Jagad boxing amatir nasional dihebohkan dengan pertarungan antara Azka Corbuzier dan Vicky Prasetyo. Azka, pemuda yang sedang beranjak dewasa, menghadapi Vicky yang perbedaan usianya terpaut 22 tahun. Sebelumnya, Vicky Prasetyo juga terlibat baku hantam dengan teman sesama artisnya, Aldi Taher, di ring tinju yang diadakan oleh salah satu resto kenamaan di Jakarta. Baru-baru ini, juga ada Jefri Nichol yang meladeni salah satu pengikutnya di Twitter karena kesal disenggol oleh orang yang tidak dikenal melalui cuitannya. Kickboxing pun menjadi ajang penentu dan pemuas emosi.
Lantas apa arti dari semua ini? Mengapa laki-laki cenderung menyelesaikan persoalannya dengan pertarungan atau “kekerasan” bagi yang memiliki kemampuan dan keberanian, meskipun cara ini hanya dilakukan oleh minoritas laki-laki. Lainnya, tentu saja ada yang memilih cara yang lebih moderat ketimbang pertarungan di ring tinju. Bahkan pada tingkatan yang lebih radikal ada yang sampai menyeret lawan debatnya ke panggung pengadilan yang berujung ke penahanan atau kekerasan brutal sadis yang menyebabkan kematian. Hal ini tentu tidak saja terjadi pada laki-laki tapi juga perempuan.
Ada berbagai ragam alasan yang menyebabkan terjadinya konflik di antara laki-laki dan laki-laki, umumnya hanya dipahami oleh laki-laki tapi secara khusus pun bahkan di kalangan laki-laki lainnya ada yang tidak paham dan terkadang perempuan pun dapat memahaminya.
Baca juga:
Persoalan harga diri sebagai seorang laki-laki ketika berhadapan dengan laki-laki lainnya jika menghadapi suatu masalah baik kompleks ataupun sederhana terkadang tidak cukup diselesaikan di meja sembari minum kopi. Arena pertarungan atau bahkan kekerasan individual atau kelompok menjadi pilihan. Namun, menariknya ada pergeseran dalam mengelola dorongan untuk melakukan kekerasan, meskipun tidak berlaku untuk orang-orang tertentu, agar terhindar dari konsekuensi yang ada. Arena pertarungan dengan ketentuan peraturan yang jelas dan rigid menjadi solusi agar persoalan itu dapat terselesaikan dan luapan emosi dapat tersalurkan.
Anggapan laki-laki sebagai manusia bebas pun pada akhirnya perlahan luntur di hadapan konsekuensi logis dari tindak kekerasan. Regulasi dalam sebuah pertarungan menjadi logis untuk tetap menyalurkan hasrat sembari melepaskan kekalutan dalam diri. Namun, tidak dapat dihindari juga bahwa komunitas masyarakat yang domainnya adalah laki-laki berpotensi mewajarkan hal tersebut dan cenderung toleran. Tapi hal baiknya adalah laki-laki secara sadar dapat membicarakan perasaannya sendiri dengan membuka ruang dialog melalui berbagai skema. Apakah ini langkah secara tidak sadar dari laki-laki untuk mendobrak konsep maskulinitas tradisional? Atau hanya naluri alami dari laki-laki semata.
Terlepas dari berbagai stigma-stigma yang melekat pada laki-laki, proses penciptaan maskulin-maskulin baru memasuki tahap yang cukup mencenangkan melalui skema regulasi. Terasosiasinya sifat-sifat maskulin di berbagai aspek kehidupan menyebabkan baik laki-laki yang dianggap lemah atau kuat, pintar atau lemah, kaya atau miskin, introvert atau ekstrovert, logis atau tidak logis memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki dan menemui dirinya sebagai sosok yang lain. Dalam artian, mereka mampu untuk bertindak sesuai regulasi yang ada tanpa khawatir dengan stigma yang terlekat atau pun dilekatkan pada mereka.
Misalnya saja, pertarungan yang diadakan secara resmi dengan aturan baku seperti yang dilakukan oleh para selebriti – entah dengan tujuan sebagai manusia bebas ataupun bebas sebagai manusia. Perbedaan kekuatan fisik, kemampuan dasar bela diri, ataupun kepercayaan diri dapat gugur manakala berhadapan dengan regulasi tersebut. Mereka tidak lagi memandang dirinya berbeda dengan yang lain dari segi kapasitas diri meskipun memang pandangan dan pendapat dari netizen yang jeli melihat perbedaan tersebut, bisa saja memberikan dampak psikologis bagi mereka.
Lihat saja para calon atlet bulu tangkis laki-laki. Sejak kecil, bagi mereka yang memiliki minat dan bakat, diarahkan oleh orang tua atau kerabat dekat mereka untuk mengikuti pelatihan yang intens agar di masa depan mereka dapat memaksimalkan kesempatan dan potensi yang bisa saja ada atau bisa saja tidak. Persoalan percaya diri, keberanian, semangat, mentalitas, fisik, dapat ditempa dan menggugurkan stigma-stigma yang melekat melalui skema-skema regulasi yang diterapkan. Anak-anak yang dianggap lemah, kuat, introvert atau ekstrovert, bahkan yang difabel memiliki kesempatan sama dan adil.
Bukan Tabu
Prinsip dasar dari pengarusutamaan gender dalam berbagai aspek kehidupan telah banyak diadopsi di Indonesia. Prinsip ini idealnya tidak saja diterapkan di antara relasi laki-laki dan perempuan tetapi juga dalam relasi laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.
Strategi dalam mewujudkan kesetaraan gender melibatkan pengintegrasian perspektif gender ke dalam persiapan, rancangan, implementasi, monitor dan implementasi kebijakan dan regulasi yang mempromosikan kesetaraan gender dan memerangi diskriminasi.
Regulasi berbasis gender menjadi langkah untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif. Di sisi lain, regulasi seperti ini juga bisa mendorong terbukanya percakapan atas hal-hal yang dulunya dianggap tabu.
Baca juga:
Dalam kontek perkelahian, dengan adanya regulasi yang mengatur, maka konsep manusia bebas yang dilekatkan pada laki-laki dapat saja terurai dan diterima sebagai upaya untuk melepaskan stigma diskiriminatif bagi sebagian laki-laki yang dianggap tidak mampu bersaing dengan laki-laki lainnya.
Dalam konteks yang lebih umum, dengan adanya regulasi, maka baik yang berpotensi ataupun tidak, mampu bersaing secara adil dan setara. Meskipun, tentu sifat dari regulasi ini berpotensi menguntungkan salah satu pihak saja. Dalam konteks pertarungan, salah satu dari laki-laki yang memang tidak memiliki dasar keilmuan bisa saja tersingkir dari persaingan memperebutkan sekaligus melepaskan emosi atau kegusaran. Dalam konteks yang lebih umum, yang tidak memiliki kemampuan, keahlian atau bahkan “keistimewaan” tetap saja akan menjadi laki-laki kelas dua, tiga, dan seterusnya.