Ada banyak keanehan yang dianggap normal dalam pelajaran sains, khususnya biologi, di Indonesia. Mulai dari guru yang memasukkan pelajaran agama pada sesi bab evolusi, sampai dengan pemisahan jam pelajaran antara siswa dan siswi di pelajaran reproduksi pada saat sekolah dasar.
Di luar keanehan dalam proses pengajaran tersebut, sains masih mengandung banyak hal bermasalah. Sains yang disampaikan baik lewat lisan dan tulisan (teks) punya potensi bias, khususnya bias gender. Karena itu, teks sains juga rawan akan stereotipe gender dan narasi misoginistik.
Salah satu ilmuwan antropologis dan feminis yang meneliti bagaimana bias gender di dalam buku pelajaran sains adalah Emily Martin, dari New York University. Dalam salah satu jurnal artikelnya yang banyak dikutip, Ia menemukan berbagai metafora misoginis dalam buku teks kedokteran dan pre-med yang jamak dipakai di Amerika Serikat.
Temuan Emily Martin ini menarik sebab bagaimana pun teks yang ia bongkar sudah diterima umum sebagai kebenaran. Penelitian Martin menunjukkan bagaimana metafora yang ditulis di dalam buku pelajaran biologi mencerminkan konstruksi sosial yang mapan. Singkatnya, proses biologis perempuan tidak terlalu bernilai dibanding laki-laki. Bahkan, perempuan pada akhirnya dianggap tidak berharga dibanding laki-laki.
Ini terlihat pada penjelasan mengenai berbagai proses dan karakter reproduksi baik laki-laki maupun perempuan yang ditafsirkan berbeda. Secara berlebihan, siklus perempuan dilihat sebagai mesin produktif, dan karenanya menstruasi adalah produk gagal yang berisi sampah atau kotoran. Menstruasi dianggap aktivitas yang sia-sia karena tidak menghasilkan apapun.
Sementara itu, siklus produksi pria ditafsirkan berbeda. Dalam salah buku satu teks yang Martin kutip, proses pematangan sperma disebut sebagai “transformasi sel yang luar biasa”. Di buku teks lain, mereka menulis “mengingat perempuan hanya mencucurkan satu sel gamet setiap bulan, seminiferous tubules (yang ada di testis) menghasilkan ratusan juta sperma setiap hari”.
Kehebatan proses reproduksi laki-laki tidak ada habisnya ditulis bahkan oleh penulis perempuan sendiri. Ini sama sekali tidak terjadi pada penjelasan mengenai proses reproduksi perempuan.
Proses ovulasi perempuan juga tidak mendapat antusiasme yang sama seperti penggambaran spermatogenesis laki-laki. Buku teks menegaskan bahwa folikel ovarium yang berisi sel telur sudah ada sejak kelahiran perempuan. Tidak seperti sperma yang diproduksi, folikel hanya berdiam dan perlahan menua seperti gudang yang kelebihan stok.
Singkatnya, produksi sperma yang terus berlanjut dari pubertas hingga menua dianggap lebih superior dibanding perempuan yang produksi sel telurnya berhenti setelah lahir. Beberapa teks menyebut produksi sel telur perempuan sebuah pemborosan (wasteful).
Anehnya, produksi sperma yang luar biasa banyak tidak dikatakan mubazir. Misalnya, laki-laki menghasilkan 100 juta sperma setiap hari pada masa hidup produktifnya (dari pubertas hingga sekitar usia 60 tahun), maka ia menghasilkan lebih 2 triliun sperma di masa hidupnya. Dari jumlah triliunan itu, berapa persen yang berakhir di kamar mandi atau terbuang?
Bahasa yang katanya ilmiah tapi seksis ini tidak berhenti sampai di sana. Sperma dan sel telur sendiri pun tidak lepas dari objek yang tergenderkan. Sel telur digambarkan feminin, sementara sperma ditunjukkan maskulin.
Sel telur dianggap ‘gendut’ dan ‘malas bergerak’. Ia tidak bergerak atau berpergian, tetapi secara pasif “diangkut”, “disapu”, bahkan “melayang” sepanjang tuba falopi.
Sementara itu, sperma disebut sebagai si kecil yang efisien dan selalu aktif. SOP-nya disebutkan, dari mulai ‘mengantarkan’ gen mereka ke sel telur hingga ‘mengaktifkan program perkembangan sel telur’.
Cerita-cerita di atas akan sangat panjang jika terus dilanjutkan. Yang jelas, selemah-lemahnya perlawanan terhadap patriarki saat ini adalah membongkar selubung ideologis yang ada di keseharian kita, termasuk di dalam teks sains yang kita baca.
Sains sebagai suatu temuan bisa jadi objektif, tapi ia tidak netral. Ketika ia diceritakan oleh komunikatornya yakni manusia yang punya nilai atau bias tertentu, maka sains mustahil untuk menjadi netral. Keberpihakannya menentukan bagaimana ia diceritakan dan diproduksi.
Secara umum, bias gender dalam pengajaran sains memang tidak sepenuhnya hal yang baru. Penelitian menunjukkan misalnya lewat foto dan ilustrasi bagaimana sosok perempuan jarang hadir dalam buku-buku sains anak-anak. Ini terbukti ketika anak-anak diminta menggambar seorang ilmuwan, kemungkinan mereka menggambar sosok laki-laki ketimbang perempuan dua kali lebih sering.
Sering kali bias ini tidak disadari. Nyatanya, salah satu buku luar angkasa anak-anak menjelaskan profesi astronot dengan kata ganti his (dia laki-laki). Sadar tidak sadar, apa yang kita bayangkan merupakan hasil dari interaksi lingkungan sosial dari semenjak fase anak-anak.
Bagaimana sains diceritakan tentu mempengaruhi persepsi hingga perilaku anak-anak atau pelajar. Ia turut serta dalam menjaga budaya dominan yang bisa menjadi opresif ini. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak membaca teks sains secara kritis. Jangan sampai kita terjebak dan turut serta melanggengkan status quo yang menindas.