RUMAH TANGGA
di pundak anak pertama
pondasi rumah aman disangga
di dada anak lanang
rimbun rahasia tersimpan tenang
anak gadis kita sibuk mengutuk cuaca
sementara televisi di dalam kepalanya
terus menyala tanpa jeda
menyiarkan drama remaja
yang sepenuhnya sempurna
anak-anak di dada ibu yang karyawan
menangis memohon akhir pekan
orang dewasa di kepala bapak
yang seniman
murung menatap masa depan
perempuan di kaki rumah tangga
hulubalang merawat cacat
mencatat setiap riwayat
laki-laki di kursi kemudi
sibuk meramal tragedi
dan hal percuma lainnya
ingatan tentang dapur
yang mengabur
rak kosong dan lapar
yang tak mungkin ditawar
sisakan jeda panjang
pada padat ibukota
fantasi hari tua berdebu di meja kerja
mati berkali-kali
meski masih tanggal muda
harga-harga yang beterbangan
di antara awan
sisakan hampa di permukaan wajan
kita pasang senyum dalam pigura
memakunya di dekat jendela
biar bahagia jadi milik tetangga
demi meredam tajam kata
pulang ke palung paling pura-pura
di jantung rumah kita
–
IKAN DI LAUTAN
tidur-tidurlah, dengan mata terbuka
esok kita harus kembali menyala
berkawin dengan arus yang pengap
semakin dalam, semakin gelap
–
MENGEJAR ENTAH
hanya bayang-bayang
berdansa di gerbong kereta
kemeja dan keringat
bersekongkol ciptakan penat
lelah meledak di kepala mereka
orang-orang tak bernama
mati-matian mengejar entah
mati perlahan,
dalam perjalanan menuju rumah
hanya tampak kantung-kantung mata segelap malam
dan tak seorang pun
menyimpan jawaban
untuk gelisah di jantung sendiri
kerumunan hilir mudik
bagai pasir disapu ombak
matahari tenggelam di antara
langkah yang tergesa
menuju akhir pekan,
atau warna merah lainnya
pada tanggal-tanggal yang tersisa
hanya ngilu pada pangkal tulang
punggung sampai ke pinggang
terbakar di depan layar
menata urusan yang tak kunjung kelar
angka-angka meleleh di ujung jarum jam
waktu yang sombong berlari tanpa henti
sementara orang-orang
semakin larut dalam peran
‘menjadi apa pun asal bukan diri sendiri’.
–
DAN SETERUSNYA DAN SETERUSNYA
pada rimbun mimpi-mimpi
yang telah menjadi asing itu
kubaringkan tubuh remajaku
menjauh dari hal-hal yang tak nyata
menjadikannya ledakan ribut
yang lekas surut di dasar selimut
bak badai waktu di pagi buta
menyapu gemerlap ke dalam gelap
menyisakan sedikit saja rasa percaya
pada kitab-kitab dan dogma lainnya
lalu sisanya hanyalah karat-karat ingatan
yang lekas padam seperti pesta
dan tak ada yang lebih setia
daripada sepi di dada sendiri
bahkan nanti saat pagi kembali lagi
membangunkanku dari mimpi yang sama
pada hari baru yang masih belum terjadi
–
SEPASANG MATA
keping warna dari remang lampu kota
pada jalanan yang terlalu kita kenali
bayang-bayang menari di ujung gelisah
gairah membeku dalam kisah yang lalu
rindu menjelma tiara tanpa pemilik
tergeletak di sebuah bangku taman
kudus yang menyempal di rawan ingatan
terlanjur hancur dilumat karat
sempurna ia kehilangan tuan
di batas tentram dan kecamuk begini
setiap dusta tampak cemerlang
semacam anestesi sementara
bagi pedih yang tak mungkin pulih
tapi aku belum cukup gila, rupanya
untuk melihat suatu yang tak ada:
sepasang mata kembali
rambati teduh mimpi
(Tanjung Karang, 1/5/2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA