“Mungkin sebentar lagi …”
Ia memandangi layar gawai lalu mendekapnya di dada.
“Mungkin bakal ada pemberitahuan masuk sebentar lagi …”
Harapannya sekali lagi hanya membentur tembok kosan yang sunyi.
Lelaki itu beranjak dari kasur tipisnya menuju dapur. Ia menghangatkan air, mengambil dua bungkus mi instan, dua telur ayam, dan satu saset kopi. Lagi-lagi ia meyakinkan dirinya bahwa akan ada pesan masuk untuknya hari ini.
Selagi menunggu air mendidih, ia membuka kunci layar gawai lalu ditutupnya lagi. Dibukanya layar kunci gawai lalu ditutupnya lagi. Dibukanya layar kunci gawai lalu ditutupnya lagi. Berulang-ulang ia lakukan sampai air mendidih.
Dimasukannya dua bungkus mi instan ke dalam wajan. Sambil mengaduk, sesekali ia mengintip apakah ada pemberitahuan muncul di gawai, lagi-lagi tak ada.
“Kamu tak bisa menyelamatkan semua orang.”
Haha. Ia tertawa getir membaca tulisannya beberapa tahun silam yang dijadikannya latar belakang gawai. “Orang yang harus kamu selamatkan saat ini adalah dirimu sendiri, berengsek!” batinnya.
Kreekk.. Kreekk..
Dipecahkannya dua telur ayam ke dalam wajan yang sedang mengeluarkan buih-buih. Tak berapa lama dibuang air tersebut ke lubang tempat cuci piring.
Dibukanya bumbu-bumbu mi instan menggunakan tangan. Baginya, banyak orang tak menyadari bahwa menyobek bumbu lebih nikmat menggunakan tangan ketimbang menggunakan gunting. Hanya orang lemah saja pakai alat bantu.
Diaduklah bumbu mi tersebut agar benar-benar merata dan meresap. Tercium wangi minyak bawang. Sedap sekali. Aroma itu mengurumuni penciumannya. Tak lupa ia tambahkan bawang goreng yang semakin membuat lelaki itu banyak mengeluarkan gumpalan liur layaknya burung walet.
Celananya bergetar. Bukan otong, tetapi gawainya yang menimbulkan getaran. Sedikit berdegup dadanya ketika melihat layar gawai bertuliskan “Anda memiliki tiga notifikasi”. Jarang-jarang ia mendapat tiga pemberitahuan selama setahun ini.
Jempolnya melesat membentuk suatu pola paruh ayam, lalu sekejap terbukalah kunci layar. Ia dengan buru-buru mengetuk pemberitahuan tersebut. Ternyata ada tiga komentar menyasar di postingan sebelumnya.
Sial. Mulutnya berkedut sehingga membentuk huruf ‘n’. Hanya informasi pembaruan aplikasi yang muncul. Tak ada yang penting.
Ia melanjutkan lagi aktivitas yang sempat terhenti sebelumnya.
Ia mengunyah nasi sebagai sumber karbohidrat dan mi dianggapnya sebagai lauk. Ia meyakini bahwa vitamin di kemasan mi instan itu memang benar-benar ada.
Lelaki itu menggulirkan jempolnya dari bawah ke atas, melihat beberapa postingan. Ia melihat teman-temannya mengunggah foto bersama istri maupun bersama suami. Dalam hatinya sedikit iri karena di umurnya sekarang belum juga meminang anak orang.
Jempol lelaki itu terhenti ketika melihat senyum wanita berkulit putih dengan hidung mancung dan bermata coklat yang ia kenali. Wanita yang pernah membuatnya menjadi lelaki tak kenal lelah.
“Kita nanti mau pakai adat mana?”
Lelaki kumal itu terkekeh-kekeh mengingat kembali kalimat yang selalu ia lontarkan kepada mantan calon pacarnya itu dalam khayalan.
Wanita tersebut berfoto dengan seorang balita manis yang mirip sekali dengan si wanita dan di sampingnya ada sosok lelaki tersenyum sambil merangkulnya dengan mesra. Tampak harmonis sekali keluarga mereka.
“Harusnya itu adalah anakku. Hehe … Sayang kamu menolakku, Dik.”
Lelaki itu kembali terkekeh dalam lamunannya. Kali ini ia membayangkan jadi sosok ayah dari si balita dan wanita manis itu tak henti-henti menciumi wajahnya. Ketika si balita memanggilnya papa, tawa lelaki itu semakin menjadi-jadi sampai-sampai terjatuh dari kursi plastik. Wajahnya sumringah tampak seperti orang bodoh yang sedang menatap langit-langit kosan.
“Berisik woy!” laungan yang berasal dari dinding kamar sebelah seketika mengajaknya kembali ke realitas.
“Hehe … Maaf, Bang. Hehe …”
Srek …
Lelaki itu kini menyobek kemasan kopi, kemudian dituangkannya ke dalam cangkir. Dispenser sedari tadi sudah siap untuk menyiram kopi tersebut.
