Asal Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Alumnus Departemen Ilmu Pemerintahan, Universitas Hasanuddin.

Menghapus Trauma Poso dari Buyu Katedo

A. Muh Batara Syafaat Z

5 min read

“Di Poso itu bahaya, ada suatu kampung yang kalau kamu kunjungi kemungkinan besar kamu tidak akan keluar, apalagi jika kamu penganut dari agama yang katanya mereka musuhi.”

Cerita-cerita yang saya dengar saat kecil kembali muncul dalam ingatan, sejak saya meninggalkan kamar kos menuju bandara Sultan Hasanuddin untuk kemudian terbang ke Palu, hingga tiba di tujuan; dusun Buyu Katedo, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.  Saya berangkat ke Poso bersama beberapa kawan untuk mengikuti suatu kegiatan pelatihan fasilitator Hak Asasi Manusia (HAM) yang diadakan di dusun tersebut.

Dari kota Palu kami melakukan perjalanan darat melewati jalan poros yang bersebelahan dengan laut yang semakin lama makin menanjak ke daerah pegunungan melewati tugu kuning Wentira yang dikenal sebagai wilayah kebun kopi, dan selanjutnya menurun lagi ke wilayah pesisir pantai.

Perjalanan Palu – Poso kami tempuh sekitar 5 jam menggunakan minibus. Saya pikir setelah turun dari bus kami sudah sampai ternyata masih harus beralih ke mobil bak terbuka. “Ayo pindahkan barang-barangnya, ayo yang mau naik duluan,” kata kawan-kawan yang menjemput kami. Saya pun ikut menaikkan barang bawaan ke atas mobil, dan mobil segera berangkat menanjak ke jalan setapak menuju Rumah Belajar (RB) warga. RB warga merupakan program rumah belajar yang diinisiasi oleh SKP-HAM Sulteng, sebuah organisasi yang bergerak dalam proses advokasi korban-korban pelanggaran HAM di wilayah Sulawesi Tengah. Saat ini RB warga telah berdiri di empat lokasi yakni di Dolo dan Kulawi di kabupaten Sigi, Sisere di kabupaten Donggala, dan di Buyu Katedo kabupaten Poso.

Sore hari setiba di RB, kami disambut oleh kawan-kawan pengasuh rumah belajar dan beberapa warga yang menyempatkan waktunya untuk menyapa dan bersalaman dengan kami. RB merupakan satu bangunan permanen yang sebagian besar berbahan kayu, bangunan ini terdiri dari lima kamar tidur, dua kamar mandi, satu dapur, dan satu aula yang digunakan untuk proses belajar. Sisa lahan yang berada di sekitar bangunan dimanfaatkan oleh warga dan para pengasuh RB untuk menanam sayur-sayuran. Sambutan hangat yang diberikan oleh warga membuat bayangan awal soal mencekamnya wilayah ini kemudian menjadi tanda tanya besar di kepala saya, apa sekarang memang sudah tidak semenakutkan dulu? Atau saya yang terlalu polos, kan ini baru pertemuan awal?

Ingatan Kelam

Saat mendapatkan kabar bahwa kegiatan kami akan diadakan di Poso, saya mulai mengingat-ingat kembali gambaran soal Poso yang sering saya dengar waktu kecil dulu karena pernah menetap beberapa tahun di kecamatan Mangkutana, Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang merupakan perbatasan langsung antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, dan berjarak sekitar 6 jam perjalanan dari kota Poso. Waktu itu sekitar tahun 2000-an awal. Banyak orang-orang dari Poso yang terpaksa mengungsi lintas kabupaten hingga provinsi, ada pula yang mesti melarikan diri jauh ke dalam hutan agar tidak menjadi korban pembantaian.

