Suatu hari, di antara rak-rak yang berjajar rapi di Gramedia Bintaro Plaza, mata saya tertuju pada judul buku yang menarik perhatian, yaitu Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring. Melihat judul tersebut, saya merasa terhubung secara emosional karena saya mempunyai hobi mencuci piring—selain menyapu dan mengepel.
Penasaran, saya pun membaca buku tersebut. Beruntungnya, buku itu sudah tidak lagi dibungkus plastik. Alhamdulillah, ucap saya dalam hati. Saya bisa membacanya tanpa beli. Karena merasa tak berdosa, saya pun membaca dengan antusias hingga akhirnya menemukan satu bab yang menarik, yaitu bab ke-4 yang berjudul Tutorial Mencuci Piring.
Baca juga:
Dalam bab tersebut, penulis mengulang-ulang cerita tentang kematian anaknya. Hal ini, dilakukannya bukan tanpa sebab dan alasan. Menurutnya, semakin sering cerita tentang duka itu diulang-ulang, emosi yang timbul akan perlahan-lahan mereda. Dalam dunia klinis, hal ini dikenal sebagai desensitisasi. Maksudnya, pada suatu titik, orang yang berduka itu merasa capek juga kalau terus-terusan berduka.
Maka, untuk menghapus duka, kita memerlukan waktu layaknya mencuci piring. Dalam berduka, kita mencoba untuk menghilangkan rasa duka yang menghantui pikiran dan hati kita. Sementara itu, dalam mencuci piring, kita berusaha untuk membersihkan noda dan kotoran yang menempel pada permukaan alat makan.
Setelah mengetahui hubungan antara duka dengan cuci piring dari buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring, saya jadi ingin menceritakan pengalaman pribadi saya perihal mencuci piring. Selamat membaca, ya!
Dikelilingi oleh Cinta
Alasan saya suka mencuci piring itu simpel. Ketika mencuci piring, saya merasakan dunia ini begitu ramai sekaligus terasa damai. Perasaan ini hanya dapat saya rasakan ketika mencuci piring.
Sejujurnya, saya tidak nyaman dengan keramaian. Keramaian hanya membuat hati saya gundah. Namun, hebatnya, saya merasakan keramaian yang begitu menenangkan ketika mencuci piring. Contohnya, keramaian yang timbul dari kombinasi suara air yang mengalir dipadu dengan suara gesekan spons saat menggosok piring. Keadaan seperti inilah yang membuat saya ketagihan mencuci piring.
Menurut salah satu teman saya, suara air mengalir memang secara alami menenangkan kita. Makanya, Nabi Muhammad SAW menyarankan untuk mendengarkan suara air mengalir ketika sedih. Orfeu Buxton, peneliti dari Live Science, juga menyatakan bahwa suara air yang mengalir bisa memengaruhi pikiran seseorang agar tetap tenang dan nyaman.
Saat menggosok piring kotor dengan spons, saya membayangkan diri sedang berbincang dengan air yang mengalir dari keran. Saya mendengarkan cerita petualangan si air. Awalnya, ia adalah bagian dari awan di langit, diterbangkan angin melintasi gunung, lembah, dan lautan. Namun, suatu hari, ia jatuh ke tanah, mengalir melalui sungai-sungai, lalu memberikan kehidupan pada segala yang disentuhnya.
Kemudian, sampailah ia bertemu dengan saya ketika saya mencuci piring. Ia pun tahu perjalanannya akan sampai ke laut, melewati selokan-selokan dan sungai-sungai. Meskipun begitu, ia yakin perjalanannya takkan pernah usai. Ia menyadari bahwa suatu saat nanti, ia akan kembali menjadi bagian dari awan di langit.
Sementara itu, suara spons yang menggosok piring seakan-akan memberikan sentuhan hangat dari orang yang kita cintai. Saya membayangkan si spons adalah teman setia yang selalu siap mendengarkan cerita-cerita saya tanpa pernah menghakimi. Manusia mana bisa?
Lalu, saat busa sabun membasahi tangan saya, rasanya seperti sedang disentuh oleh orang yang saya sayangi. Sensasi itu membuat saya merasakan kehangatan dukungan dan kasih sayang. Momen-momen ini membuat saya dikelilingi oleh cinta meskipun hanya dari air, spons, dan busa.
Kelihatannya saya mengada-ada, ya?
Baca juga:
Penelitian dari Florida State University menunjukkan bahwa mencuci piring dapat mengurangi tingkat stres, tetapi hanya jika dilakukan dengan penuh kesadaran atau mindfulness. Dalam uji coba yang melibatkan 51 mahasiswa, peneliti menemukan bahwa mencuci piring secara sadar dapat menurunkan kecemasan hingga 27 persen dan meningkatkan inspirasi sebesar 25 persen.
Para peneliti menyatakan orang yang mencuci piring dengan kesadaran penuh, misalnya dengan menaruh fokus pada aroma sabun, suhu air, dan sentuhan pada piring, akan mendapatkan perasaan damai yang lebih tinggi. Di sisi lain, mereka yang tidak mencuci piring dengan sadar, misalnya sambil melamun, tidak akan merasakan manfaat yang sama.
Bagi saya, mencuci piring adalah kegiatan refleksi yang membuat kita mindful. Melalui gerakan-gerakan membersihkan piring, saya menemukan ketenangan dan kenyamanan. Inilah yang membuat saya menyadari bahwa proses mencuci piring tidak hanya membersihkan piring, tetapi juga membersihkan pikiran dan hati.
Di setiap piring yang saya cuci, saya juga mencuci pikiran-pikiran negatif dan kesedihan yang saya alami. Saya belajar untuk menerima kenyataan bahwa kita akan mengalami kesedihan dalam hidup, tetapi kita juga memiliki kekuatan untuk melewati masa-masa sulit tersebut. Salah satu cara melewati masa-masa sulit ini tak lain adalah dengan mencuci piring.
Kalau kalian bagaimana?
Editor: Emma Amelia