Meretas Perdamaian Palsu dan Pendisiplinan Perlawanan Rakyat Palestina

Tsamrotul Ayu Masruroh

3 min read

Kebencian dan tuduhan teroris terhadap rakyat Palestina membabi buta di berbagai media besar dunia. Sebagai orang yang tidak terlibat dan menerima dampak langsung dari kekerasan yang terjadi di sana, kita tidak berhak menghibur, memberi nasihat, dan memberikan jaminan kepada orang Palestina dengan solusi-solusi damai palsu. Kita tidak boleh meminta Palestina berhenti melawan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh Israel kepada mereka selama puluhan tahun.

Marilah kita berpikir sejenak, merenungkan, dan memberanikan diri untuk bertanya. Bagaimana jika yang terjadi di Palestina itu juga terjadi pada kita? Ibu, bapak, saudara, kawan, dan orang yang kita sayangi meninggal dunia. Tubuh mereka tertimpa puing-puing bangunan, ditembaki senapan, dijatuhi bom di seluruh penjuru mata angin. Tanah air mereka dirampas. Rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan rumah tinggal mereka dihancurkan. Air dan pangan susah. Sehari-sehari, korban meninggal dunia berjatuhan tanpa henti.

Melihat itu semua, akankah kita tetap diam? Juga, apakah bijak bila kita memaksa orang Palestina berdamai dan mengecam perlawanan kekerasan mereka?

Seandainya saya orang Palestina dan seluruh keluarga saya meninggal dunia di tangan tentara Israel, tentu darah saya akan mendidih. Saya sangat marah kepada Israel yang telah membunuh semua orang yang saya sayangi sehingga menciptakan rentetan penderitaan dalam hidup saya. Saya jadi harus hidup sebatang kara dalam agresi yang tak berujung. Di posisi itu, rasanya tidak ada pilihan lagi bagi saya selain untuk berjihad melawan berbagai ketidakadilan Israel. Saya akan angkat senjata walau mungkin hanya kayu dan batu bata yang saya punya.

Namun, saya bisa paham mengapa beberapa aktivis, pegiat HAM, bahkan agamawan meminta Palestina untuk tidak melawan Israel menggunakan kekerasan. Mereka khawatir perlawanan kekerasan bakal membuat Israel membalas perlawanan Palestina dengan lebih brutal. Mereka pikir melawan Israel dengan kekerasan itu sama saja dengan bunuh diri bagi warga Palestina. Bagi mereka, melawan kejahatan harus tanpa kekerasan. Mereka enggan mengakui bahwa mengakhiri kekerasan, penindasan, dan kesewenang-wenangan yang sangat brutal itu tidak semudah yang mereka pikirkan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional pun tak kunjung berhasil menyelesaikan konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Perlu diingat pula, negara yang konon menjunjung tinggi dan banyak berpidato soal HAM dan anti kekerasan seperti Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa adalah sekelompok negara yang membela Israel. Kelompok ini tidak ingin Israel dan Palestina damai, yang mereka inginkan adalah memperpanjang terjadinya kekerasan itu sendiri.

Spiral Kekerasan

Seorang Uskup Agung dan pemikir hebat, Dom Helder Camara, mencetuskan teori spiral kekerasan (structural violence) yang dapat kita pakai untuk membaca konflik Palestina-Israel. Teori ini sangat lugas karena berangkat dari observasi terhadap kekerasan dan pengalaman nyata di lapangan.

Sebagai seorang strukturalis yang menyadari sepenuhnya bahwa kekerasan merupakan realitas multidimensi, Dom melihat bahwa tiap-tiap kekerasan tidak bisa dipisahkan keterkaitannya dengan kekerasan yang lain. Dari pemikiran ini, saya mengajak kawan-kawan untuk tidak menganggap remeh perjuangan rakyat Palestina, melarang mereka melawan dengan kekerasan, apalagi menuduh mereka sebagai kelompok teroris yang tak punya rasa kemanusiaan.

