Sistem perwakilan Indonesia terbagi menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR sebagai representasi politik (political representation) yang mewakili konsituen per dapilnya, sedangkan DPD sebagai wakil daerah (territorial representation). Berdasarkan teori perwakilan, keduanya mempunyai kedudukan yang seimbang dan tak boleh saling mendominasi.
Menilik sejarah kelahirannya, DPD dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan tiap-tiap daerah yang jumlahnya cukup banyak sehingga terakomodasi dalam setiap kebijakan nasional. Di samping itu, para punggawa yang mengamandemen konstitusi pada saat Reformasi bergulir menilai kebutuhan pada masing-masing daerah tidak bisa diseragamkan. Atas dasar pluralisme tersebut, maka muncul DPD selaku pembawa suara-suara dari daerah.
Baca juga:
Sejarah pembentukan DPD tidak hanya dilatarbelakangi oleh heterogenitas tiap-tiap daerah saja, melainkan juga sebagai bentuk koreksi atas sistem perwakilan yang dihegemoni oleh rezim Orde Baru selama kurang lebih tiga dasawarsa lamanya. Semangat kelahiran DPD tidak bisa dilepaskan dari praktik pengendalian rezim Orde Baru terhadap lembaga legislatif yang diseragamkan, seolah-olah keberadaannya di waktu lalu hanya sekadar lembaga stempel.
Penyeragaman itu berakibat panjang dalam sistem perwakilan Indonesia, serta berimplikasi secara luas dalam kebijakan strategis nasional yang berkaitan dengan urusan daerah. Efek kejut dari praktik tersebut dapat dilihat dalam statistik ketimpangan antara Pulau Jawa, khususnya Jakarta, dengan daerah lain di luar Pulau Jawa. Per hari ini, jurang ketimpangan kian menganga lebar. Kemiskinan masyarakat luar Jawa masih belum terentas. Infrastruktur masih tertinggal jauh. Fenomena itu banyak dipengaruhi oleh paradigma Orde Baru yang terlalu terpusat di Jawa akibat ketiadaan perwakilan daerah dalam sistem perwakilan.
Saya bermaksud mendudukkan ulang hakikat DPD dalam trajektori sejarah perjalanan sebuah bangsa. Walaupun tulisan ini akan beririsan dengan persoalan yang sensitif menyangkut perdebatan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah wacana kritis sekaligus untuk mewarnai diskursus publik, tidak ada salahnya mencoba merefleksikan ulang tentang apa-apa saja yang perlu diperbaiki dalam rangka membangun Indonesia secara paripurna.
Minimnya Peran DPD
Walaupun pagelaran Pemilu 2024 baru saja rampung, saya yakin masyarakat pada umumnya tidak mengetahui apa fungsi dan peran DPD sehingga mereka harus menyoblos salah satu kertas suara yang berisikan nama-nama calon anggota DPD tersebut. Tidak dapat disangkal, sikap skeptis masyarakat yang selama ini tertuju pada institusi tersebut disinyalir karena ketiadaan peran yang cukup signifikan selama lembaga DPD berdiri.
Menurut survei Populi Center yang dirilis pada 29 Mei 2023, kepuasan publik terhadap lembaga DPD berada di tingkat paling bawah. Dibandingkan lembaga lain, DPD paling curam posisinya dengan persentase 55 persen. Data itu menunjukkan betapa keberadaan DPD sama sekali tak terlihat di mata masyarakat. Padahal, peran sesungguhnya ialah mewakili kepentingan daerah. Oleh karena itu, masyarakat harus tahu setiap langkah DPD karena sudah pasti pekerjaan itu selalu beririsan dengan masyarakat secara langsung.
Sembari berseloroh, para pengamat kenegaraan berujar kehadiran DPD tidak lebih sebatas aksesoris demokrasi. Bisa dibilang, lembaga tersebut antara ada dan tiada atau hidup segan, mati tak mau. Meskipun sebagian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalir tiap tahunnya ke lembaga tersebut, nyata-nyatanya kerja serta perannya tidak begitu tampak dan hingga kini masih dipertahankan demi formalitas belaka.
Bagaimana tidak, peran DPD yang nihil dalam merumuskan sebuah kebijakan terkonfirmasi dengan tugas dan fungsinya yang serba terbatas yang diberikan oleh konstitusi. Tidak mengejutkan bilamana terdapat anggapan bahwa DPD merupakan lembaga yang tak berkontribusi dalam menentukan arah bangsa.
