Mengintip Portrait Tua
Trauma di tembok-tembok
kusam dengan basin–
meruam
lubang bekas intipan mata
menelisik setiap kaki
yang diposisikan sebagai kepala
pada retak suara ada –
hening yang dulu dikubur
bersama potongan proyektil
sebuah pilu dengan untaian partitur
dalam ruang lapang berlumpur
sebuah pesan datang
dari mesin tik tua dengan –
sepasang portrait, sepasang jas,
dan tambal perca sana-sini
ditutup erat sebuah genggam
di bahu kiri
ada senyum tipis dari dua
wajah yang bekas saudara:
“masa, ketika kita – tak saling
berburu pada suatu agresi, Bung”
mimpi dan sisa sebuah nama
pancang sebuah makam
tanpa tanda
pulau tanpa peta
dan luka sejarah menganga.
–
Sabtu Pagi
“Bagaimana kembang sirsak hilang?”
tanya seekor pipit di sabtu pagi
rintik-rintik cahaya yang menghalang
dan jutaan tanya – tak mau pergi;
Aku ingin bantu jawab – bahwa malam
mengiris apapun yang ia kehendaki
Tapi hari ini – orang banyak tak percaya
lupa – mengantongi ingatan
bahwa malam dapat kejam
dan tubuh-tubuh – juga harapan
banyak yang menghilang
tak menemukan rumah pulang
Kegelapan membelah pria jadi dua
kesepian – mengiris wajah wanita
angin malam membekukan tangis
sementara pagi – kita tahu
antara pagi dan matahari adalah misteri
“andai mereka datang tiap hari”
Mendung datang pagi ini
–
Tak Ada Do’a Pagi Ini
Tak ada do’a pagi ini
Hanya harap sederhana
Kembang nangka menguning
menjadi tanda
Buah segar dan ranum
menunggu dinikmati
Tak ada do’a pagi ini
Hanya harap sederhana
Hujan ringan subuh tadi
Menyirami biru-hitam luka
Tak ada do’a pagi ini
Hanya harap sederhana
Kepik kecil terbang jauh
memeluk serbuk sari
Mendaratkannya pada tanah –
yang pernah tak ada manusia
Tak ada do’a pagi ini
Hanya harap sederhana
Kunang-kunang tak lekas mati
Dan kota akan segera
punya cadangan cahaya
Kenapa tak berdo’a pagi ini?
Aku rasa tak perlu lagi
Cicit burung semenjak tadi
Tak putus-putus bersuara
Berdo’a soal perdamaian dunia
Amin – adalah tugas sederhana manusia
–
Aku Menjawab
“Di beranda ini angin tak kedengaran lagi” kata Goenawan Mohamad
Aku menjawab, “Di beranda itu ada hari tua yang tak akan menyingsing”
“Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar” kata Sapardi
Aku menjawab, “bayang-bayang adalah sisa arang memori”
“Lembut dan kesunyian patut dikenang” kata Toto Sudarto
Aku menjawab, “lembut itu ladang api dari kisah yang tak direstui”
“dan hidup bukan hidup lagi” kata Chairil
Aku menjawab, “hidup yang telah kehilangan subjek puisi”
“Kasih itu dua merpati yang menemukan sarang” kataku padamu kala itu
Aku saat ini – kasih itu retakan,
dan kita hanya kerikil gompal
yang terselip di celah ingatan
–
Sepasang Dongeng
: untuk Marina & Ulay
kita tak bicara soal kisah yang jauh
sebuah pertemuan di hari kelahiran
dan Amsterdam, dan bintang jatuh
kau potong segaris di atas pusar dan lipatan
“seni bukan hanya pertunjukan namun pertemuan”
lampu galeri dan ubin marmer: altar ditemukan
di bandara itu
antara jalan dan sayap beludru
telah dilahirkan rencana lain, keindahan lain,
enigma dan terma yang meluruh dalam konsep kita
seperti tujuh belas jam rambut kita bertaut
atau panah yang siap melesat di antara perut
sejak itu beda – kaca etalase rasa
dua tubuh yang mengolah
satu tubuh yang terbelah
menyatu seperti kanvas
mengendap dalam gelas
dan sebuah duka
lantas Cina dan punggung naga
legenda tentang perjuangan
rencana sebuah persandingan
dan tembok-tembok yang menonjol
dari angkasa
kita berjalan
dan terus berjalan – tersiksa
tulang-belulang dan bocah dusun
bertumpuk saling tersusun
ribuan kilometer tercecer
pada isi dada yang mengencer
birokrasi, orasi, dan batas-batas
membelenggu lingkar leher
dan kaki kebas
sembilan puluh hari –
dongeng modern yang dinanti
tetua desa menyangka kita tak perlu
menjejak naga dan membangunkannya
kita bisa alfa – legenda perlu korban
ia tak bilang soal memberikan kehidupan
tapi dentang jam yang hilang, detak hati
yang berhenti, dan persandingan yang menjadi
tak berbeda jauh dengan perpisahan
dan pertunjukan tragedi
dia melepasmu pada kuil Shenmu
ikatan yang terlalu kusut
bahkan untuk direnggut
menit-menit pelukan
dan dua puluh tahun kebisuan
tangisan pada kain merah kusam
bekas keringat dan ruam-ruam
hanya dari sepatu ia mampu membacamu:
“sepatu kacamu mulai luntur dan berdebu”
pelukan menjadi semacam kata ganti
untuk diam dan perpisahan
engkau tak mampu jalan sendiri
ia tak mengerti mengapa menyendiri
kau ingin rumah disusun segera
ia ingin perjalanan tanpa jeda
maka, “sampai jumpa … ” terpancang
pada musim dingin yang begitu panjang
dua puluh tahun berlalu
New York dan dongeng baru
ia muncul bersama getir senyum
engkau bagian dari museum
konsep-konsep dan peraturan
luntur dalam tatapan
air mata dan kebisuan
dongeng baru dilahirkan