Konflik Poso merupakan konflik antara agama Islam dan Kristen yang memuncak pada tahun 1998 pasca jatuhnya Soeharto. Konflik antar kelompok ini awalnya dipicu oleh pertikaian antara pemuda yang berbeda agama yang selanjutnya membesar karena dimanfaatkan oleh para elit politik untuk kepentingan pemilihan Bupati Poso. Pada April 2000, fenomena konflik ini sangat jelas bersinggungannya dengan perebutan kekuasaan kepala daerah karena bertepatan dengan pemilihan Bupati Poso dan hal ini terus berlanjut menjadi konflik agama yang berlarut-larut. Seiring berjalannya waktu, eskalasi konflik pun terus meluas mulai dari kota Poso hingga beberapa kecamatan lain seperti Poso Pesisir, Lage, Pamona Selatan, dan Tojo.

Baca juga Kekerasan dalam Kotak Identitas

Dusun Buyu Katedo yang menjadi tujuan kami merupakan bagian dari desa Sepe, kecamatan Lage. Saat ini Buyu Katedo dihuni 64 keluarga yang seluruhnya beragama Islam. Cerita-cerita soal konflik masa lalu meninggalkan kesan mencekam dan stigma menakutkan pada tempat ini. Bahkan hingga saat ini pun masih ada orang-orang yang takut dan enggan untuk mengunjungi Buyu Katedo, terutama mereka yang beragama Kristen.

Sejarah Stigma

Stigma menakutkan terhadap beberapa wilayah di Poso termasuk dusun Buyu Katedo, terbentuk seiring dengan meluasnya eskalasi konflik antara pemeluk agama di Poso pada tahun 2000-an awal. Pada tahun 2001 di Buyu Katedo telah terjadi peristiwa pembantaian yang menewaskan 14 orang warga, siapa yang membantai hingga hari ini masih menjadi tanda tanya besar. Besar kemungkinan timbul asumsi bahwa yang membantai adalah dari kelompok Kristen, akan tetapi ternyata dua hari persis sebelum peristiwa pembantaian terjadi ada keganjilan yang ditemukan oleh warga, mereka mendapati ada beberapa tentara yang menyisir wilayah sekitar dusun dan tidak diketahui alasannya sampai saat ini.

Penyerangan terhadap warga Buyu Katedo oleh kelompok yang tidak dikenal tersebut berlangsung pada dini hari, 14 orang yang menjadi korban pembantaian adalah mereka yang sudah terjebak dan tidak punya lagi kesempatan untuk melarikan diri, beberapa di antara mereka adalah anak-anak, ibu hamil, serta lansia. Di sela-sela kegiatan pelatihan saya berbincang dengan Ela (42), seorang perempuan yang menginisiasi berdirinya RB. Ia mengisahkan bahwa pemukiman yang telah mulai terbentuk sejak tahun 1984 di Buyu Katedo ini hancur dan habis terbakar saat konflik memanas pada tahun 2000. “Waktu peristiwa pembakaran itu sudah tidak ada rumah, sudah dibakar semua, jadi memang tidak ada rumah yang tertinggal di sini,” ungkap Ela.

Pada tahun 2001 saat konflik dianggap cukup reda, warga sudah mulai kembali dari lokasi pengungsian, dan kemudian dibangun lagi barak-barak pemukiman di wilayah dusun. Mereka memang terpaksa harus berupaya untuk kembali ke dusun karena ada kebun-kebun yang harus mereka rawat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nahasnya saat mereka mulai mencoba untuk membangun kehidupan seperti sediakala, kembali terjadi penyerangan yang bahkan lebih parah dari sebelumnya, bukan hanya rumah-rumah yang hancur tapi juga ada belasan nyawa manusia yang melayang.

Beredarnya berita mengenai peristiwa pembantaian di Buyu Katedo kemudian menjadi dasar kekhawatiran, terutama bagi para tetangga kampung apalagi bagi mereka yang beragama Kristen. Jadi ada anggapan yang kemudian terbentuk bahwa jika mereka memasuki wilayah dusun Buyu Katedo maka mereka tidak akan bisa kembali karena warga dusun akan melampiaskan kemarahannya kepada mereka.

Cerita-cerita macam ini juga sampai ke telinga saya waktu kecil dulu, bahwa di Poso itu bahaya, ada suatu kampung yang kalau kamu kunjungi kemungkinan besar kamu tidak akan keluar, apalagi jika kamu penganut dari agama yang katanya mereka musuhi. Ternyata sampai hari ini cerita macam itu masih menghantui banyak orang. Bagi warga Buyu Katedo, peristiwa pembantaian memberikan bekas trauma yang mendalam hingga hari ini, sedangkan bagi mereka yang berada di luar, hadir stigma menakutkan terhadap dusun ini.

