Mengapa Kerja Keras Tidak Membuat Kita Sejahtera?

Fariduddin Aththar

5 min read

Pertanyaan utama yang sebenarnya diajukan oleh James Suzman dalam bukunya yang berjudul Work adalah mengapa kita terus bekerja keras? Mengapa kehadiran mesin dalam revolusi industri tidak membiarkan kita beristirahat? Mengapa otomatisasi tidak menjadikan kita sejahtera? Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin berada dalam lingkup ekonomi, karena memang diawali dari hipotesis yang memprediksi kesejahteraan manusia oleh mesin. Namun, sampai saat ini, kita tidak melihat kesejahteraan apa pun. Bahkan, kita bekerja lebih keras daripada di masa lalu. Kenapa?

Suzman, sebagai antropolog, berusaha menjelaskan fenomena itu dalam cara yang lebih kompleks, entah kalau mau disebut komprehensif. Suzman membagi pemikirannya dalam empat bagian: Permulaan, Lingkungan Serba Ada, Bekerjasama di Lapangan dan Makhluk-Makhluk Kota.

Portrait of James Suzman

Di bagian pertama, Suzman mencoba meletakkan spesies manusia sebagai bentuk asalinya: makhluk hidup yang terus-menerus berevolusi. Sebagai makhluk hidup, kita menyerap energi dan menggunakan energi itu untuk mencari energi lain. Sebagaimana tumbuhan menggunakan dedaunan untuk menangkap sinar matahari. Sebagaimana hewan-hewan saling menyergap untuk memangsa satu sama lain. Manusia, juga seperti itu. Energi yang kita tangkap tidak serta-merta berdiam di dalam dan membuat tubuh kita bengkak. Musti ada aktivitas yang kita lakukan untuk menghabiskannya. Bahkan, Suzman membandingkan manusia dengan burung penenun bertopeng yang capek-capek membuat sarang, namun kalau gagal memikat betina, sarang itu akan dihancurkannya sendiri. Itu juga bagian dari upaya menghabiskan energi. Lalu, apa yang dilakukan manusia? Kita mengembangkan aktivitas berburu-meramu (food gathering and hunting) untuk menghabiskan energi dalam tubuh sembari mencari sumber-sumber energi baru.

Proses pengumpulan energi pertama inilah yang kemudian mengembangkan kemampuan kognitif kita lebih cepat: kita membuat alat dari batu-batu dan kayu, kita mulai memakan makhluk hidup lain. Sayangnya, daging membuat usus herbivora kita kesakitan. Lagipula, otak manusia yang lebih besar dari primata lain juga membutuhkan lebih banyak energi. Maka, revolusi pertama itu dimulai dengan ditemukannya api. Memasak membantu pencernaan kita dan prosesnya menjadi lebih cepat: asupan otak menjadi lebih terjamin. Dalam bagian pertama buku ini, Suzman ingin mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang evolusinya berasal dari kerja; upaya untuk menghabiskan energi sekaligus mengumpulkannya kembali. Oleh karenanya, kita tidak mungkin berhenti. Kita musti terus mengulanginya sampai mati. 

Di bagian kedua, Suzman mengkonfrontasi secara langsung premis para ahli ekonomi yang selama ini melegitimasi disiplin ilmu mereka di balik premis kelangkaan: bahwa harga-harga komoditas rendah dan tinggi ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Nyatanya, masyarakat-masyarakat tradisional tidak benar-benar memiliki kebutuhan yang tinggi sehingga permintaan mereka terhadap energi akan selalu mudah terpuaskan. Begitu pula, ketika berhadapan dengan alam dan lingkungan, mereka tidak mengambil terlalu banyak. Antropolog di seluruh dunia setuju bahwa masyarakat adat menjaga lingkungan mereka dengan sangat amat hati-hati agar tidak ada kerusakan yang menyebabkan masalah kelangkaan. Nyatanya, sumber daya untuk energi manusia tidak akan pernah langka, selama tidak ada satu pihak yang berusaha untuk memonopoli dan menguasainya. 

Dengan begitu, jawaban untuk masalah kelangkaan yang selama ini menjadi premis disiplin ilmu dan tindakan ekonomi seharusnya sudah terjawab. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mudah puas dan tidak menuntut lebih banyak dari alam tempat tinggal mereka. Namun, upaya untuk mengelola dan mengendalikan alam, entah mengapa, selalu ada dalam pikiran manusia.

