Menulis Chairil
: Ini puisi,
Chairil lagi-
Chairil lagi.
Itu puisi,
ada Chairil lagi-
ada Chairil lagi.
ceritanya fragmen pembaharuan muncul dalam babak pemberontakan,
ada Charil lagi
nyanyi-nyanyi binatang jalang
membentuk nasib manusia malang
seperti tokoh yang beribu tenggelam
sebab timbul satu-orang penjaga malam.
Susut kelabu, pelangi namamu
tergambar sehabis hujan di langit itu:
Chairil lagi-
Chairil lagi.
Pergilah dalam kemarau kata-kataku.
–
Kelahiran Chairil
Di rahim Khatulistiwa, Chairil lahir
ketika gelanggang serupa medan perang
yang meninjau batas kekuasaan Tuhan?
atau jika itu bermakna lingkaran alam
semesta antara perputaran bulan dan matahari, Chairil lahir
ketika planet-planet kebudayaan
diteror meteor sastrawi
Di rahim Khatulistiwa, tumbuh segenggam derita, filsafat tenggelam
menanggung hidup yang menyusahkan,
kadang bahagia semenit—sedih dapat giliran seharian,
atau mungkin pengetahuan yang tinggi
menjelma gunung akan mengalami longsor
karena tak ada benih cinta yang tumbuh
di jurang dunia, tempat segala kabar berita
propaganda merajalela. Chairil lahir.
Maka, ayo Bung, ayo! Walau hidup sebentar
Kenangan mesti terus bergetar!
–
Kematian Chairil
Di dunia ini, jangan kau risaukan, Chairil
siapa yang paling sebentar hidup
atau hitung-hitungan lamanya perkara umur
Mengapa tak kita tanyakan saja
apa yang sekarang telah dicapai bangsa kita ini.
Di dunia ini, jangan kau sesali, Chairil
Ada anak-anak sosial media memburu
sejarah nenek-moyangnya, ingin
menciptakan pengetahuan baru hasil
menyusuri makna Google yang tak terjamah di dalam dirimu: oh Chairil!
–
Warisan Chairil
Di Barat, oh dunia
kita belajar menghukum raga
kita obrak-abrik tempat segala memoar rahasia yang dicari para manusia—
Di Timur, oh dunia
kita belajar memahami jiwa
dari kemilau cahaya sampai gelap
gulita di dalam hati dan akal manusia—
Sebagai raga, oh dunia
kita hanya sanggup bermain dengan rasa sakit yang kadang menjelma makna cinta
tak berkesudahan. Tak menjanjikan—
Sebagai jiwa, oh dunia
kita tak merasakan apa-apa selain
penantian panjang umur dan waktu
jiwa kita tak ingin apa-apa selain diam menempuh kesabaran dalam kejadian
jiwa kita hanya ingin cepat-cepat terbang
menjauh dari raga, lepas bebas keluar
dari labirin belantara dunia—
Kita, manusia
menjijikan perusak
naskah kehidupan.
–
Zaman Tanpa Chairil
Kami, pengemudi filsafat
yang mengendarai sastra:
di jalan-jalan beribu nama
kami tempuh fenomena waktu
melambat, kadang kencang,
kadang-kadang menggeram kesal
sedang ruang hanya ilusi
kehampaan
tak ada penumpang selain kecemasan
tak ada pertemuan selain ketakutan
mungkin ada, hanya cerita buah tangan
yang lahir ketika perasaan dan pikiran
mengalami gerhana serupa bulan
memeluk matahari, di siang hari atau bisa
juga hadir di malam hari
Kami, pengemudi filsafat
yang mengendarai sastra:
rintangan-hambatan perjalanan kami
adalah diri kami sendiri, sungguh
hanya ada dalam diri kami sendiri
Di luar diri, bukanlah milik kami
Ia hanya ketidakpastian hasil kesemestaan
langit, bumi, dan tata surya lainnya, di mana
Tuhan bersembunyi di balik tanda
keagungannya
tak ada cinta, sungguh hampa
tak ada dendam, sungguh hambar
mungkin ada, hanya geliat propaganda
revolusi, atau perbandingan masa lalu
dan kini, atau usaha memaknai nilai
globalisasi dan kemajuan hari ini
Kami, pengemudi filsafat
yang mengendarai sastra:
Tak ada ujung pencapaian,
Tak ada perang berkepanjangan
Namun tetap tak ada yang abadi, tak ada.
Mungkin ada, jika kemungkinan itu
berasal dari Tuhan.
*****
Editor: Moch Aldy MA