Stigma terhadap dusun Buyu Katedo pada kenyataannya juga berdampak pada kondisi ekonomi warga. Hasil panen produk pertanian seperti coklat, semangka, dan sayur-sayuran tidak dapat terjual karena minim orang yang berani untuk datang membeli. Selain itu, tengkulak juga leluasa membanting harga karena kondisi warga yang tidak berdaya.

 

Bangkit Bersama 

Pada tahun 2015, Ela yang menetap di kota Palu kembali mengunjungi Buyu Katedo dengan tujuan untuk menggarap kebun di lahan yang ditinggalkan mendiang ayahnya. Saat Ia mengatakan kepada kawan-kawannya di Palu bahwa ingin ke Buyu Katedo, banyak kawannya yang bertanya dengan heran; “Kau mau bikin apa ke Buyu Katedo? Kau tidak takut?”

Awalnya ia memang hanya ingin berkebun, ternyata ketika sampai di lokasi, kondisi yang ia temui begitu memperihatinkan. Akses pendidikan sangat sulit untuk anak-anak karena sekolah yang jauh di luar dusun. Selain itu, warga kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan jalan dusun juga sulit untuk dilalui kendaraan.

“Kami datang 2015 akhir, 2016 mulai bangun rumah belajar. Ada rumah warga dijual, karena langsung dekat dengan kebunku jadi saya beli,” jelas Ela. “Mulailah kita aktivitas rumah belajar dengan anak-anak karena anak-anak jauh sekolahnya, jadi mereka kemudian punya aktivitas belajar di luar jam sekolahnya. Kami mulai advokasi air, jalan, sampai akhirnya sekolah dibuka kembali di dusun Buyu Katedo. Nah setelah sekolah dibuka, jembatan sudah diperbaiki oleh pemerintah, listrik mulai ada, mulailah lagi naik satu persatu warga untuk bangun rumah lagi.”

Sudah sekitar lima tahun RB aktif dalam melakukan proses belajar-mengajar  bersama anak-anak usia sekolah dasar serta advokasi sarana prasana publik yang dibutuhkan warga dusun Buyu Katedo. Para pengasuh RB merupakan anak muda yang memang pada dasarnya aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembelaan HAM.

Baca juga Marapu, Agama Leluhur yang Tersingkir dan Terasing

“Strategi kami adalah menjadi rumah belajar untuk anak-anak dan berkebun ekologis. Tidak ada bahas HAM dan lain sebagainya,” terang Ela. “Nah kami bikin pelatihan kebun ekologis, mengajak warga Kristen dari dusun lain untuk naik ke sini dan mempertemukan mereka. Ketika mereka datang, oh ternyata gak apa-apa pulang dari Buyu Katedo, ternyata selamat yah.” Ini merupakan gambaran upaya untuk pemulihan dari stigma serta membangun kembali hubungan baik dengan dusun-dusun tetangga yang selama ini renggang.

Untuk mempermudah penjualan hasil kebun, warga mengupayakan usaha bersama dengan membuat toko di pinggir jalan poros yang menjual hasil-hasil kebun dari Buyu Katedo. Di toko sederhana yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun rumbia, mereka menjajakan berbagai jenis sayur dan buah-buahan segar.

Satu pekan tinggal di dusun Buyu Katedo telah menghilangkan kesan mencekam dan menakutkan yang bertahun-tahun bercokol dalam ingatan dan pikiran saya. Upaya yang dilakukan Ela dan kawan-kawan melalui RB patut mendapat dukungan dan layak dicontoh daerah-daerah lain yang punya sejarah kelam.

A. Muh Batara Syafaat Z
A. Muh Batara Syafaat Z Asal Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Alumnus Departemen Ilmu Pemerintahan, Universitas Hasanuddin.

2 Replies to “Menghapus Trauma Poso dari Buyu Katedo”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email