Sebut saja, dalam hal pembentukan regulasi, ketimpangan hak antara DPD dan DPR terlihat sangat jelas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. DPD hanya berhak mengajukan dan membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan/pemekaran/penggabungan daerah, serta pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya. Belum lagi, keterbatasan haknya dalam RUU terkait APBN, pajak, pendidikan, dan agama yang hanya dibuka ruang untuk “memberi pertimbangan” kepada DPR, tidak lebih dari itu.
Dua fungsi pembentukan regulasi DPD dalam dua jenis RUU di atas pada intinya tidak memberikan hak kepada DPD untuk menyetujui dan mengesahkan RUU tersebut. Dalam tahapan pembentukan undang-undang, terdapat 5 jenjang proses, yaitu proses perancangan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/persetujuan, dan pengundangan. DPD hanya mempunyai tiga hak, yaitu perancangan, penyusunan, dan pembahasan. Tahapan yang justru paling menentukan—pengesahan/persetujuan—tidak mengikutsertakan DPD.
Jika dibandingkan dengan tupoksi yang dimiliki oleh DPR, kewenangan DPD sangat minim dan mengamini uraian sebelumnya bahwa keberadaan DPD hanya formalitas. DPD tidak mempunyai fungsi hak angket, hak budget, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat seperti DPR. DPD juga tidak berwenang memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden yang dikenal dengan sistem pemakzulan (impeachment). DPD tak diberikan hak oleh undang-undang untuk mengawasi lembaga lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan lembaga/badan lain yang lahir pasca Reformasi.
Masih banyak kewenangan DPR lainnya yang tidak dimiliki oleh DPD, yang pada akhirnya hanya membuat DPD tidak mampu bekerja secara optimal. Lalu, pertanyaannya, untuk apa membentuk sebuah lembaga yang tidak diberikan porsi kewenangan seperti selayaknya? Dari penelusuran yang saya lakukan, terdapat satu hal yang bisa menjelaskan mengapa kelembagaan DPD tidak dibentuk sedemikian rupa seperti halnya kelembagaan DPR.
Bikameralisme dan Eksistensi NKRI
DPD tidak diposisikan kuat seperti DPR karena ketakutan akan potensi ancaman terhadap eksistensi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sinyal itu terbaca ketika perdebatan amandemen konstitusi bergulir, khususnya saat merumuskan kewenangan DPD. Pihak yang kontra dengan keberadaan DPD menganggap DPD bakal merusak tatanan negara yang telah terbentuk sejak awal.
Pandangan itu menilai keberadaan DPD tidak kompatibel dengan teori negara kesatuan yang ingin memusatkan pelbagai aspek bernegara ke dalam kuasa pemerintah pusat. DPD di Indonesia berbeda dengan senat yang lazimnya lahir dari rahim negara federal seperti Amerika Serikat yang memberikan otonomi sepenuhnya kepada tiap daerah dalam merumuskan kebijakan.
Pandangan tersebut mempertentangan secara vis a vis antara DPD sebagai perwakilan daerah dan Indonesia yang bermukim dalam negara kesatuan. Secara sederhana, pandangan itu ingin mengatakan bahwa penguatan kelembagaan DPD dapat merongrong eksistensi NKRI dan sangat berpotensi memecah belah bangsa. Belum lagi jika memperhitungkan heterogenitas budaya yang sangat beragam yang jika tidak dikelola dengan baik, maka perpecahan itu tak mungkin terelakkan.
Pandangan itu paling banyak mewarnai perdebatan ketika perubahan amandemen konstitusi sedang berlangsung. Sikap waspada seperti itu pada akhirnya membuat kelembagaan DPD tidak terbentuk secara maksimal.
Kewaspadaan itu juga yang mengakibatkan sistem parlemen bikameral tidak bekerja sebagaimana mestinya. Parlemen bikameral merupakan sistem representasi dua kamar yang mewakili dua kepentingan, yaitu kepentingan politik dan kepentingan daerah. Sistem itu dimaksudkan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif secara berlapis, baik DPR maupun DPD, agar laku executive heavy seperti masa orde baru dapat teratasi.
