Perempuan Madura yang sedang berkuliah di Universitas Brawijaya.

Mendengar Bualan Ajo Sidi

Aurelya Pratiwi

2 min read

Menjadi hamba yang taat dan mampu mengabdikan diri kepada Tuhan sepenuhnya memang menjadi impian semua manusia yang beriman, tetapi Anda terlebih dahulu perlu mendengar bualan Ajo Sidi.

Robohnya Surau Kami adalah salah satu karya yang membuat saya berpikir ulang tentang konsep “jalan menjadi manusia yang beriman” karena begitu menohoknya tulisan A.A. Navis. Meskipun judul atau kutipan cerpen ini cukup sering disebut di buku-buku sekolah, saya masih merasa kaget sekaligus terkesan dengan kegamblangan kritik yang secara tersurat dan tersirat dimunculkan melalui kegelisahan tokoh utama. Kritik-kritik tersebut rasanya masih tetap relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia hingga saat ini.

Baca juga: Membunuh Dua Harimau

Cerpen ini berkisah tentang seorang Kakek yang menjadi garin (penjaga) dari suatu surau. Kakek merupakan sosok yang saleh—taat beribadah, selalu berbuat baik, dan menyerahkan diri sepenuhnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Begitulah kepercayaan Kakek tentang dirinya. Hingga, suatu hari Kakek terlihat bermuram durja. Rupanya Kakek telah mendengar bualan cerita Ajo Sidi.

Ajo Sidi merupakan seorang pembual yang bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh, tetapi kali ini berbeda. Kepada Kakek, Ajo Sidi bercerita tentang seseorang bernama Haji Saleh. Di akhirat, saat Tuhan Allah dan malaikat memeriksa dosa dan pahala manusia, Haji Saleh menyombongkan diri karena saat di dunia ia merasa telah melaksanakan semua perintah Allah. Saat ditanya oleh Tuhan tentang pekerjaannya di dunia, Haji Saleh menjawab hal-hal yang menurutnya bisa membawanya ke surga, seperti selalu menyembah Tuhan, tak pernah berbuat jahat, serta selalu beribadat dan menyebut nama Tuhan bahkan di keadaan sulit. Ternyata jawaban-jawaban ini justru membawa Haji Saleh ke neraka.

Haji Saleh semakin tercengang saat melihat kawan-kawannya yang juga sama taatnya dalam beribadah, bahkan ada seseorang bergelar Syekh yang ia temukan di neraka. Akhirnya, bersama orang-orang yang juga keheranan di neraka, mereka, dipimpin Haji Saleh pergi menghadap Tuhan agar Tuhan meninjau kembali hukuman mereka dan memasukkan mereka ke surga sebagaimana janji Tuhan dalam kitab-Nya.

Dialog dengan Tuhan

Saat mereka bertemu Tuhan, terjadilah sebuah dialog yang ternyata semakin memperjelas alasan mereka masuk ke dalam neraka. Di dialog itu, Tuhan menanyakan di negeri mana mereka tinggal. Mereka pun menjawab Indonesia. Tuhan melanjutkan pertanyaannya dengan menyebut bahwa apakah Indonesia adalah negara yang memiliki tanah subur, tetapi pada saat yang sama penduduknya sendiri melarat karena lama diperbudak. Tuhan juga menanyakan apakah negeri ini selalu kacau karena manusia dengan manusia yang lain selalu berkelahi di saat tanahnya dimiliki oleh orang lain. Haji Saleh menjawab bahwa urusan harta-benda tak penting, tak mengapa anak-cucu melarat, asal terus menyembah dan memuji Tuhan. Tuhan pun menjawab.

“Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!” (hlmn. 12)

Pada bagian ini, saya begitu merasakan kuatnya satire A.A. Navis terhadap perilaku-perilaku manusia yang mengaku dirinya beriman, tetapi lalai bahkan lupa atas tugas-tugas kemanusiaan. Luput dari pikiran mereka bahwa di saat mereka menyibukkan diri dengan urusan pribadinya mengejar surga, orang-orang di sekitarnya justru sedang kesusahan dan ironisnya mereka merasa kesusahan orang lain bukan urusan mereka karena yang terpenting adalah urusan menyembah Tuhan. Bukan berarti menyembah Tuhan adalah hal yang sia-sia, tetapi cerpen ini mencoba memberi tahu bahwa persoalan umat manusia hendaknya juga tak luput dari urusan kita.

Relevansi 

Kisah itu pertama kali terbit puluhan tahun yang lalu, tetapi pemikiran-pemikiran Haji Saleh masih dapat kita temukan pada manusia Indonesia sampai saat ini. Ada orang-orang yang dengan mudahnya memvonis orang lain masuk neraka, ada yang dengan terang-terangan menyakiti orang lain dengan dalih membela Tuhan, bahkan ada yang masih bertengkar karena perbedaan keyakinan bahkan di saat mereka masih berada dalam satu agama, dan banyak persoalan-persoalan lain yang menyangkut perihal agama dan hubungan antarmanusia yang meyakininya.

Melalu kisah ini, saya kemudian berpikir bahwa seharusnya hubungan yang baik dengan Tuhan akan melahirkan hubungan baik dengan manusia atau tempat dia berada. Saat manusia percaya dia beriman, dia tak lantas egois dan melupakan urusan-urusan sosialnya. Bahwa ada banyak jalan menuju Tuhan dan kita sebagai manusia tidak pernah tahu jalan mana yang Tuhan kehendaki karena penilaian Tuhan berbeda dengan penilaian ciptaan-Nya.

Pada akhirnya, cerita ini ditutup dengan kematian Kakek di surau karena ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur. Namun, saya masih ingin mendengar bualan lain dari Ajo Sidi. Lewat cerpen ini, saya terus merenung, lagi dan lagi.

Aurelya Pratiwi
Aurelya Pratiwi Perempuan Madura yang sedang berkuliah di Universitas Brawijaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email