Sambil menyeruput kopi, lelaki itu melanjutkan pencariannya melihat postingan orang-orang yang diikutinya. Tiba-tiba matanya membelalak, melirik ke postingan seorang wanita dengan semburat senyum manis yang kala itu memegang buket sambil memeluk lengan seorang pria. Pria dan wanita itu memperlihatkan sebuah cincin yang sama melekat pada jari manis mereka.
“Terima kasih untuk orang yang dahulu pernah bersamaku selama empat tahun. Kehidupan harus terus berlanjut. Terima kasih atas waktu menyebalkanya serta waktu membahagiakannya. Kelak, kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri tanpa aku di situ.”
“Dasar lacur! Dia yang mengakhiri hubungan denganku, dia pula yang seolah-olah mengikhlaskan hubungan ini berakhir.”
Lelaki itu tiba-tiba teringat masa lalunya empat tahun lalu, ketika ia masih bersama wanita tersebut. Kosan ini menjadi saksi bisu mereka menghabiskan waktu, bercumbu, berbagi tawa, mengurai sedih.
Ia mengingat ketika di tahun pertama mereka bertemu dalam acara kampus. Entah karena sihir apa yang dipakai lelaki itu hingga si wanita mau menghabiskan malamnya di kosan. Dengan binal mereka bercinta di atas kasur gepeng tersebut, erangan wanita itu terlalu keras sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Berisik woy, Anjeng!!!” terdengar dari kamar sebelah.
“Maaf … Bang … He … he …” jawab lelaki itu dengan napas tersengal-sengal lalu melanjutkan aktivitas haramnya.
Lelaki itu juga sangat ingat bahwa mereka pernah berkeliling kota seharian mengendarai vespa butut miliknya. Wanita itu begitu lengket mendekap sambil tertawa mendengar kelakar. Sesekali wanita itu mencubit perut pacarnya yang dibalas dengan pinggang meliuk menghindar.
Pasangan suami istri beranak dua yang mengendarai motor di samping mereka merasa iba dengan cinta masa muda. Pasutri itu hanya menghela napas dalam-dalam sambil mendiamkan rengekan anak-anaknya yang sedari tadi minta dibelikan mainan.
Lelaki itu mengingat pertengkaran konyol yang pernah mereka lakukan lantaran lupa membalas pesan, si lelaki juga tak mampu memecahkan kode dari kata ‘terserah’, lupa mengucapkan selamat tidur, bahkan lupa mengingat hari jadian bulanan mereka.
Di tahun keempat, wanita itu benar-benar penat. Tak ada arah yang jelas untuk hubungan mereka. Hal yang membuat wanita itu semakin yakin untuk meninggalkannya ialah karena lelaki itu belum juga menyelesaikan kuliah yang sudah menginjak tahun keenam.
Lelaki itu terlalu asyik mengobral syairnya di mading kampus, mengumpulkan pengikut dari mahasiswa baru, ia merasa pintar dalam kubangan bocah cilik. Ia percaya bahwa suatu saat akan ada penerbit besar memohon sampai menciumi kaki agar mau membukukan karyanya. Ia juga percaya kelak ia akan mengambil bagian dalam sejarah sastra di negeri ini. Mimpi besarnya terlalu tinggi untuk digapai oleh tubuh yang pendek tersebut.
Perlahan-lahan wanita itu mulai membatasi diri. Jarang ia membalas pesan dan susah ditelpon. Setiap lelaki itu ingin mengajaknya bertemu, si wanita selalu ada saja alasan untuk menolak.
Beberapa teman lelaki itu sempat bergunjing di kantin kampus karena sempat memergoki wanita itu jalan dengan pria lain. Lelaki itu mencoba menanyakan, namun wanita itu berkilah bahwa pria itu adalah keluarga jauhnya yang baru datang dari kota lain.
“Aku ke rumah, ya?”
“Ngapain? Aku lagi di luar lagi ada acara keluarga..”
“Bukan sama cowok lain?”
“Dih, Apaan sih. gak lah.”
“Oh, ya sudah..”
Rasa curiga lelaki itu semakin bertumpuk. Membuatnya merasa takut dengan apa yang disampaikan para sahabatnya. Lelaki itu memberanikan diri untuk pergi ke rumah wanita itu dengan diam-diam. Ia menunggu kurang lebih dua jam dari balik tiang gardu dekat rumah wanita itu. Tak lama, ia melihat kekasihnya keluar dari mobil sedan mewah berwarna hitam mengkilap. Tampak seorang pria yang dikatakan sebagai keluarga jauhnya ikut keluar dari sisi lain mobil. Setelah itu mereka berbicara sebentar, dan seketika mereka berciuman dengan mesra dan tak lama mengecup kening wanita itu.
Bibir dan tubuh yang seharusnya milik lelaki itu seorang kini mulai dimonopoli oleh pria asing yang dikatakan sebagai keluarga jauh. Lelaki itu lemas melihat adegan yang tak seharusnya ia ketahui.
