Begitu banyak tulisan-tulisan yang menyudutkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) jelang 2024 ini. Saya tadinya menikmati argumen-argumen tersebut, karena mewakili kekecewaan saya pada partai yang mengaku representasi anak muda ini. Namun, lama-lama saya merasa bosan. Lalu pada suatu malam, setelah menghabiskan kopi yang kebanyakan ampasnya, tiba-tiba suatu pencerahan hadir kepada saya. Sebagaimana Archimides berseru eureka, terbetik hipotesis baru di kepala. Mungkin selama ini kita salah menilai partai berlambang tangan menggenggam sekuntum mawar ini.
Saya terinspirasi untuk melihat kembali manuver-manuver PSI sejauh ini dengan kacamata baru. Saya yang tadinya antipati, pelan-pelan berusaha memahaminya dari kedalaman ilmu batiniyah atau ilmu roso. Dari situ saya bisa merumuskan cara pandang berbeda yang tertuang dalam esai pendek ini. Ada empat pertanyaan menyudutkan PSI yang akan saya bantu jawab.
Baca juga:
Pertama, pertanyaan yang mengganggu kita bertahun-tahun lamanya. PSI mengklaim dirinya sebagai partai muda, tetapi kenapa dukungannya kepada Presiden Jokowi terasa seperti cinta buta? Nyaris tidak ada kritik kepada kebijakan-kebijakan presiden yang mengundang tanya. Bukankah seharusnya anak muda itu memiliki sifat progresif, rebel, kritis terhadap status quo? Mengapa justru jadi menghamba kekuasaan? Bahkan sempat-sempatnya mengusung Jokowisme sebagai dagangan partai. Mengapa bisa demikian?
Setelah perenungan mendalam, dalam semangat khusnuzon yang tinggi, agaknya akhirnya saya bisa memahami pilihan politik tersebut. Sebetulnya alasannya mungkin sederhana belaka, tidak ndakik-ndakik seperti analisis para pakar politik.
Mendukung Joko Widodo bagi PSI itu rasional saja sebagai partai anak muda. Kok bisa? Begini, kita preteli alasannya dari sudut pandang semantik terhadap nama presiden ketujuh Republik Indonesia ini. Joko, dalam bahasa Jawa artinya pemuda. Widodo, artinya bijaksana. Walaupun usia beliau sudah 62 tahun, secara etimologi nama, beliau akan terus jadi pemuda. Bahkan, ketika nanti Jan Ethes sudah jadi bapak-bapak tidak menggemaskan lagi, eyang kakungnya akan tetap masih jadi pemuda. Jadi, tidak salah apabila PSI mengambil Pak Jokowi sebagai icon partainya.
Kemudian Jokowisme. Orang-orang sudah berpikir macam-macam saja memaknainya sebagai ideologi pengkultusan individu. “Partai anak muda yang seharusnya progresif kok mengarah ke feodalisme?” begitu kata pengkritiknya. Padahal mungkin maksudnya tidak seribet itu, dan malah kebalikan dari yang dituduhkan. Jokowisme bisa jadi maksudnya bukan -isme -isme yang umum di pemikiran ilmu sosial, tetapi berasal dari utak-atik gathuk kata saja.
Joko-wis-me mungkin artinya Pak Joko, kan, sudah (wis), sekarang giliran saya (me). Sebuah deklarasi yang progresif sekali. Tidak ada partai lain yang terang-terangan dan sepercaya diri ini siap mengambil alih komando dari presiden yang masih berkuasa. Pak Prabowo saja kita lihat belum sepercaya diri itu, walaupun kuda peliharaannya barangkali lebih banyak daripada pemilih PSI.
Pertanyaan kedua, kenapa kader-kader yang unggul dan populer seperti Rian Ernest dan Tsamara Amany malah dibiarkan keluar dari PSI? Apakah partai tidak merasa eman-eman kehilangan kader berkualitas? Apalagi setahu saya banyak orang yang tidak simpati pada partai warna merah ini, tetapi tetap menaruh respek kepada dua kader tersebut. Apakah ini tidak blunder? Namun, akhirnya saya sadar, bahwa PSI mungkin sedang menggembleng dirinya menjadi organisasi yang berisi team players, bukan hanya bergantung pada pemain-pemain bintangnya.
Coba lihat sejarah, dengan analogi sepak bola Eropa, ketika klub sepak bola Napoli ditinggal mega bintang Maradona, apa yang terjadi kemudian? Memang mereka jadi pecundang bertahun-tahun. Namun, klub jadi tidak bergantung lagi pada Maradona. Artinya, hebat karena tujuan sudah tercapai.
PSI beruntung karena Faldo Maldini masih bertahan. Pemuda kelahiran Sumatera Barat ini telah membuktikan kompetensinya di jabatan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara. Di posisinya ini, Faldo efektif mengomandoi strategi catenaccio untuk istana, menghalau serangan-serangan ke presiden oleh varian-varian dirinya sendiri dari masa lalu (para Ketua BEM).
Baca juga:
Pertanyaan ketiga yang perlu dijawab adalah mengapa partai memilih mengisi formasinya dengan pemain baru seperti Bung Ade Armando. “Masa partai anak muda isinya paman era boomer?” tanya masyarakat. Apakah Bung Ade adalah pengganti yang sepadan untuk Rian Ernest dan Tsamara Amany? Barulah ketika berkontemplasi dengan serius, saya paham, PSI mungkin memang perlu Bung Ade di internal partai, agar kader-kader muda bisa melihat dari dekat bagaimana contoh orang tua dengan opini-opini tak berkelas.
Pertanyaan keempat, terkait dengan karir Mas Gibran dan Mas Kaesang yang laksana dikarbit. Mengapa langkah-langkah tak inspiratif ini didukung oleh PSI? Saya kira ini pun ada penjelasan rasionalnya jika kita menelaah lebih dalam. Zaman telah berubah. Ini masanya anak-anak muda. Ini generasi mereka. Tentu kita perlu paham juga cara kerja alam pikir mereka.
Ada dua prinsip kesuksesan di era generasi Y dan Z ini. Pertama, semua harus cepat dan mendisrupsi. Mark Zuckerberg, simbol kesuksesan anak muda era ini, pernah berkata, “Move fast, break thing!” Bergeraklah dengan cepat walaupun konsekuensinya mungkin merusak banyak hal. Karena dunia berputar semakin kencang, harus sprint pula kita berlarinya. Inilah kenyataan hidup di zaman startup. Kita harus sat-set-sat-set. Semua perlu didisrupsi. Kadang-kadang bikin rusak adalah konsekuensi yang dianggap biasa saja dan tak terhindarkan. Termasuk merusak konstitusi.
Prinsip kedua adalah: daripada minta izin, lebih baik minta maaf. Ini adalah prinsip yang dijalankan para eksekutif unicorn yang bersinar di nasional dan global. Artinya, bergeraklah dulu, berinisiatiflah dulu. Kita perlu mendobrak keleletan birokrasi. Urusan konsekuensinya dipikir di belakang saja. Jika ada yang keliru, masih ada kesempatan minta maaf, termasuk di urusan tata kenegaraan. Mas Gibran justru lebih hebat lagi dalam penerapannya. Prinsip gaya startup itu dibawanya ke maqom yang lebih tinggi.
Daripada minta izin, lebih baik minta suara.
***
Editor: Prihandini N
Seru, lucu dan bernas