Kita bisa bertahan karena petani menyokong pangan bagi penghidupan masyarakat secara keseluruhan. Petani berkontribusi begitu besar terhadap berlangsungnya peradaban manusia sampai hari ini.
Pandangan itu terinspirasi dari pengalaman ribuan tahun dan masih akan terus relevan ke depannya dengan krisis pangan yang membayang-bayangi. Ancaman krisis pangan ini membuat negara-negara mengambil sikap lewat berbagai kebijakan untuk mencegah kemelaratan yang akan muncul bila krisis terjadi.
Membicarakan kebijakan pencegahan krisis pangan, sudah semestinya petani dilibatkan sebagai subjek ekonomi dan politik. Petani tidak bisa hanya ditempatkan pemenuh kebutuhan pangan yang hanya tahu urusan bercocok tanam dan beternak, tetapi juga faksi masyarakat sipil yang aktif mencegah gejolak yang berujung pada konflik kekerasan karena krisis pangan.
Namun, di Asia Tenggara ini kehidupan agrarisnya mulai digerogoti agenda-agenda kapitalisme, kalah saing dengan sektor lain yang lebih cepat untung. Dinamika ekonomi global dan kawasan, juga ragam rupa perkembangan negara lain yang kian terintegrasi satu sama lain menggerus secara perlahan basis kehidupan agraris di pedesaan.
Ini secara kasat mata dapat dilihat dari kebijakan negara yang memilih ekonomi ekspor di sektor pertambangan, gas, minyak, dan properti. Semua itu lebih dipilih ketika sektor pangan jelas-jelas menjadi elemen yang sangat menentukan keberlanjutan peradaban. Lalu, yang kian ironis, pemerintah Indonesia justru melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam. Padahal, bisa saja tidak impor kalau di dalam negeri pemerintah dapat mendorong peran petani untuk mengelola pertanian secara lebih intensif.
Sepanjang tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi impor beras per bulan Oktober sebanyak 311.349.115 kg, melonjak 2.299,68% dibandingkan tahun 2022 yang “hanya” 12.999.012 kg. Kemudian, sepanjang Januari hingga Oktober 2023, volume impor beras tercatat 2.098.342.325 kg, melonjak lagi sebesar 595,49% dibanding tahun 2022. Beras impor itu paling banyak berasal dari Thailand dan disusul Vietnam.
Data itu mengungkap sekurangnya dua masalah. Pertama, lemahnya peran negara dalam sektor pertanian untuk menggenjot produksi beras dalam negeri. Kelemahan ini juga diperparah dengan praktik korupsi dan suap-menyuap di Kementerian Pertanian hingga melibatkan beberapa petingginya seperti mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono, dan Muhammad Hatta, selaku Direktur Alat dan Mesin Pertanian.
Kedua, gawatnya eskalasi konflik agraria di pedesaan karena perampasan tanah secara terbuka oleh negara dan korporasi untuk keperluan investasi pembangunan, misalnya di Pulau Rempang, Wadas, Wae Sano, Poco Leok, dan beberapa tempat lain. Konflik diperparah dengan adanya praktik mafia tanah yang makin menyingkirkan warga petani dari sektor pertanian lantaran tak punya lahan. Dari sini, terlihat bahwa di aras bawah terjadi gejolak yang menimbulkan guncangan ekonomi bagi penghidupan petani dan masyarakat kelas bawah secara keseluruhan.
Baca juga:
Deagrarianisasi
Indonesia dapat dikatakan tengah mengalami deagrarianisasi, yakni tren merosotnya peran pertanian bagi perekonomian nasional dan sumber penghidupan. Deagrarianisasi tengah mengimpit penghidupan petani dan menjungkirbalikkannya hingga melahirkan ancaman krisis pangan.
Situasi seperti ini harusnya dibaca secara serius oleh negara. Ancaman krisis pangan harus diantisipasi sebaik-baiknya, bukan hanya mengandalkan solusi sesaat seperti mendorong kebijakan impor beras yang justru dapat melumpuhkan penghidupan petani dalam negeri. Negara wajib mendorong penguatan, pemberdayaan, dan partisipasi petani agar lebih maksimal memproduksi pangan hingga mampu menggenjot ekonomi nasional.
Maraknya impor produk-produk pertanian membuat regenerasi petani terancam mandek. Anak muda meninggalkan sektor pertanian karena penghidupan dari sektor lain lebih menjanjikan.
Data survei melalui aplikasi JakPat Katadata bertanggal 14 Oktober 2022 yang melibatkan 139 orang responden pada rentang usia 15 – 26 tahun menunjukkan sebanyak 33,3% responden menilai bidang pertanian penuh risiko. Sementara itu, sebanyak 20% responden menilai pekerjaan di bidang pertanian memiliki pendapatan kecil, lalu 14,8% merasa tidak dihargai, dan 12,6% menganggap sektor pertanian tidak menjanjikan. Temuan ini sangat membuat orang mempertanyakan masa depan Indonesia sebagai negara agraris.
Penghidupan Petani di NTT
Bentuk-bentuk deagrarianisasi itu juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur bersamaan dengan usaha pemerintah pusat menggenjot sektor pariwisata di sini. Namun, belum terlambat bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk merangkul lagi pertanian NTT.
Pemerintah bisa mulai dengan menunjukkan keberpihakan negara kepada petani di NTT. Keberpihakan dapat ditunjukkan, misalnya, dengan menyiapkan anggaran yang lebih besar untuk dialokasikan ke sektor pertanian. Anggaran ini kemudian bisa dibelanjakan untuk menjamin akses petani ke pupuk, bibit, alat-alat pertanian, juga modal untuk mengelola usaha pertanian.
Kemudian, pemerintah perlu mendorong tata kelola pertanian yang menggunakan pendekatan bottom-up. Dengan begitu, titik berat tata kelola pertanian ada pada kebutuhan riil petani dan berbagai masalah pertanian yang mereka hadapi sehari-hari. Selama ini, beberapa kebijakan di sektor pertanian justru kerap mengabaikan persoalan riil petani dan, apesnya, lebih menguntungkan para middle men. Untuk itu, pentingnya pendekatan bottom-up ini tak bisa diganggu gugat apabila pemerintah ingin mengenali secara langsung penghidupan para petani NTT.
Terakhir, sekalipun impor produk pertanian terasa mustahil untuk diberhentikan total, pemerintah setidaknya bisa pelan-pelan menguranginya sambil menguatkan produksi pangan dalam negeri. Kebijakan pengurangan impor pangan dampaknya akan menjalar hingga perbaikan penghidupan petani dan keberlanjutan titel negara agraris bagi Indonesia.
Sektor pertanian harus diberdayakan, titik. Sektor pertanian harus diintensifikasi, petani harus disejahterakan, dan upaya menghentikan deagrarianisasi harus disegerakan. Sebab, hanya dengan bermodalkan sektor pertanian yang berdaya itulah kita akan mampu mengantisipasi krisis pangan, bahkan menghindarinya.
Editor: Emma Amelia