolds) berjumpa dengan Adam di masa kecil. Adam tua melakukan perjalanan waktu demi menyelamatkan bumi dari manipulasi di masa mendatang. 

Saya juga menonton Moonfall. Film ini kebetulan saya tonton di bioskop, pada pertengahan Februari lalu. Sesuai dengan judul, Moonfall adalah kisah distopia tentang bencana besar yang terjadi akibat bumi bertabrakan dengan bulan. Tentu saja, saya tidak ketinggalan menonton Dune yang dengan gemilang menyabet 6 kategori Piala Oscar sekaligus. 

Untuk novel sci-fi, saya teringat pada Mesin Waktu gubahan HG Wells dan Gempa Waktu karangan Kurt Vonnegut.  Gempa Waktu menghadirkan hidup di masa depan sulit yang untuk diimpikan. Saya selalu membayangkan akan hidup bertahan-tahun mendatang, hingga beranjak pada keturunan entah ke berapa.

Sementara H.G Wells lewat Mesin Waktu mengajak pembaca sejenak berpikir soal waktu. Ruang mungkin saja bisa kita datangi secara berulang dalam beberapa kesempatan, tapi waktu? Sayangnya waktu tidak bisa kembali. Kecuali dalam film dengan pengisahan tentang ‘mesin waktu’ macam End Game, Tenet, atau The Matrix dan terbaru ada The Adam Project.

Satu hal benang merah dari sehimpun film dan dua novel yang saya baca itu, soal waktu dan metaverse. Meramal hidup di masa depan (baca: waktu) saya kira kita bisa belajar dari film atau kisah dalam film sci-fi.

Metaverse dan Waktu

Sejenak, waktu itu seperti kereta snowpiercer, film Bong Joon Oh yang mengisahkan masa depan kehancuran bumi. Manusia yang tersisa akan hidup dalam 1001 gerbong dengan pembagian kelas. Kelas satu, hingga kelas terbawah yang berada di bagian ekor kereta. Mereka dipisahkan berdasarkan strata sosial dan kekayaan. Waktu terus berdetak, tidak berhenti barang sejenak.

Soal metaverse -bisa jadi, salah satunya lewat film sci-fi yang memakai teknologi canggih yang seperti pergi ke masa depan dengan teknologi yang luar biasa. Film Blade Runner, atau Free Guy yang diperankan Ryan Reynolds juga bisa jadi acuan. 

Dunia berkembang, metaverse bukan lagi soal sci-fi saja, namun memang sudah ada di kehidupan nyata. Bagusnya lagi, tidak perlu berpuluh tahun ke masa mendatang seperti yang diperkirakan Blade Runner 2049, mateverse kini sudah ada di sekitar.

Metaverse juga erat kaitannya dengan kemajuan internet dan kehidupan virtual yang semakin sering kita alami, terutama semenjak adanya pandemi. Hal ini pun dapat dihubungkan dengan cryptocurrency terutama dengan token non-fungible (NFT) yang kini sedang naik daun.

Metaverse diartikan sebagai ruang bersama virtual yang diciptakan oleh konvergensi realitas fisik yang ditingkatkan secara virtual, internet, dan augmented. Kecenderungannya terdapat pada video game populer seperti Roblox, Fortnite, dan Animal Crossing

Metaverse pertama kali hadir dalam novel Snow Crash, fiksi ilmiah gubahan Neal Stephenson pada tahun 1992 . Saat itu ada sepasang pengemudi melakukan perjalanan metaverse untuk menyelamatkan diri dari distopia kapitalis.

Meski tak ada yang tahu pasti seperti apa metaverse itu sendiri, namun karakteristik dasar soal itu telah ditetapkan. Metaverse kini mencakup dunia nyata atau fisik dan virtual 3D, berpusat di sekitar ekonomi yang berfungsi penuh, dan memungkinkan pengguna untuk melakukan perjalanan melalui “tempat” yang berbeda dengan relatif mudah, juga mempertahankan avatar dan barang yang mereka beli.

Saya pikir, sutradara dan penulis novel memang punya kemampuan serupa peramal. Film-film dan novel sudah banyak mengilhami dunia nyata. Beberapa film itu hanya sedikit dari banyak film yang diciptakan untuk membuat manusia lain bermimpi.

Berangkat ke masa depan memang masih misteri, sesuatu yang misteri selalu menarik bagi setiap orang untuk mencari tahu. Entah masa depan itu berbuah kesemenjanaan atau sebaliknya, kehancuran. Bagi saya, film dan novel sci-fi adalah aset, manifestasi panjang manusia untuk senantiasa meramal masa depan.

Dani Alifian
Dani Alifian Penulis lepas, terlepas dari apa saja. Masih suka bingung mau nulis apa dan bagaimana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email