Di bagian ketiga, Suzman mencoba beralih pada revolusi kedua manusia: pertanian. Beberapa ahli mungkin akan menganggap bahwa pertanian berkembang seiring dengan domestikasi manusia dalam tempat tinggal permanen. Namun, manusia membuat sendiri problem kelangkaan mereka dengan menganggap bahwa menanam langsung dan memelihara tumbuhan pangan akan membantu mereka tidak berlelah-lelah melakukan perburuan. Bahwa, dengan bertani, mereka akan memiliki lebih banyak waktu luang.

Impian itu dengan segera terbuyarkan manakala mengetahui bahwa bertani benar-benar sesulit itu: mereka berperang melawan hama, membaca alam dari musim ke musim, bahkan perlu memasang pagar untuk keamanan dari sesama manusia. Akhirnya, pertanian juga tidak memberikan kita waktu luang. Untuk itu, manusia kemudian memaksa hewan-hewan untuk menjadi domestik: anjing untuk menjaga rumah, kuda untuk transportasi, hingga sapi dan ternak lain untuk membajak dan mengangkut hasil panen. Pertanian juga menjadi basis utama penciptaan pusat-pusat peradaban: kota-kota besar. 

Di bagian empat, Suzman membawa kita pada fakta yang mungkin lebih dekat dengan kondisi saat ini. Setidaknya, kondisi di mana tidak semua manusia musti bertani subsisten untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan memang, kota lahir setelah pertanian dianggap sukses ketika surplusnya cukup untuk menghidupi profesi-profesi yang tidak menghasilkan energi baru. Namun, dari kota-kota pula, masalah ekonomi muncul kembali: bahwa manusia mulai menciptakan aspirasi yang tak henti-hentinya akan status, kelas, strata; antara hubungan diri kita dengan yang lain. Suzman mengutip pemikiran Durkheim tentang anomi yang menjadi penyebab utama fenomena bunuh diri. Manusia menjadi tak tahu diri dan memiliki aspirasi berbagai rupa. Kita saling mengejar dan berlomba-lomba, hanya untuk menyadari bahwa kita tak pernah terpuaskan. 

Hal itu pula yang kemudian digunakan dengan sangat baik oleh para kapitalis ketika mengembangkan sistem manajerial. Mereka menawarkan gaji berlimpah hanya untuk “talenta-talenta top” yang cocok untuk menerimanya. Suzman menunjukkan langsung bahkan ketika serikat buruh mencoba untuk mengurangi jam kerja secara berangsur-angsur dari 12 jam, 8 jam, hingga 6 jam sehari, masih ada orang-orang tak terpuaskan yang mencoba menambah lembur hanya untuk lebih banyak remahan roti. Perjuangan kelas proletar jadi tak berguna manakala masih ada yang menganggap kapitalis penuh surplus itu pantas menerima gaji berpuluh kali lipat besarnya dari kerja biasa mereka. 

Pada akhirnya, orang-orang upahan ini mati. Pekerja-pekerja kelelahan dengan jam kerja berlebihan, hanya untuk membayar kehidupan sehari-hari. Masyarakat di Asia Timur menyebutnya kaori atau karoshi, namun kita menyebutnya secara lebih umum dengan istilah workaholic. Ini adalah fenomena nyata tentang bagaimana kerja sudah lepas dari esensi kehidupan, sehingga menyebabkan kematian. Kerja juga bukan lagi dianggap sebagai upaya memenuhi kebutuhan biologis (mengumpulkan dan menghabiskan energi), tetapi juga cinta, passion, hobi, bahkan ideologi. Meski begitu, manusia, dengan segala kreativitasnya, bahkan tidak berhenti menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru. David Graeber menyebutnya sebagai bullshit jobs: kerja-kerja tak produktif, tak efisien, bahkan tak memiliki makna. Semua itu hanya dilakukan hanya agar manusia tidak berhenti bekerja. 

Lalu, dengan segala kemajuan ekonomi dan kompleksitas pekerjaan, apakah manusia mencapai kesejahteraan? Suzman menggeleng. Disparitas ekonomi begitu besar dan jurang kesejahteraan menganga begitu lebar antara mereka yang kaya dan miskin. Untuk menutupi lubang itu sedikit demi sedikit, beberapa skema dikembangkan: pajak kekayaan alih-alih pajak pendapatan, pemasukan dasar yang sifat universal (UBI), dan pemenuhan hak-hak dasar untuk semua orang. Suzman menutup buku ini dengan mengatakan bahwa manusia tak akan benar-benar berhenti bekerja. Akan selalu ada upaya untuk memenuhi kapasitas kita sebagai makhluk hidup yang asasi. Namun, untuk mencapai kesejahteraan sebagaimana yang diidam-idamkan Keynes, manusia perlu menyadari batas rasa puasnya dan mengambil sedikit waktu luang untuk beristirahat. 

