Mahasiswa Magister Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Ketua Perpustakaan — Literasi Pesantren Darus-Sunnah Jakarta.

Merayakan Hari Guru dan Puisi Lainnya

Imam Budiman

1 min read

Merayakan Hari Guru

Setiap hari adalah hari guru dalam sebuah takarir. Tetapi, papan tulis mencatat
peradaban yang lain: uraian tak tersalin, selain dipotret beramai lalu sunyi dan
tak terkunjungi dalam memori penyimpan data. Ingatan menjadi artefak dalam
layar proyektor. Dan kita sepasang kekasih dalam lembar digital.

Guru menjadi mesin yang sibuk dalam berkas administrasi. Nomenklatur—atas
nama pendidikan mutakhir, mesti berubah dalam tabel rencana pembelajaran.
Guru tak menjadi guru. Guru mabuk dengan istilah-istilah dan akronim aneh.

Barangkali hanya sebuah arsip; nama belakangnya abadi.

(2023)

Menjadi Sarjana Scopus

Kirim. Ulas. Tiga nama urun publikasi.
Papan nisan dalam mesin pencarian.

Intelektual mati muda dalam sitasi: paragraf kecil yang menariknya ke dalam
lubang data pada tahun-tahun suri. Satu kata kunci: Cari—lalu kau bergegas
pergi dari satu kanal ke laman yang lain. Tak ada wangi kertas, hanya lembar
digital. Unduh—unduh—aduh. Sebuah parafrase tersesat dan kau menyusun
ulang tubuh yang tak lagi utuh. Kau berupaya tidak terjebak pada kontrol c
yang kapan saja menyalin kesedihanmu terjadwal di kehidupan kedua.

(2023)

Situ Gintung dan Rumah Nomor 113

Waduk ini masih ia sebut sungai, karena hanya
itu yang tergambar di kepalanya, kumpulan air
dalam jumlah besar—untuk membedakannya
dengan tubuh laut yang pernah ia lihat dahulu.

Ia tentu senang sekali bisa memberi makan
banyak kucing dengan tuna kering; suatu kali,
dari pagar belakang waduk itu, ia pernah diajak
oleh ayahnya mampir ke rumah seorang penyair
bernomor 113, rumah yang kini sunyi dari hujan
bulan juni, lalu ia pun berfoto di depan pagarnya.

Lalu, ia pulang dengan kalimat baru
ayah, aku ingin sekali jadi penyair.

(2023)

Mencatat Gratifikasi dalam Mitologi

Seorang pesakitan, pada sel dingin yang muram
membayangkan anaknya menyantap makan malam
ia termenung: adakah surga bertaut pada yang haram.

Seakan ruas lengkuas tumbuh dari keningnya
menandai hal-hal lain yang rumit dan asing
bukan melankoli, lirihnya, hanya sepi.

Kita pun mencatat dalam mitologi:
dewa dapur senantiasa awas, mengamati
kecurangan kecil perihal satu uang logam
yang tak semestinya; ia akan melaporkan
kepada kaisar giok agar mereka dihukum.

Lalu kita catat mitologi yang lain:
alcmaenoid tidak sedang berbaik hati
ketika menawarkan perbaikan istana dewa
—sungguh siasat jitu akan segera diterapkan

Pythia bersedih musabab kuil apollo
yang dilantak gempa besar di tanah itu
matahari seperti raib dari teras matanya

Tiap sudut, tuan pythia, semayam dewa
kususun dan penuh dengan marmer parian.

Tetapi, beri aku kuasa, tuan dewa
yakinkan aristokrat sparta, agar
athena dalam purna titahku.

—Dan dewa pun tertipu
dan dewa pun bisa disuap.

(2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Imam Budiman
Imam Budiman Mahasiswa Magister Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Ketua Perpustakaan — Literasi Pesantren Darus-Sunnah Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email