Israel telah dan masih terus melakukan kekerasan dan ketidakadilan kepada Palestina sejak puluhan tahun lalu. Israel merampas tanah Palestina. Tak puas dengan itu, Israel menghancurkan wilayah-wilayah yang ditinggali orang Palestina menggunakan bom. Tembakan dan letusan roket di atas kepala layaknya kembang api yang menjadi pemandangan sehari-hari orang Palestina. Dalam spiral kekerasan, posisi Israel adalah sebagai sumber utama kekerasan alias produsen kekerasan. 

Ketidakadilan yang terjadi di Palestina bersumber pada keserakahan Israel. Ketidakadilan ini mendorong terbentuknya kondisi sub-human, yakni kondisi hidup di bawah standar layak untuk hidup sebagai manusia normal. Pengondisian sub-human ini menciptakan ketegangan dan kecemasan menerus pada masyarakat Palestina.

Dalam kondisi sub-human, manusia mengalami tekanan dan dehumanisasi, martabatnya direnggut. Hal inilah yang kemudian mendorong mereka yang martabatnya direnggut untuk melawan. Perlawanan rakyat Palestina adalah respons terhadap berbagai ketidakadilan yang dilakukan oleh Israel kepada mereka. Rakyat Palestina ingin merdeka, bebas sepenuhnya dari berbagai penindasan oleh Israel.

Orang Palestina, sebagaimana manusia lainnya, ingin hidup bahagia dan jauh dari derita, ingin hidup tenang dan bisa saling mencinta satu sama lainnya. Namun, perlawanan Palestina memantik represi yang lebih parah dan membabi buta dari Israel.

Singkatnya, spiral kekerasan dalam konteks Palestina-Israel seperti ini: perampasan dan penindasan oleh Israel (kekerasan nomor 1) memicu perlawanan—khususnya perlawanan kekerasan—rakyat Palestina (kekerasan nomor 2) yang ditanggapi dengan represi yang lebih parah oleh Israel (kekerasan nomor 3). Represi ini kemudian memperparah kondisi ketidakadilan yang terjadi di Palestina (kekerasan nomor 1) sehingga terbentuklah spiral kekerasan atau kekerasan yang terus berulang-ulang. Seperti yang dikatakan Dom Helder Camara,“Ketika kekerasan disusul dengan kekerasan, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan.” Kaitan antara kekerasan yang satu dengan kekerasan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Palestina tidak akan melakukan perlawanan jika tidak ada keadilan.

Untuk bisa mengakhiri spiral kekerasan, pihak yang tertindas harus terus melawan dan sebisa mungkin menang supaya penindas kalah dan tidak sewenang-wenang lagi. Setelah itu, barulah membuat aksi untuk keadilan dan perdamaian. Dengan begitu, damai bukan lagi hanya spekulasi, teori, dan diskusi ataupun renungan saja. Di dalamnya, keadilan bagi semua adalah persyaratan utama berlangsungnya perdamaian yang permanen, bukan perdamaian ilusif.

Produsen kekerasan harus didesak untuk mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya. Pihak tertindas memaafkan apa yang telah terjadi dengan didukung oleh masyarakat global yang menciptakan gerakan keadilan dan perdamaian. Dengan begitu, perlawanan tidak berakhir menjadi obat penenang belaka.

Saya mendukung berbagai upaya Palestina untuk terus melawan berbagai ketidakadilan yang menimpa mereka. Kita semua tidak perlu meragukan, apalagi sampai mengecam perlawanan Palestina. Yang perlu kita lakukan adalah mengorganisir diri, mengutuk berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel, dan memperkuat solidaritas kita atas apa yang terjadi pada Palestina. Jangan biarkan ketidakadilan merajalela di muka bumi. Sebab, segala penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kita sudah sepakati itu dalam Pembukaan UUD 1945.

Saya yakin tidak ada hal yang mustahil di dunia ini. Saya yakin keadilan untuk Palestina bisa kita wujudkan.

From the river to the sea, Palestine will be free!

 

Editor: Emma Amelia

Tsamrotul Ayu Masruroh

One Reply to “Meretas Perdamaian Palsu dan Pendisiplinan Perlawanan Rakyat Palestina”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email