Jurnalis dan esais, tinggal di Kota Semarang

Menjelang Maut dan Puisi-Puisi Lainnya

Athok Mahfud

2 min read

Menjelang Maut

Ia pun memandang ke luar jendela
dan dunia tampak remang
seolah ada yang hendak menjemputnya
ketika awan berarak pulang

Barangkali kini ia tahu
Takdir sudah lama menunggu
Tak ada lagi arah yang dituju
Segala jalan telanjur buntu

“Tapi masih tersisa foto keluarga yang menggantung di dinding”
“Tapi masih tersisa seribu penyesalan yang menyumbat di kerling”

Dengan gemetar ia menutup pintu
dan menulis kalimat
dari balik kaca jendela
dengan sisa darahnya;

dalam hati ia pun berseru:
“Izrail! Jangan bertamu.
Akan kutebus semua dosa-dosaku.”

 

Di Sebuah Hari yang Kesekian

Di sebuah hari yang kesekian
Laut gelombang pasang
Dan suara bisikan pada karang:
“Manusia tak pernah sungguh-sungguh berjabat tangan,”

Dan di sebuah kamar kecil di rumah terpencil
Pukul 00.00 dini hari, ketika kesunyian tak kunjung pergi
Seorang remaja 20-an tahun dengan balutan selimut terbangun dari tidurnya
Kaca jendela yang direkati hujan memburamkan pandangan matanya
Dan rintik air di atas genting masih tak sanggup dihitung

Teringat kembali mimpi-mimpi buruk malam itu
Tentang tangis anak-anak di lampu merah dan kolong jembatan
Tentang jerit perempuan tua yang diperkosa semalaman
Tentang rintih keluarga yang kehilangan rumah dan tanah kelahiran

Angin yang berdesir menggetarkan tubuh
Sebuah tanya pun menggigil dalam dingin
Apakah janji dan mimpi perdamaian pada sebuah kertas yang terstempel dan tertanda tangan akan bernasib sama seperti potret wajah pahlawan yang dipajang pada sebuah kelas perkuliahan?

Mungkinkah janji dan mimpi akan menghidupkan manusia kembali?
Setelah tercium anyir darah yang tumpah dari sisa pemenggalan di Karbala
Setelah terdengar napas yang putus-putus di antara gema senapan di Gaza

Dan keesokan hari, segerombolan Ababil di langit itu akan berseru:
“Sungguh tiada yang fana di dunia ini
Kecuali nafsu pada setiap hela napasmu.”

 

Dosa Manusia

Gemericik air dari jauh
mendekat semakin gaduh
dan sebuntel cerita sebelum tercipta dunia
tak bisa menyelamatkan kebodohan kita

Sampai kapankah kita terus menyangkal
ihwal keyakinan yang tak mungkin kekal
yaitu cinta yang menjelma dosa
kata-kata mesra dalam percakapan kita

Masih ingatkah engkau tentang khilaf Adam dan Hawa
manusia yang diberkati kenikmatan surga
yang telah melanggar sabda Tuhan, yang kalah menghadapi godaan setan

Beradab-abad pun berlalu, dan angin tak pernah jadi lain
setelah Adam dan Hawa turun ke bumi
akankah kini kita akan berkawan dengan iblis lagi?

Tapi mungkin kita lupa, bukankah manusia
adalah mahluk yang tak pernah bosan
untuk mengulangi dosa yang sama?

Barangkali kitalah yang terlalu angkuh dan mencelanya sebagai musuh
Kitalah yang tak sabaran dan selalu penasaran
dengan rahasia-rahasia yang masih disembunyikan Tuhan

 

Hanya Hening

Hanya hening;
suaramu telah hilang
terbanting angin

Hidupku makin hampa
tak kutahu lagi kau pergi kemana

Aku mendengar senyap tengah merayap
dalam hening yang diciptakan kata
Bibir rasanya tak mampu berucap
gerbang tertutup rapat untuk kita

 

Sebatang Pohon Kering

aku sebatang pohon kering
kau tinggalkan sendirian
saat kemarau datang

di bumi tertandus ini
aku masih berdiri tegak
dalam siksa anginku sendiri

hanya sentuhmu aku merindu
sampai ketika musim pun bertukar
menunggumu adalah mengharapkan ketidakpastian

di pagi gersang ini
kau putuskan rambat akar-akar cintaku
kau patahkan ranting-ranting masa depan
kau gugurkan lebat daun-daun kenangan
kau busukkan buah-buah janji suci kita

tinggallah aku sebatang pohon kering
setelah basah penghujan jauh berpaling

 

Sepanjang Napas yang Dingin

Di sepanjang napas yang dingin
Dari jendela kamar lantai dua
Embun menyembul layar kaca
Menampilkan semacam opera

Gerimis menciptakan ritmis
Langkah sepatu berguguran memecah genangan
Orang-orang berteduh di halte dan emperan toko
Tak menunggu bus kota, tak membeli sebotol coca-cola

Sepanjang kota hanyalah dingin
Aku melihat orang-orang saling mendekat tapi tak ingin mendekap
Duduk berdampingan tanpa perbincangan
Tangan bergetar memeluk tubuh masing-masing

Bahasa tak lagi dipercaya, puisi akan berakhir sia-sia
Dan di dalam sebuah apartemen, seorang laki-laki membiarkan angin mencekik leher kekasihnya

Athok Mahfud
Athok Mahfud Jurnalis dan esais, tinggal di Kota Semarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email