Mengatasi masalah sampah selalu tentang sistem. Tidak bisa hanya dengan menyalahkan satu pihak atau meminta pertanggungjawaban pihak lain. Semua pihak harus saling bahu-membahu dan berkomitmen untuk mengurangi sampah.
Sayangnya, tiap kali bicara tentang sampah, yang muncul adalah sikap saling menyalahkan. Mentalitas dan sikap seperti ini terjadi di berbagai tempat, di desa, kota, hingga gunung. Lihat saja ketika berita tumpukan sampah di jalur pendakian Gunung Lawu menjadi viral. Alih-alih ada pembaharuan sistem atau introspeksi, semua pihak hanya bisa saling menyalahkan.
Budi Santoso, relawan Anak Gunung Lawu (AGL), menyatakan banyaknya pengunjung sering kali membuat sampah yang ditinggalkan semakin banyak. Apalagi banyak pendaki yang sembrono dan tidak memiliki kesadaran akan lingkungan. Padahal sebagian besar pengunjung adalah para pencinta alam. Ternyata yang sering mengaku pencinta alam tidak betul-betul cinta dengan alam.
Fakta ini menunjukkan kita tidak bisa mengandalkan kesadaran pengunjung.
Sikap pengelola dalam mengatasi masalah sampah juga perlu dipertanyakan. Adakah langkah-langkah, baik preventif maupun solusi, yang dilakukan pengelola?
Menurut Budi, para relawan secara berkala melakukan kegiatan bersih-bersih jalur pendakian Gunung Lawu dengan berbekal karung. Sampah yang diangkut bisa mencapai 40 karung, didominasi sampah plastik. Namun, sampah-sampah ini biasanya akan dikubur ketika kekurangan personel dan tenaga untuk membawa turun sampah. Tentu ini bukan solusi baik, mengingat penanganan sampah plastik tidak bisa disamakan dengan sampah organik yang bisa terurai jika tertanam di tanah.
Hal serupa juga disampaikan Humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Khairunissa,yang mengakui minimnya pengelolaan sampah dan ketidakmampuan menangani sampah yang dihasilkan ratusan pengunjung. Ia menyatakan bahwa terbatasnya anggaran tidak memungkinkan untuk mengangkut sampah dari gunung.
Ketidakberdayaan pengelola membuat banyak pihak berinisiatif untuk membawa turun sampah secara sukarela, baik oleh pendaki yang peduli akan kebersihan gunung maupun komunitas yang melakukan aksi pengangkutan sampah. Namun, masalah tetap belum selesai.
Walaupun banyak gerakan pembersihan sampah di gunung dan sampah sudah dikumpulkan, permasalahan baru muncul: sampahnya mau diapakan? Beberapa mungkin mengusulkan daur ulang. Padahal, daur ulang juga tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semua jenis kemasan bisa didaur ulang, kebutuhan sumber daya seperti air dan listrik untuk proses daur ulang, serta kebutuhan alat atau mesin daur ulang menjadikan daur ulang mahal.
Permasalahan yang macam tiada henti ini menunjukkan betapa rumitnya masalah sampah. Masalahnya mungkin hanya sebatas “sampah yang berserakan”, tetapi penanganannya jauh lebih njelimet. Perlu dibentuk sistem yang kuat dan komitmen dari semua pihak. Tidak bisa hanya melimpahkan pertanggungjawaban pada satu pihak saja.
Terkadang, adanya satu pihak yang memaksa pihak lain untuk meminimalisir sampah juga diperlukan, dengan pemberlakuan sejumlah aturan. Inilah yang dilakukan pengelola Gunung Kembang. Mereka menerapkan beberapa peraturan super ketat perihal pengelolaan sampah plastik bagi para pendaki guna menjaga kebersihan Gunung Kembang. Beberapa aturan yang ditetapkan oleh pengelola yaitu:
- Menyediakan pembekalan seperti jajan pasar tanpa bungkus plastik dan kotak pembekalan yang dipinjamkan pengelola untuk para pendaki. Pengelola juga menyediakan wadah puntung rokok untuk pendaki yang merokok.
- Mendata banyaknya barang plastik yang dibawa saat mendaki, yang kemudian data tersebut akan dicocokkan kembali ketika pendaki kembali. Jika ditemukan data yang tidak sesuai atau hilang, pendaki akan diminta untuk mencari barang plastik yang hilang tersebut.
- Adanya denda (yang tidak sedikit) bagi pelanggar peraturan.
Sejumlah aturan ini diberlakukan sebagai tindakan preventif mengamankan potensi sampah sebelum pendakian dan mengontrol sampah yang dihasilkan pendaki. Aturan inilah yang menjaga kebersihan Gunung Kembang, yang kemudian dijuluki sebagai Gunung Terbersih di Indonesia. Pegiat Zero Waste Adventure, Siska Nirmala, melalui tayangan Instagram Story-nya menunjukkan tak ada satu pun sampah plastik yang ditemukan di Gunung Kembang, baik di jalur pendakian maupun di puncak Gunung Kembang. Harapannya, hal serupa juga bisa ditiru oleh pengelola gunung-gunung yang lain. Kalau Gunung Kembang bisa, masa gunung lain tidak bisa?
Pengelolaan sampah plastik yang dilakukan tim pengelola Gunung Kembang merupakan contoh nyata bagaimana pemaksaan aturan mampu meminimalisir sampah plastik. Apakah proses ini akan mudah? Tentu tidak. Pengelola Gunung Kembang pun mengatakan prosesnya tidak mudah, ribet. Namun, keribetan ini rasanya hanya akan terasa ketika pemberlakuan aturan baru saja dijalankan.
Setidaknya begitulah yang disampaikan para warga Kamikatsu, kota di Jepang yang disebut sebagai Kota Zero Waste. Saat kota ini mulai menerapkan aturan hidup minim sampah pada 2003, para warga merasa kebingungan dan kewalahan memilah sampah dalam 45 jenis sampah. Namun, seiring berjalannya waktu, kini mereka sudah terbiasa dengan pemilahan sampah sebelum akhirnya menggunakannya kembali (reuse) atau berlanjut ke proses daur ulang (recycle).
Baca juga: Dari Rumah, Kami Dipaksa Mencintai Bumi
Dengan perkembangan teknologi, semakin banyak inovasi yang bertujuan untuk mengurangi sampah sekali pakai, tentu semakin besar pula kemungkinan tercapainya hidup bebas sampah. Seperti penemuan alternatif kantong belanja berbahan dasar kulit singkong, pemanfaatan sampah elektronik, konversi plastik menjadi bahan bakar, dan masih banyak lagi.
Jika kita menggabungkan aturan yang ketat serta berbagai inovasi minim sampah, bukan tidak mungkin masalah polusi sampah bisa teratasi. Dengan adanya solusi yang tersedia dan adanya contoh sistem pengelolaan sampah serta hasil nyatanya maka hal yang dibutuhkan hanya perkara komitmen.