Professional Google Map Reader

Mengapa Kebanyakan Logo Halal Begitu-begitu Saja?

Agus Ghulam Ahmad

1 min read

Semalam saya kembali makan cokelat Roka setelah sekian lama, dan penasaran, bagaimana logo halal diaplikasikan pada bungkus makanan sekecil itu? Apakah bahkan ia akan tampak? Saya pikir tidak, dan saya salah. Tidak tampak jelas memang, tapi saya masih bisa membaca tulisan حلال dalam lingkaran kecil. Andai saja tulisan Majelis Ulama Indonesia dalam bahasa Indonesia maupun Arab dipreteli, mungkin tulisan حلال akan makin kentara.

Logo Halal versi MUI dan Kemenag yang baru

Kemenag baru saja merilis logo halal baru, hanya dengan melihatnya sekilas orang-orang akan mendapati bentuk Gunungan seperti yang biasa dipakai dalam wayang. Namun, saya nyaris tidak bisa membaca tulisan حلال jika saja di bawahnya tak ada tulisan HALAL INDONESIA. Kemenag memakai khat kufi (salah satu model kaligrafi Arab) yang memang sering dipakai untuk logo karena bisa dibentuk beragam, seperti lafal Allah yang dirangkai membentuk kristal dan mirip logo album Dewa.

Cover album Laskar Cinta Dewa

Jika logo halal yang baru itu ada di bungkus Roka, mungkin di awal saya akan mengiranya logo dari Kemenparekraf ketimbang Kemenag, karena unsur budaya dan lokalitasnya lebih kental ketimbang unsur religinya. Karena itu, saya merasa lebih cocok dengan logo halal yang konvensional. Dan sepertinya rata-rata muslim di dunia juga sependapat, hal itu terwujud dalam logo halal mereka.

Kita bisa perhatikan logo-logo halal di negara berpenduduk mayoritas muslim hingga minoritas bentuknya begitu-begitu saja, mirip-mirip logo halal MUI yang lama. Ada empat standar logo halal yang saya temukan: 1) pencantuman kata halal yang jelas, 2) penggunaan dominasi warna hijau, 3) tambahan ornamen keislaman seperti bulan sabit atau mozaik Islam, dan 4) nama negara.

Logo-logo halal tiap negara

Format radikal dari logo halal tiap negara relatif minim. Malahan hampir-hampir tidak ada yang menyematkan identitas negara secara khusus selain nama negara. Paling-paling ada yang menambahkan peta negara (seperti New Zealand) atau ikon negara (seperti Jepang), dan jumlahnya bisa dihitung jari. Tambahan tersebut juga tidak menutupi standar logo halal yang saya sebutkan sebelumnya.

Logo Halal New Zealand

Mungkin baru Indonesia yang mendesain logo halal dengan pertimbangan filosofis, alih-alih praktis, seperti yang diungkapkan Kepala BPJH Muhammad Aqil Irham, “Bentuk Label Halal Indonesia terdiri atas dua objek, yaitu bentuk Gunungan dan motif Surjan atau Lurik Gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas. Ini melambangkan kehidupan manusia.”

Lalu mengapa negara lain tidak melakukan pendekatan filosofis seperti ini? Dan lebih memilih logo yang monoton dan membosankan? Jawaban sederhananya, karena umat Islam hanya butuh informasi bahwa produk yang mereka makan halal, bukan memikirkan makna di balik logo tersebut. Jadi yang lebih penting adalah kejelasan informasi daripada keindahan gaya.

Karena itu juga banyak logo halal tidak memasukkan identitas negara terlalu dominan. Karena logo halal diperuntukkan jelas untuk umat Islam, maka sebanyak mungkin identitas keislamannya lebih dominan dari yang lain (tulisan halal Arab, warna hijau, bulan sabit, dsb). Jadi tidak mengherankan jika kebanyakan logo halal bersifat global ketimbang lokal. Hasilnya, orang di luar negara tersebut akan lebih mudah mengidentifikasi logo halal karena relatif serupa.

Namun, sepertinya Kemenag lebih memilih bersusah-susah sosialisasi logo halal baru beserta filosofi di baliknya, ketimbang memudahkan masyarakat untuk memilih produk halal di pasar. Logo halal yang baru juga bisa jadi pelajaran baik untuk orang-orang di luar pulau Jawa, bahwa meskipun Ibu Kota Negara nanti pindah ke Kalimantan, Indonesia tetap berpusat di Jawa dan sekitarnya.

Jakarta, 2022

Agus Ghulam Ahmad
Agus Ghulam Ahmad Professional Google Map Reader

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email