Baca juga:
Menafsirkan Ulang DPD
Sama halnya seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPD ada, tetapi tidak mempunyai peranan signifikan dalam struktur pembuatan kebijakan. Apakah hal seperti itu harus dibiarkan begitu saja tanpa arah dan tujuan yang jelas sembari menunggunya menua dan mati dengan sendirinya?
Saran saya, konsepsi DPD ke depan ditingkatkan menjadi perwakilan daerah sekaligus pengawas pemerintah. Saya juga merasa anggapan bahwa penguatan DPD berpotensi menimbulkan perpecahan adalah anggapan yang paranoid. Buktinya, setelah asas desentralisasi diterapkan dalam sistem pemerintahan daerah, tidak pernah ada gejolak maupun konflik kedaerahan yang bermuara pada kehendak memisahkan diri dari NKRI.
Justru ketika daerah diberikan otonomi, mereka bisa merumuskan kebijakan sesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah tersebut tanpa campur tangan pemerintah pusat. Buktinya, pasca otonomi daerah diberlakukan, tiap-tiap daerah mampu secara otonom menggali dan menemukan kebutuhannya yang kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan daerah yang sesuai dengan kearifan lokal masing-masing.
Begitu juga DPD. Andaikan lembaga tersebut diberikan kewenangan secara penuh sama seperti DPR, teori pengawasan legislatif bakal bekerja secara maksimal. Eksekutif akan mendapat pengawasan secara berlapis dan berjenjang sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang lahir dari hasil penyaringan yang ketat. Selain itu, ketika keberadaan DPD diperhitungkan, maka DPR bisa menjadikan DPD sebagai sparing partner (teman bekerja) untuk mengawasi internalnya sendiri sekaligus lembaga eksekutif.
Salah satu tujuan lahirnya DPD adalah menyetarakan representasi politik di parlemen yang selama ini dikuasai oleh DPR melalui representasi teritorialnya. Setiap wilayah diwakili oleh 4 anggota DPD yang jika dijumlahkan dari 38 Provinsi se-Indonesia, maka terdapat 152 anggota DPD. Sementara itu, anggota DPR hasil Pemilu 2024 nanti akan sebanyak 580 orang.
Semangat menyetarakan legislatif berangkat dari teori representasi politik DPR yang selama ini didominasi perwakilan dari Jawa sebanyak 60%. Teori representasi DPR itu dikoreksi melalui teori perwakilan DPD yang mendorong konstitusi untuk memberikan representasi yang setara bagi setiap provinsi lewat empat anggota DPD. Namun, memang harus diakui bahwa representasi DPD baru menjawab teori representasi ruang dan belum mampu menembus kesamaan dalam hal fungsi dan wewenang dengan DPR.
Sistem perwakilan dua kamar (bikameralisme) lebih menjamin pelaksanaan fungsi pengawasan, baik terhadap eksekutif maupun DPR dan DPD selaku legislatif itu sendiri. Bila pengawasan dijalankan secara ketat, maka probabilitas potensi perilaku penyelewengan eksekutif semakin dapat dikendalikan. Oleh sebab itu, memperkuat kewenangan DPD adalah sebuah keniscayaan mengingat kinerja DPR selama ini kurang memuaskan. Anggota DPR lebih banyak bekerja di bawah kendali kepentingan partai politik, berbeda dengan anggota DPD yang berangkat sebagai senator secara independen tanpa keterlibatan partai politik.
Baca juga:
Menambah porsi kewenangan DPD dalam pembentukan regulasi sekaligus memperbesar peran pengawasan DPD terhadap lembaga negara lain adalah kebutuhan. Kalau tidak ingin menyetarakan kewenangan DPD dengan DPR, maka DPD harusnya dibubarkan demi menjamin efektivitas kelembagaan negara.
Percuma mempertahankan DPD sebagai lembaga negara tanpa memberinya kewenangan yang signifikan. Lebih baik DPD dibubarkan secara permanen sekalipun berimbas pada kosongnya keterwakilan daerah dalam sistem perwakilan Indonesia. Buntutnya sudah pasti akan berpengaruh pada lanskap kepentingan daerah. Membubarkan DPD sama dengan mengkhianati amanat Reformasi. Membubarkan DPD adalah langkah yang ahistoris.
Editor: Emma Amelia