Professional Google Map Reader

Mengintip Muktamar dari Luar: Catatan Rombongan Liar

Agus Ghulam Ahmad

4 min read

Natal 2021 sepertinya tidak akan ramai ribut-ribut soal Banser yang jaga gereja, sebab mereka sudah lebih dulu fokus untuk mengawal Muktamar NU ke-34 tahun ini, yang dilaksanakan pada 22-24 Desember 2021 di Lampung.

Teman saya, salah satu panitia Bahtsul Masail Muktamar, menulis kira-kira begini di facebooknya: Muktamar tidak melulu soal kontestasi, ada juga ruang-ruang diskusi, meskipun tentu saja tidak semenarik yang pertama.

Kalau perlu saya ingin menambahi: selain itu ada juga bazar, Banser yang siaga di mana-mana sampai tidur di emperan, ibu-ibu muslimat yang foto di panggung selesai bedah buku, dan rombongan jamaah NU yang mayoritasnya bingung mau ngapain. Mungkin saja itu semua tidak semenarik diskusi, apalagi kontestasi, tapi bagi saya, yang terakhir ini justru yang tersisa dari keotentikan dan kultur NU sejak 1926. Politik berubah, kampanye kian beragam (meski tetap sering pinjam figur Gus Dur), yang saya kira masih sama ya antusiasme warga NU menyambut gebyar Muktamar.

Pelabuhan Merak dan Bakaheuni, saya yakin, sejak tanggal 20 Desember paling banyak dilewati oleh warga NU yang ingin datang Muktamar, meski sebagian besar dari mereka bukan utusan resmi yang bakal masuk ruang sidang, dan hanya mengintip dari luar, seperti saya.

Dari sini, setidaknya ada dua golongan muktamirin. Pertama, pengurus besar, wilayah atau cabang, yang hadir muktamar untuk ikut sidang, dan kami menyebutnya: panitia atau peserta. Kedua, yang datang karena seru-seruan dan jadi tim hore, kami disebut: romli (rombongan liar). Muktamirin golongan kedua ini yang penting berangkat saja dulu, sampai saja dulu, perkara di Lampung nanti luntang-luntung, itu urusan belakang, syukur-syukur ada kasur buat tidur.

Baca juga: Islam Nusantara dan Kebangkitan Sastra Pesantren

Terang saja, hotel-hotel dan penginapan di sekitaran Bandar Lampung penuh. Saking banyaknya jumlah muktamirin yang menyeberang ke Sumatera, beberapa menginap di rumah warga setempat untuk dua-tiga hari, begitu info dari supir Maxim yang mengantar saya malam-malam ke Universitas Malahayati, salah satu dari empat arena utama Muktamar.

Rombongan muktamirin yang bukan peserta atau panitia, dan nimbrung ke Lampung buat mengisi kursi-kursi bus yang kosong, otomatis angkat tangan soal kontestasi, selain hanya mendukung jago masing-masing dari belakang, mengomentari baliho calon ketua umum dengan berbagai diksinya, dan menonton live streaming Muktamar walau sudah jauh-jauh datang ke Lampung. Ibarat datang ke konser Metallica tahun 1993 di Lebak Bulus, tapi tidak kebagian tempat duduk dalam stadion dan hanya mendengar suara James Hetfield sayup-sayup dari luar.

Lagian, kontestasi ini rasanya tidak lagi eksklusif milik jamaah NU. Makin ke sini dan makin besar jam’iyyahnya, siapa yang tidak genit ke NU? Minimal dua parpol Islam wajib unjuk bendera, meski harus diakui, PPP seperti nyaris habis nyawa dan tinggal sisa napas tuanya, dibandingkan PKB dengan senyum Gus Muhaimin di mana-mana. Dalam skena politik Indonesia, saya lihat hari-hari ini PPP sedang kehilangan momentumnya, seperti seorang anak yang terpisah dari genggaman ibunya di pasar.

Ada juga baliho Erick Thohir yang bulan sebelumnya habis dilantik jadi Banser, dan beberapa pejabat lagi yang saya lupakan. Tapi saya tidak nemu baliho Puan—tumben, padahal Eva Dwiana, Walikota Bandar Lampung, jelas-jelas kader PDIP. Untunglah, berarti masih agak mawas diri, meski Satpol PP malam-malam mencabuti bendera-bendera liar PKB dan PPP, dan membiarkan baliho Gus Muhaimin karena kelewat gede. Yang tersisa tinggal bendera-bendera NU yang kadang berkibar didampingi bendera merah putih.

Malam saat pemilihan 9 Kiai sebagai Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA), saya sedang bersama salah seorang teman Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI). Sebagai orang yang mulutnya tidak punya rem tangan, ia bicara los malam itu. Teman saya tidak ambil pusing siapa yang bakal jadi Ketua Umum, yang penting teman-teman di daerah nanti lebih diperhatikan. “Pengurus Besar kalau datang ke Pengurus Cabang pasti disambut hangat. Coba kalau Pengurus Cabang yang datang ke Pengurus Besar, sudah syukur bisa lewat sekuriti,” curhatnya sambil menenggak soda gembira yang esnya sudah mencair separuh.

Andai saja acara Muktamar terpusat di satu titik, tentu saya bisa bertemu teman saya itu sejak malam pertama. Selain Universitas Malahayati, sidang-sidang pleno dan Bahtsul Masail diselenggarakan di UIN Raden Intan dan Universitas Lampung (UNILA). Sementara pembukaan dan penutupan dijadwalkan di Pesantren Darus Sa’adah, 70 kilometer dari Bandar Lampung. Belum lagi ada bazar yang digelar di lapangan Saburai Enggal, yang kira-kira butuh waktu tempuh sepertiga jam dari ketiga kampus tadi. Penempatan lokasi-lokasi ini saya pikir sungguh NU sekali—tidak terprediksi. Seperti halnya jadwal acara yang selalu jadi misteri sebelum hari H berlangsung. Yah, selain antusiasme warga NU yang masih sama, ternyata masih ada hal-hal lain yang belum berubah.