 

Kitab Evolusi

Sebagaimana antropolog pada umumnya, Suzman tidak memisahkan antara evolusi fisik manusia dengan kebudayaannya. Apa yang dilakukannya dalam buku ini merupakan semacam gabungan antara kerja Yuval dalam Sapiens dan Richard Leakey dalam Origins. Perbedaan mendasarnya tentu saja adalah lingkup bahasannya: Yuval menyoroti kemajuan kebudayaan manusia yang berhasil menciptakan peradaban, sedangkan Leakey menulis satu per satu kemajuan evolusi manusia dari leluhur primatanya. Namun, Suzman tidak seperti keduanya. Suzman adalah penulis yang tidak memiliki posisi teoretis atau politis apa pun.

Yuval, harus diakui, cukup optimistis. Ia menyadari potensi tak habis-habis dari spesies kita ini dan mengungkap bahwa tujuan genetis kita telah beralih: tak lagi menciptakan keturunan yang akan mewariskan ingatan kita, tetapi benar-benar akan hidup abadi. Ia benar-benar kagum akan kemajuan medis modern kita yang berhasil meningkatkan peluang hidup dari 40 tahun saja hingga 80-90 tahun. Yuval yakin dengan pasti bahwa kemajuan ini tak akan berhenti: suatu saat nanti, akan ada cara untuk mewujudkan keabadian.

Leakey, setidaknya, juga begitu. Evolusi manusia dari pohon ke pohon kemudian berubah drastis manakala kita memutuskan berjalan di atas dua kaki, begitu pula pilihan untuk mengonsumsi daging dan menjadi omnivora. Setidaknya, pilihan-pilihan penuh risiko itu diambil karena manusia mencoba untuk terus beradaptasi dengan lingkungannya.

Suzman, rasanya, tidak begitu. Ia mengajukan pertanyaan ekonomi bukan untuk menjawabnya, namun mempertanyakannya kembali: untuk apa sih sebenarnya kita bekerja? Apakah kita benar-benar ingin bekerja? Kapan manusia akan berhenti bekerja?

Maka, Suzman mencoba menyingkap tujuan demi tujuan dari apa yang kita lakukan, baik sebagai organisme biologis maupun makhluk sosial. Bahkan ketika menemukan jawabannya, ia masih merasa tak puas. Seolah-olah menutup buku untuk mengakhiri percakapan karena sudah lelah menulis 400-an halaman. Seolah-olah kerja antropologinya tak menemukan jawaban karena manusia tidak berhenti berevolusi. Itu karena, dari penelusuran yang saya lakukan, adalah karena dia tidak memiliki posisi. Dia tidak bersandar pada titik teoretis atau politis apa pun. Dia hanya menyingkap kerja dan asal-usul manusia lalu menyerahkannya pada ilmu pengetahuan. Mengembalikan buku pada raknya yang semula. 

Padahal, banyak pemikiran penulis materialisme yang dia kutip: salah duanya adalah Sahlins dan Graeber. Karl Polanyi pula, meskipun hanya dipengaruhi oleh Marx. Setidaknya, setengah kedua buku Work adalah upayanya untuk langsung mengkonfrontasi teori-teori ekonomi. Dengan begitu, dia akan berdiri di posisi rekan-rekan antropologisnya yang materialis dan mampu menakar ketimpangan apa yang menjadi penyebab kerja manusia. Meski begitu, dia tetap memandang manusia sebagai individu terpisah, yang kebanyakan bersalah atas aspirasi mereka sendiri dan seharusnya memahami batasan. Bahwa kalau memang manusia memilih untuk merepotkan diri mereka sendiri dengan kerja, dengan upah rendah, dengan sistem yang menghimpit mereka hingga bunuh diri, manusia musti menerima risiko itu atas pilihannya sendiri. 

Lalu apakah manusia akan kembali pada rutinitas berburu dan mengumpulkan makanan sebagaimana yang ia teliti di gurun selatan Afrika? Sebagaimana masyarakat Ju/’hoansi? Nyatanya sudah tidak bisa. Tidak semua orang akan bisa melakukan pertanian dan tidak semua kelas masyarakat mau berlumpur tanah menggali cacing-cacing. Lagipula, Suzman juga tidak menawarkan itu. Dia hanya menawarkan sejarah “kerja-kerja” manusia dan menyerahkannya pada pembaca. Pada peradaban manusia yang terlanjur berkembang dan memiliki jurang besar ketidaksejahteraan, dia lepas tangan.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Fariduddin Aththar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email