“Tega kamu, Dik!” lirih suara lelaki itu sambil mulut menggigit gumpalan tinjunya.
Sejak saat itu lelaki tersebut menyimpan bara di hatinya. Selalu terbakar ketika melihat wajah wanita jalang yang menelantarkannya. Tanpa disadari, air matanya telah jatuh berkali-kali ketika mengingat kejadian itu. Diusapkan bulir-bulir yang tumpah. Sesekali ia teguk kopi yang sudah mulai dingin.
Tak berapa lama, layar gawainya bersinal lagi. Diketuknya pesan masuk tersebut dengan malas. Pesan itu berasal dari Ibunya.
Kurang lebih pesannya berisi seperti ini pada baris pertama, “Nak, uang kuliahmu sudah Ibuk transfer …”
Lelaki itu sumringah lalu berkata, “Ini yang aku tunggu, Tuhan! Hehehe..”
Ia membayangkan akan pesta apa malam ini dengan kiriman Ibunya.
Setelah sejenak ia berkhayal, lelaki itu lalu melanjutkan membaca.
“… Itu uang adalah terakhir yang Ibuk punya. Sebelumnya Ibuk meminta maaf. Ibuk sudah tak bisa lagi membiayai kebutuhan kuliahmu …”
Mendadak lelaki itu merasa sengal dengan apa yang disampaikan Ibunya. Seketika layar gawai itu cepat-cepat ia matikan dengan mengunci layar. Ia ragu untuk menatap gawainya lagi. Ia merasa ada hal buruk yang akan terjadi bila ia melanjutkan membaca pesan itu.
Beberapa menit lelaki itu mencoba meyakinkan dirinya bahwa pesan yang dikirim Ibunya itu tak seperti yang ia bayangkan.
“Bismillah..”
Lelaki itu mencoba menguatkan hati dan keyakinannya. Ia lanjut membaca dengan rasa cemas.
“… Ibu juga tak bisa lagi membayar utang alm. Bapakmu. Kebun karet warisan terakhir alm. Bapakmu juga tak ada yang mau membelinya. Mereka bilang bahwa pohon karet itu sudah tua, getahnya tak sederas pohon-pohon muda, dan kualitas karetnya pun jauh menurun. Ibu tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi situasi ini. Setelah Bapakmu meninggal, semua orang menuntut minta bayar utang kepada Ibuk. Mereka bahkan menjarah barang-barang yang ada di rumah. Ibuk sudah tidak punya muka lagi untuk ditunjukkan ke tetangga-tetangga kita. Bertubi-tubi cobaan ini menghampiri, berat rasanya buat Ibu pikul sendiri beban ini …”
Lelaki itu bahkan belum sempat mendatangi kuburan bapaknya. Rasa bencinya kepada alm. Bapak lah yang membuatnya tak mau tahu tentangnya. Air matanya menetes lebih deras menyiram pipi. Dadanya semakin sengal seperti dihantam benda yang sangat keras.
“… Kemarin, rumah kita sudah Ibuk jual untuk membayar utang-utang. Sisa uang rumah itulah yang Ibuk transfer ke kamu. Ibuk tak bisa memaksamu untuk lulus cepat seperti kawanmu yang lain. Ibu tak sampai hati untuk menekanmu, Nak. Kamulah anak Ibuk satu-satunya. Cukup Ibu saja menanggung semuanya.”
Lelaki itu merasa jantungnya seperti mau meledak. Sesal dan kesal bercampur menghardik dirinya sendiri.
Selama ini Ibunya tak pernah cerita masalah apapun kepadanya. Ibunya hanya memberi kabar ketika sudah transfer uang saja. Ibunya takut menggangu, jadi disimpanlah semua kisah itu.
“… Nak, sekali lagi maafkan Ibuk yang sudah menyerah dengan keadaan. Meski alm. Bapakmu adalah bangsat penggila judi dan perempuan yang hanya bisa meninggalkan utang dan kebun tak subur, tetapi Ibu tetap cinta padanya. Ibu sangat rindu Bapakmu, Nak. Bapakmu adalah sosok rumah yang nyaman dan teduh untuk Ibu. Izinkanlah Ibumu ini untuk bersikap egois kali ini saja. Ibu ingin sekali bertemu dengan Bapakmu. Mohon kamu memaklumi keputusan ini dan tolong ikhlaskan kepergian Ibu. Pesan terakhir Ibu, kamu harus menjadi sarjana, apapun yang terjadi. Jadilah sarjana kebanggaan Ibu. Jauhi judi dan jangan main wanita. Tetap jaga kesehatanmu. Ibu selalu sayang padamu, Nak.”
Ketika ia menyelesaikan membaca pesan itu seolah-olah jantungnya berhenti berdegup sesaat. Seumur hidupnya, baru kali ini lelaki itu merasa sangat membenci uang kiriman.
*****
Editor: Moch Aldy MA