Pemecahan lokasi ini bagusnya mengurangi kepadatan massa di satu titik, tetapi mau tidak mau akhirnya juga mengucilkan agenda lain di luar sidang dan kontestasi, seperti diskusi, Bahtsul Masail, sampai bazar. Teman saya yang buka stand no. 88 di Saburai Enggal, hingga bakda Zuhur masih ngopi dan makan kue lupis di depan kamar penginapannya.

“Kata orang di lapangan, baru tiga stand yang buka, Pak!” lapor teman saya ke bosnya yang ikut ke Lampung. Gairahnya untuk bagi-bagi brosur pas bazar meredup setelah lewat hari pertama yang terpantau sepi, dan memutuskan menutup stand di hari ketiga.

Mungkin betul, banyak yang memandang Muktamar sebagai ajang kontestasi. Namun, lebih banyak lagi yang menjadikannya sebagai sarana silaturahmi. Di luar alasan itu, saya kira tidak ada alasan kuat lain untuk memahami motivasi para jamaah yang sampai nyarter sekian armada bus berangkat ke Lampung, menempuh perjalanan belasan jam, meski sudah tahu pasti tidak bakal ikut milih ketua umum.

Tidak heran, di samping acara Muktamar, banyak lagi diselenggarakan Silatnas (Silaturahmi Nasional) dari berbagai macam perkumpulan di pesantren-pesantren. Mulai dari Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffazh (Perkumpulan Para Qari dan Penghafal Al-Qur’an) yang mengadakan semaan Qur’an selama dua hari, forum Bu Nyai Nusantara yang berdiskusi soal peran pesantren putri di NU, Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (Perkumpulan Pesantren-pesantren Islam), Jam’iyyah Ruqyah Aswaja, hingga kumpulan anak kiai di forum Asparagus.

Pada malam terakhir acara Muktamar, selepas K.H. Miftachul Akhyar terpilih sebagai Rais Aam, dan muktamirin yang mengikuti sidang di salah satu gedung Universitas Lampung sedang memilih bakal calon ketua umum, warga NU yang tidak punya hak suara berkumpul di area luar UNILA. Arus kendaraan mandek di bundaran, dan banyak supir taksi online membatalkan pesanan karena tidak bisa merangsek masuk lebih dalam lagi ke area UNILA.

“Gus, aku puter balik ke hotel,” tulis teman saya putus asa via whatsapp. Kami sudah janjian ketemu sejak tiga hari tapi tidak kunjung ketemu.

Orang-orang menggelar tikar mengemper di pinggiran jalan, sebagian lagi mengikuti acara kecil-kecilan yang diadakan sepanjang rute ke bundaran, beberapa duduk dan istirahat di rerumputan, lapak-lapak kopi dadakan dibuka bagi jamaah yang kehausan, sementara pasar malam di samping kampus tak kalah padat dari mobil-mobil yang berjejeran macet di jalan.

“Peci rotan, peci rotan, terakhir harga paling promo, lima puluh rebo!”

“Sablon kaosnya, sablon kaosnya, segala ukuran ada!”

Berjejer-jejer pernak-pernik Muktamar dijual malam itu: kaos Muktamar, gantungan kunci berlogo Muktamar, peci NU berbagai bahan, seragam-seragam berlogo NU, pulpen Muktamar dengan grafir nama, tasbih, sampai cincin-cincin berlogo NU. Di tengah suasana riuh rendah dalam sidang pemilihan, warga NU menunggu keputusan akhir dengan kebahagiaan kecil masing-masing: berfoto ria dengan keluarga dan teman-teman berlatar belakang poster Muktamar; piknik sambil makan gorengan; dan menelepon orang rumah yang tidak ikut ke Lampung.

Setiap orang memang punya kepentingan datang Muktamar, entah kepentingan apa atau siapa. Namun, satu yang bisa saya pastikan, kepentingan sebagian besar muktamirin adalah berkumpul dan bertemu teman-teman lama. Bagi mereka, datang Muktamar lima tahun sekali mungkin seperti mengambil rapot dan menjemput putra-putri mereka di pondok saat libur semester. Muktamar adalah jeda untuk tetirah, beristirahat sejenak.

Dengan demikian, terlepas dari segala kisruh perpolitikan, sikap yang ditampilkan K.H. Said Aqil Siradj dan Gus Yahya Cholil Tsaquf setelah pemilihan adalah penutup yang paripurna.

“Selamat, dan saya bangga kepada keberhasilan Gus Yahya, beliau adalah cicit dari guru ayah saya, KH. Cholil Harun,” ucap Kiai Said.

“Apabila ini adalah sebuah keberhasilan, maka semua itu adalah ‘atsar’ beliau (Kiai Said),” tutup Gus Yahya.

Selesai sudah Muktamar NU ke-34 dan selamat berjumpa lima tahun lagi. Saya membayangkan jika warga NU melamar kerjaan dan diwawancara HRD, saat sampai di pertanyaan, “Bagaimana kamu memandang dirimu lima tahun ke depan?” Mungkin jawabannya akan begini, “Saya mau ikut Muktamar lagi.”

Agus Ghulam Ahmad
Agus Ghulam Ahmad Professional Google Map Reader

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email