Memperingati Hari Ibu tanggal 22 Desember, linimasa akan menampilkan segala puja-puji tentang ibu. Ibu yang selalu berkorban untuk suami dan anak-anak, ibu yang tangguh, ibu yang lembut dan penuh kasih sayang, ibu yang serba bisa. Padahal, seorang ibu juga manusia yang punya amarah, yang bisa meledak kapan saja, yang tak selalu bisa, yang kadang lelah untuk berkorban, yang juga butuh waktu untuk dirinya sendiri.
Sosok seorang ibu dengan tepat digambarkan meme dinosaurus Barney; saat bersama teman-temannya, seorang ibu bisa terlihat sempurna namun berubah seketika menjadi Godzilla dengan api menyembur saat sedang marah-marah di rumah.
Peran ganda sebagai istri, ibu, anak, menantu dan sebagian juga bekerja di luar rumah sangat mempengaruhi kesehatan mental seorang ibu. Di saat bersamaan, seorang ibu juga harus bersahabat dengan rasa sakit yang tiada henti. Terhitung sejak mual-mual saat mengidam pada trimester pertama kehamilan, selanjutnya menikmati sakit pinggang, kaki bengkak, perut begah saaat memasuki usia kadungan pada trimester kedua dan ketiga. Berikutnya mengalami rasa sakit pada saat proses melahirkan; puluhan jam kontraksi, jahitan pada vagina atau sayatan pada operasi secar, dilanjtkan dengan masa nifas panjang yang merepotkan.
Kemudian demi si bayi bisa menyusu dengan nikmat, ibu menahan perihnya puting yang lecet, melewati ratusan malam tanpa tidur yang lelap. Dengan sabar seorang ibu tetap merawat anaknya sembari menggulung helaian rambut yang rontok tiada henti. Lalu apakah semua selesai ketika sang anak berhenti menyusu? Tidak. Ibu kembali bergelut dengan kepercayaan diri sembari meratapi cermin, menatap nanar pada payudara kendor dan perut berlipat.
Baca juga Lebih Senyap dari Omongan Tetangga
Seorang perempuan selalu dijejali tuntutan kesempurnaan yang sangat berat- bahkan cenderung mustahil diwujudkan. Sejak kecil, tumbuh sebagai remaja, hingga kemudian menikah, perempuan seolah harus mengikuti ukuran-ukuran normal yang berlaku dalam masyarakat. Ketika kemudian menikah, tuntutan itu semakin menjadi. Seorang perempuan dituntut untuk lekas hamil, lalu mempunyai anak. Ketika sudah memiliki satu anak, dituntut untuk memiliki lebih banyak anak. Ketika memiliki lebih banyak anak, kemudian dianggap tidak bisa mengurus anak-anaknya dengan baik. Serba salah dan kelelahan mengikuti apa kata dunia; komentar tetangga, teman-teman, keluarga bahkan suami.
Kondisi ini rentan memicu gangguan mental pada seorang ibu, awalnya mungkin hanya uring-uringan, lama-kelamaan anak pun menjadi sasaran dan pada titik tertentu menjadi penyebab seorang ibu menyalahkan dirinya sendiri atas semua ketidakberesan yang terjadi.
Baca juga Lajang Bukan Sasaran
Perlu Dukungan
Sepanjang tahun 2020, di India terjadi kasus bunuh diri pada ibu rumah tangga setiap 25 menit setiap harinya. Biro Catatan Kejahatan Nasional India merilis hasil survey bahwa rata-rata penyebab bunuh diri pada ibu rumah tangga adalah alasan masalah pernikahan atau keluarga. Di Indonesia, mungkin kasus bunuh diri pada ibu rumah tangga masih jauh di bawah itu, tetapi indikasi-indikasi tekanan mental pada ibu rumah tangga sebenarnya sangat dekat dan melekat pada kehidupan sehari-hari kita, dan ini perlu diwaspadai.
Mother Hope Indonesia adalah sebuah komunitas Facebook yang jumlah anggotanya lebih dari 45 ribu orang. Komunitas ini mengulas aneka diskusi dengan topik berupa dukungan dan tindakan preventif seputar syndrome baby blues, depresi dan psikosis atau halusinasi pasca melahirkan. Dalam komunitas tersebut sangat gamblang dibicarakan keluhan para perempuan yang putus asa, penuh beban, hingga terlontar pernyataan-pernyataan ingin mengakhiri hidupnya.
Penyebabnya sangat beragam; kelelahan, suami kurang berbagi peran, kurang perhatian dari keluarga atau terlalu banyak intervensi dari anggota keluarga yang lain dalam pengasuhan anak. Dalam komunitas ini suara-suara para perempuan tangguh tenggelam dalam keputuasaan, tak sanggup lagi menahan beratnya beban ganda yang harus dijalani. Bahkan Nur Yana, penggagas komunitas ini, merupakan seorang aktivis yang memiliki latar belakang post partum depression, tapi justru sempat dianggap kemasukan setan.
Kesehatan mental seorang ibu menjadi hal yang sangat penting untuk dikampanyekan dan diperhatikan dengan serius. Kampanye itu bisa dimulai dengan penyadaran untuk tidak memberikan tuntutan berlebihan pada seorang ibu dan bahwa pekerjaan rumah tangga bukan hanya urusan perempuan. Pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama suami dan istri. Setiap pasangan harus aktif bekerja sama dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Istilah-istilah seperti baby blues, post partum syndrome, depresi, psikosis, toxic society bukanlah istilah yang mengada-ada. Justru istilah-istilah tersebut perlu dipahami dengan benar oleh setiap keluarga. Ketika suami, orangtua, mertua, bahkan tetangga dan teman-teman yang berada dalam lingkaran seorang ibu memahami gangguan kesehatan mental yang dialami seorang ibu, mereka bisa memberi dukungan alih-alih memberi tuntutan.
Jangan sampai terjadi sebaliknya, ketika seorang ibu mengeluhkan gangguan yang dialami, ia justru dianggap mengada-ada, lebay bahkan sakit jiwa.
Setiap anggota keluarga dapat memberikan dukungan untuk kesehatan mental ibu dengan cara berbagi peran, Mulai dari memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup serta menghindari bullying terhadap pilihan-pilihan yang dibuat setiap ibu.
Tetangga dan teman-teman juga dapat memberikan dukungan dengan membentuk komunitas yang erat sebagai sandaran seorang ibu untuk berkeluh kesah dan mendapat saran-saran positif. Selain itu, dukungan terhadap ibu dapat pula dilakukan dengan merekomendasikan edukasi dan informasi positif yang mampu mendukung peran ibu dalam keluarga. Tak lupa, memberikan waktu bagi ibu untuk menjaga kewarasan sesuai dengan versinya, karena setiap ibu memiliki mimpi untuk diraih.
Mimpi tentang bagaimana ia bisa menjadi seorang perempuan yang tetap waras jiwa dan raga untuk menjalani berbagai peran dalam kehidupan. Ibu dengan mental yang sehat adalah kunci.
Lanjut baca Ibu Bekerja dengan Tiga Anak Memupus Jemu dengan Ilmu