mahasiswa biasa

Menjadi Arapaima atau Manusia?

Nurfikri Muharram

2 min read

Saya baru tahu kalau sebutan dari fiksi yang lebih panjang dari cerita pendek, tetapi lebih pendek dari novel disebut novela. Arapaima karya Ruhaeni Intan inilah yang memperkenalkan saya kepada novela. Halamannya kurang dari 100 sehingga dapat habis dibaca dalam sekali duduk.

Novela ini menceritakan nasib seorang perempuan muda pegawai toko ikan. Berbicara soal pegawai toko perempuan, ingatan saya melayang ke novel Gadis Minimarket karya Sayaka Murata. Premis yang dibawakan sama, yaitu tentang kesulitan yang dihadapi pegawai perempuan. Hanya saja yang berbeda dari Arapaima adalah tokohnya masih berusia muda dan kesulitan yang dialami bukan pada tataran menghadapi tuntutan masyarakat, tetapi menyasar pada kemiskinan yang dialaminya dan juga tokoh-tokoh lain di novela ini.

Kerentanan Perempuan Pekerja

Seperti yang saya katakan sebelumnya kalau tokoh utama novel ini adalah seorang perempuan muda pegawai toko ikan (karena ia tidak bernama, selanjutnya disebut si perempuan). Usianya masih 21 tahun. Ada delapan pegawai di toko ikan itu dengan jumlah laki-laki dan perempuan sama-sama empat. Di tempat kerja, ia akrab dengan Leni, perempuan malang yang sudah ditinggal suaminya selama setahun.

Kepala toko ikan tempat si perempuan bekerja diceritakan genit kepada pekerja perempuan. Bahkan beberapa kali berusaha melecehkan si perempuan.

“Ia mengatakan itu sambil memandangiku dari atas sampai bawah. Aku seharusnya bisa protes jika ia tidak menyentuh tanganku dan membuatku ingin segera melemparnya ke kolam saat itu juga.” – Hal. 6

Kejadian itu berulang ketika salah satu arapaima di toko tersebut hilang. Kepala toko menginterogasi si perempuan yang dicurigai menjadi dalang hilangnya arapaima.

“Ia kini mulai mendekatkan jemarinya ke pergelangan tanganku. Tapi jemari itu tidak berhenti di sana. Kurasakan tangannya mulai merayap naik. Laki-laki tengik itu menyentuhku. Tangannya menggerayangiku. Semuanya, semua digerayangi.” – Hal. 80

Hal lain yang kemudian menjadi persoalan adalah saat si perempuan menceritakan pelecehan itu kepada Leni. Leni mengatakan bahwa ia hanya berbohong dan mengada-ngada. Peristiwa semacam ini sering ditemui di kehidupan nyata yang juga menunjukkan betapa rentannya perempuan pekerja terhadap kekerasan seksual.

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pada tahun 2021, angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lingkungan kerja tercatat ada 116 kasus. Itu baru yang melapor, bisa kita bayangkan ada berapa banyak perempuan yang memilih tidak melapor setelah dilecehkan karena posisi mereka yang berada di bawah kerentanan.

Keanehan Tokoh Utama

Ingin rasanya berempati pada nasib si perempuan selaku tokoh utama. Ia dibelenggu kemiskinan dan berada dalam kerentanan di tempat kerja. Namun, apa yang dilakukan si perempuan tidak bisa dibilang baik dan terkadang sulit dimengerti.

Pertama, ia tanpa sebab yang jelas ingin mencuri salah satu arapaima yang ada di toko ikan tempatnya bekerja. Ia juga turut menyeret Leni dalam rencana gilanya itu. Arapaima itu dibawanya ke kolam tempat Kak Pri, pacarnya, bekerja.

Kedua, ia berselingkuh dengan Kak Pri yang tidak lain adalah suami dari Rahma. Padahal, Rahma sering curhat mengenai kesulitan ekonomi yang dialaminya serta masalah rumah tangganya dengan si perempuan. Maka dari itu, sulit untuk berempati terhadap nasib yang menerpa si perempuan sementara ia sendiri juga bermasalah.

Keanehan si perempuan semakin jelas setelah ia berhalusinasi bahwa semua penumpang bus yang ditumpanginya adalah ikan. Halusinasi itu ia alami setelah melukai kepala bosnya menggunakan akuarium. Ia bahkan melihat dirinya sebagai arapaima melalui pantulan kaca.

“Tetapi bagaimana jika aku benar-benar telah berubah menjadi seekor arapaima? Bagaimana jika pria kepala toko itu menemukanku dan membawaku kembali ke tokonya?” – Hal. 83

Kejadian ini menandakan kalau memang ada yang bermasalah dengan dirinya meski hal itu tidak dijelaskan secara gamblang oleh penulis di novela ini. Terkait arapaima sendiri, si perempuan mengibaratkan menjadi manusia dan arapaima itu tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama terkutuk dan menyedihkan di hadapan manusia lain yang berkuasa.

Membaca keluhan dan analogi si perempuan itu sebenarnya cukup ironis mengingat semua keanehan yang dilakukannya murni atas kesadarannya sendiri, bukan karena tuntutan orang yang lebih berkuasa. Dalam kasus ini, ia mencuri dan berselingkuh tanpa menyesalinya sama sekali. Ia bahkan mungkin tidak lebih baik dari arapaima yang dicurinya.

Saya sangat merekomendasikan novela ini untuk dibaca ketika Anda sedang mengalami reading slump yang berkepanjangan, karena cerita ini tidak terlalu panjang serta berani mengambil sudut pandang yang unik dan menarik.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Nurfikri Muharram
Nurfikri Muharram mahasiswa biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email