Mengapa Tuhan Kita Diam Saja?
ada hal-hal yang tak bisa kita perbincangkan di sini, di kamar ini, malam ini
mari tertawa saja sebelum kita mati meski harus menahan-nahan tangis tiap hari
demokrasi menjanjikan petani bisa jadi raja dan anak raja bisa berakhir di sel penjara
dan kita berdua berakhir malam ini, di kamar ini, di sini—kita bukan anak raja atau petani
haruskah kita tidak pergi haji agar merawat mimpi itu bisa membuat kita bertahan hidup seperti pemilik toko keramik?
aku tidak ingin hidup terlalu lama
dan kamu tidak ingin mati terlalu cepat
kita berdebat panjang tentang mana yang lebih terkutuk di antara keduanya
Tuhan mungkin tertawa—mengapa Ia tertawa jika Ia hidup selamanya?
apakah Tuhan pernah kecewa walau sekali saja?
sekali-kali kita berdua memikirkan hal itu hingga ketiduran di atas meja
dan buku-buku yang masih terbuka, dan gelas-gelas yang belum habis, dan waktu yang tak pernah sama
saat terbangun pertama kali, kita memastikan jantung masing-masing masih tetap berdetak
suatu saat, siapa pun yang masih hidup di antara kita berdua akan mengenang yang mati
“atau melupakannya,” katamu, “hidup adalah jebakan belaka, kita berkali-kali mencoba menghindarinya.”
(Jakarta, 2022)
Di Hari Aku Mati
di hari aku mati
kamu diam-diam mengunjungi
sepetak tanah yang baru digali
untuk segera ditutup lagi
aku mendengar suaramu
dan bunga-bunga yang masih basah
diam-diam kamu berdoa
semoga bunga ini ikut juga
mendoakan keselamatanmu
hingga ia layu
keselamatan apa yang
kita harapkan dari akhir yang
seperti ini?
(Jakarta, 2022)
Apalagi Setelah Hari Ini?
katamu kita tak bisa hanya berharap
kita lihat saja lampu mati satu-satu
dan kotamu jadi uap yang sejenak kentara—juga kotaku
namun tak ada lagi yang bisa kita rayakan di sini
selain radio yang tak henti-hentinya
yang tak lelah-lelahnya berusaha menemani
katamu kita tak bisa hanya berharap
namun kau diam saja saat kutanya
apalagi setelah hari ini, jika berharap pun tak mampu?
Jakarta, 2021
Memungut Langkah-langkah
setelah hari ini tiada yang perlu berduka-duka lagi
sebab pergi yang tak kembali melarutkan segala cemas
bersama air mata yang membasahi kerah baju di kedua sisi
dan bayangan hari kemarin yang riuh, ramai, dan jelas
marilah nanti sore kita membawa ingatan yang utuh
menaburkan detik demi detik bersama kembang yang basah
dan sebelum magrib, seiring juga lagu yang satu per satu luruh
kita pulang memungut langkah-langkah yang lelah
(Rabat, 2019)
Kepingan Kaca
kita akan sakit dan diam-diam sekarat
dan sambil menunggui itu
kita memunggungi segala luka
menutupi segala bilur di dada
hingga pelan kita berbisik
kesempatan hanya kepingan kaca yang sempit
dan waktu tak banyak membantu